Catatan yang tertinggal di Izmir..


Oleh : Labib Syauqi
     

      Sekitar dua minggu sudah aku meninggalkan Izmir, kota yang terkenal dengan pemandangan lautnya, kota yang terkenal dengan kelancaran transportasinya, terkenal kerapihan tata kotanya, sehingga kota ini terkenal dengan pariwisatanya. Kota terbesar ketiga setelah Istanbul dan Ankara ini terkenal multi etnik, multi kebangsaan, hingga kalau boleh aku mengibaratkan seperti Bali-nya Turki.
      Kota ini meniggalkan banyak kenangan bagi perjalanan awal saya di Turki. Hampir 8 bulan aku tinggal di Izmir. Ingat betul ketika awal pertama kali datang ke Izmir, saya merasa seperti terlahir kedua kali di dunia ini, karena segala sesuatu serba baru. Mulai dari bahasa yang sama sekali gak mudeng, makanan yang bener-bener aneh, cuaca yang bener-bener ekstrim. Ingat betul kekonyolan-kekonyolan yang penah aku lakukan.
      Hingga akhirnya, alhamdulillah aku telah berhasil “meloloskan diri” dari program diploma bahasa Turki yang njlimet ini, meskipun kadang masih gagap, apalagi jika dihadapkan dengan bahasa teks resmi dan bahasa buku, tapi kalau untuk suruh jual-jual cabe ataupun untuk ngegombalin cewek Turki, alhamdulillah bisa dipraktekkan. Pada minggu terakhir sebelum kepindahan dari Izmir, saya sempat diajak ikut pameran internasional di Izmir yang kebetulan saya diperbantukan untuk membantu para pengusaha Jawa Barat yang pada pameran tersebut membawa produk teh dan kopi unggulan mereka, dan aku beserta temen-temen berhasil memasarkan produk tersebut dengan hasil yang tidak buruk, meskipun kadang juga masih pake bahasa tarzan dalam menjelaskannya.
      Izmir disaat-saat akhir adalah saat-saat yang berat. Dua hal yang menjadikannya membutuhkan kesabaran ekstra dan pengertian yang benar. Satu, Izmir saat-saat akhir adalah saat-saat menunggu pengumuman penempatan Universitas dan kota mana yang akan kita tuju untuk selanjutnya, sedangkan pengumuman dari dinas pendidikannya Turki, terhitung sangat telat dari jadwal yang ditentukan, hampir tiap buka internet, pasti website tentang pengumuman tersebut yang dibuka, maka penantian panjang ini benar-benar membutuhkan kesabaran dan pengertian tingkat tinggi. Kedua, Izmir saat-saat akhir adalah saat temen-temen yang lain pulang kampuang nun jauh disono, berkumpul dengan keluarga melepas rindu, menikmati opor ayam, soto, sop, gulai, sambel trasi dll, bertemu dengan pacar, ataupun bahkan ada yang pulang untuk menikah, karena memasuki masa liburan dan juga masa Ramadhan serta Idul Fitri. Sedangkan aku hanya bisa meringkuk dan bersyukur disini.
      Puasa dan Hari Raya di Izmir adalah sesuatu perjuangan juga. Bulan Ramadhan di Izmir merupakan bulan berat bagi kami, benar-benar bulan penuh ujian dan cobaan bagi para mahasiswa rantau yang menjadi Bang Thoyyib dan tidak pulang. Bulan Ramadhan bagi warga Izmir adalah bulan yang “mungkin” dianggap biasa, warung-warung tetap buka, restoran-restoran tetap penuh, orang makan dan minum dijalan merupakan pemandangan yang tidak asing. “kami juga muslim, tapi kami tidak menjalankan puasa” itulah jawaban yang kami terima dari salah satu dari mereka.
      Pernah ketika saya dan temen sedang ngabuburit untuk buka puasa di luar, ketika adzan Maghrib sudah dikumandangkan, sang bapak penjual makanan terlihat berdoa komat-kamit sepertinya berdoa bahwa telah masuk waktunya berbuka, Alhamdulillah…lalu kami memesan dua porsi makanan untuk berbuka, setelah itu kami bertanya “Bapak puasa ya?”, dia menjawab “saya tidak puasa, karena perut saya tadi pagi mules, ya meskipun gak puasa, tapi saya gak makan kok,” (tuing**gak makan tapi munumnya kenceng, terus kenapa gak puasa??).
      Ketika siang hari dan panas menyengat kami sedang duduk dan istirahat di taman, ada dua orang yang sedang duduk bareng juga, kami khusnuddzon mereka suami istri, karena dilihat dari usia mereka yang tidak muda lagi, yang perempuan mengenakan jilbab, dan yang laki-laki ditangan satunya terlilit tasbih yang berputar, tapi di tangan yang satunya lagi terselip batang rokok yang dihisap..(tuing**aku hanya bisa menelan ludah karena kepengen rokoknya, sambil berpikir ke-herman-an).
      Puasa di Izmir dengan suhu udara di ubun-ubun mencapai 30-35 derajat celcius, yang dengan mudah membuat kami menguap kehabisan cairan, ditambah durasi waktu siangnya yang panjang, sehingga kami harus menjalankan puasa sekitar 16 jam, plus godaan dan cobaan diluar yang selalu melambai menggoda, membuat kami kadang hanya mendekam di kamar untuk menunggu waktu berbuka, sambil memandangi jam seraya berdoa “ Allahumma laka sumtu, wa pengen buka, wa tapi sayang, wa masih lama, wa tidur lagi, wa tahan saja lah..”
      Tradisi bulan Ramadhan juga terasa “garing” disini (Izmir), tradisi Iftar di masjid bagi orang-orang yang kurang mampu masih ada meskipun agak susah kita jumpai, sholat taraweh juga terlihat sepi seperti biasanya dalam sholat fardlu, marak petasan dan kembang api hampir tidak ada, begitu juga dengan tradisi membangunkan orang untuk saur baik dengan tarhim ataupun dengan keliling kampung dengan membawa alat musik tradisional (Tong-Thek), bahkan untuk menemukan sebuah Masjid di Izmir kadang susah.
      Pernah suatu ketika saya maghrib sedang diperjalanan, saya buru-buru membeli minum dan sebungkus roti untuk berbuka puasa, setelah itu saya mencari Masjid dimana suara adzan tadi dikumandangkan. Setelah cukup jauh berjalan mencarinya, akhirnya saya temukan Masjid tersebut, akan tetapi sayang sungguh disayang, ternyata Masjid tersebut terkunci pintunya, dan tidak ada orang yang datang untuk berjamaah, ternyata suara adzan tersebut adalah suara rekaman yang diset otomatis saat waktu adzan tiba, (tuing**keringetan sambil garuk2 kepala).
      Hari Raya Idul Fitri telah tiba, malam hari raya terasa biasa saja, tidak ada yang istimewa dan tidak ada yang dirayakan oleh mereka, tidak ada takbir keliling, tidak ada pawai keliling, tidak ada kembang api maupun petasan dan tidak ada keramaian apapun, (tuing**sedih deh rasanya, pengen sewa angkot wat takbiran keliling sendiri ama temen2). Kami para Bang Thoyyib hanya berkumpul di satu rumah temen yang ditingggalkan mudik oleh pemiliknya, disitu kami nyetel takbiran sendiri semaleman, masak masakan Indonesia sebisanya, berpelukan dan nangis bareng-bareng.
      Izmir membekaskan banyak kenangan berharga dalam catatan awalku di Turki..aku sekarang sudah “agak” terbiasa dengan perubahan cuaca yang ekstrim, sudah bisa survive seharian meskipun hanya dengan makan Doner (roti yang isinya suiran ayam), mulai terbiasa dengan minum Airan (yogurt yang dicairkan dengan sedikit garam), sarapan Simit (roti bundar seperti donat yang kerasnya minta ampun), dan mulai agak lancar berkomunikasi, setidaknya bisa menanyakan jalan pulang ketika tersesat. Setiap pertemuan pastilah terdapat perpisahan, karena kita di dunia ini sejatinya adalah hanya seorang tamu yang akan kembali pulang. Banyak teman-teman baikku di Izmir yang tidak terasa harus aku berpisah dengan mereka. Mereka yang selama ini banyak membantu dan menuntun saya dalam perjalanan awal saya. Semoga Allah membalas kebaikan kalian, dan semoga kita dapat dipertemukan lagi.

 İzmiri Özledim…

Komentar

Postingan Populer