Mahmud Syaltut (Sebuah Biografi Intelektual)


Oleh : Labib Syauqi
Beliau dilahirkan di kota Maniyah bani Mansur, Karesidenan Bukhairah Mesir, pada tanggal 23 April 1893 dan Wafat tanggal 19 Desember 1963. Beliau adalah Ulama dan pemikir Islam yang mempunyai kredibilitas tinggi dan juga seorang tokoh Internasional.
Mahmud Syaltut kecil belajar membaca al-Qur’an sampai hafal dan ketika berumur 13 tahun yaitu pada tahun 1906 ia memasuki lembaga pendidikan agama (al-Ma’had ad-Dini) di Iskandaraiyah. Beliau dikenal sebagai seseorang yang cerdas sehingga pada tahun 1918 beliau berhasil memperoleh asy-syahadah al-‘Alimiyyah an-Nizamiyyah (setingkat Master of Art) dari Universitas Al-Azhar, dan tercatat sebagai lulusan terbaik. Gelar Doctor Honoris causa (gelar Doktor kehormatan) juga pernah diberikan oleh UIN Sunan Kalijaga pada tahun 1961 di samping gelar-gelar kehormatan yang didapatkan dari negerinya sendiri.
Perjalanan Karir Intelektual
Aktivitasnya dalam kegiatan ilmiahnya berawal ketika beliau menjadi pengajar di al-Ma’had ad-Dini al-Iskandari pada tahun 1919, selain mengajar disitu beliau juga aktif dalam berbagai kegiatan intelektual dan berbagai kegiatan dalam dunia pers, sera penerbitan, berdakwah, dan menulis. Dan pada tahun 1927 ia diangkat menjadi dosen pada tingkat takhassus (spesialisasi dan pendalaman) di Universitas al-Azhar sewaktu Syekh al-Maraghi menjadi rektor. Ia mulai banyak menulis di surat kabar untuk mendukung program al-Maraghi dalam rangka memajukan Universitas al-Azhar menjadi Universitas yang dinamis dan progresif. Dan pada tahun 1937 beliau mewakili Al-Azhar pada kongres Internasional tentang Perundang-undangan (al-Qonun al-Muqaran) yang diadakan di Den Haag. Uraiannya yang ilmiah dan cerdas tentang Syari’at Islam dalam kongres itu mendapatkan apresiasi positif dari para peserta. Beliau dapat mengeleborasi bahwa Islam sebagai agama yang dapat membimbing manusia  disetiap zaman dan tempat. Pada tahun 1941 beliau mengetengahkan sebuah risalah tentang “Pertanggung Jawaban Sipil dan Pidana dalam Syari’at Islam”. Tesis-tesinya dalam risalah ini mendapatkan sambutan baik sehingga secara aklamasi beliau diangkat menjadi anggota termuda Majlis Ulama-ulam Besar (Hai’ah Kibar al-Ulama).
Puncak kariernya dalam lingkungan Universitas adalah terpilihnya sebagai Rektor Universitas al-Azhar yang ke – 41 pada tanggal 21 Oktober 1958. Sebagai Rektor beliau mempunyai peluang untuk mengaktualisasikan pemikirannya selama ini untuk memajukan Universitas al-Azhar. Sebuah jabatan yang dipegangnya hingga beliau wafat pada 1963.
Syaltut menjadi pemimpin Al-Azhar pada fase paling raikal dalam revolusi Mesir 1952, pada masa itu Institut-institut terkemuka sedang mengalami reorganisasi secara mendasar. Pada 1961 undang-undang yang mereorganisasi al-Azhar dengan terpaksa diloloskan oleh Majlis al-Ummah. Kendatipun Syaltut termasuk arsitek undang-undang itu, tapi beliau tidak sepenunya setuju dengan adanya undang-undang itu, karna secara tidak langsung akan membawa al-Azhar berada dibawah dominasi negara. Dan sejak 1958 kekuasaan al-Azhar ikut dipegang oleh otoritas sekuler dalam bentuk sebuah kementerian al-Azhar dan urusan keagamaan. Undang-undang 1961 itu muncul pada saat kritis dalam sejarah Mesir, tepat sebelum diberlakukannya undang-undang sosialis versi nasser dan dideklarasikannya Piagam Nasional. Saat itu adalah masa bangkitnya kesadaran Nasionalis yang kuat dan tindakan revolusioner yang menyentuh semua bidang kehidupan. al-Azhar ketika itu hendak dicetak sebagai alat dari sebuah tatanan nasionalis dan sosialis Arab baru yang didominasi oleh Mesir. Ia diharapkan dapat memenuhi peran ini melalui reorganisasi, reformasi, dan suatu peran nasional dan internasional yang lebih luas.
Syaltut boleh jadi bercampur aduk perasaannya terhadap undang-undang 1961 itu, tapi perlu diingat bahwa beliau datang dari suatu generasi yang telah berpartisipasi dalam revolusi 1919. Bukunya yang diterbitkan pada 1964 (Seribu tahun Al-Azhar) menunjukkan bahwa beliau mempunyai catatan panjang sebagai seorang aktifis al-Azhar yang dapat memainkan peran internasional yang lebih besar dalam memerangi fanatisme golongan dan menyatukan umat Islam dari pelbagai mazhab. Reorganisasi serta tunjangan anggaran yang mengiringinya, berarti pemenuhan dari sebagian cita-cita gurunya (Syaikh Muhammad ‘Abduh), dan rekan sejawatnya al-Maraghi, untuk membuka kembali pintu ijtihad (telaah individual dalam soal hukum), mereformasi sistem pendidikan al-Azhar melalui pengenalan mata kuliah modern, dan mengakhiri fanatisme sektarian yang senantiasa membuat dunia Islam terpecah-pecah, dengan cara mempersempit perbedaan diantara pelbagai mazhab hukum dalam Islam.
Sumbangan Pemikiran
Sebagai seorang ulama dan pemikir, Syaltut memiliki pemikiran yang sangat relevan untuk perkembangan kehidupan ummat pada masanya. Beliau adalah seorang ahli fiqih yang berilmu dan berpandanagan luas. Kedalaman ilmu dan keluasan pandangannya menyebabkannya mampu mengemukakan hukum-hukum Islam yang relevan dengan kebutuhan manusia dan kehendak zamannya. Pendapat-pendaptnya antara lain bahwa :
1.      Inseminasi (pembuahan pada hewan) adalah sah dan tidak dosa bila terjadi dengan air mani suami sendiri.
2.      Keuntungan bank tabungan pos adalah halal
3.      Islam membolehkan pengaturan kelahiran, tetapi bukan membatasinya.
Di samping memiliki pandangan yang luas dalam ilmu fiqih, beliau juga seorang ahli tafsir yang melaksanakan penafsirkan langsung pada al-Qur’an dengan mengumpulkan ayat-ayat tentang suatu masalah, lalu ayat itu ditafsirkannya sebagai jawaban atas suatu masalah atau dikenal dengan metode tafsir maudu’i (tafsir tematis). Salah satu karyanya (al-Qur’an wa al-Mar’ah) sehingga beliau dikenal sebagai salah seorang pelopor metode tafsir maudu’i, metode tafsir yang dianggap paling banyak sumbangannya dalam menangkap pesan al-Qu’an untuk menjawab problema manusia abad modern.
Pada bulan Januari 1960, Syaikh Al-Azhar, Mahmud Syaltut, menerbitkan Tafsirnya, Tafsir Al-Qur'an Al-Karim. Di situ beliau menafsirkan Al-Quran bukan ayat demi ayat, tetapi dengan jalan membahas surat demi surat atau bagian suatu surat, dengan menjelaskan tujuan-tujuan utama serta petunjuk-petunjuk yang dapat dipetik darinya. Walaupun ide tentang kesatuan dan isi petunjuk surat demi surat telah pernah dilontarkan oleh Al-Syathibi (w. 1388 M), tapi perwujudan ide itu dalam satu kitab Tafsir baru dimulai oleh Mahmud Syaltut. Metode ini, walaupun telah banyak menghindari kekurangan-kekurangan metode lama, masih menjadikan pembahasan mengenai petunjuk Al-Quran secara terpisah-pisah, karena tidak kurang satu petunjuk yang saling berhubungan tercantum dalam sekian banyak surat yang terpisah-pisah. Seperti dikemukakan semula bahwa pendapat seseorang tentang sesuatu masalah ditentukan oleh banyak faktor. Nah, kalau kita mengesampingkan sementara pendapat yang keliru yang tidak ditemui dalam sekian banyak kitab tafsir lama, dan karena ketuaannya telah mendapat semacam pengkultusan, dan kita melihat pendapat-pendapat lainnya, maka kita temui pendapat-pendapat yang dapat diterima "pada masanya". Tetapi karena faktor yang dikemukakan di atas, maka pendapat tersebut kini sudah "out of date", dan tidak lagi dapat diterima. Misalnya, penafsiran tentang datarnya bumi, berdasarkan firman Allah pada surat Nuh ayat 19, sebelum ditemukan benua Amerika dan sebelum dibuktikan bumi kita bulat; atau penafsiran tujuh tingkat langit dengan tujuh planet yang mengitari tata surya, yang ternyata tidak hanya tujuh.
Beliau mengatakan bahwa setiap ilmu pengetahuan yang dipelajari orang Islam pada jaman dulu adalah sesungguhnya termotifasi untuk menggali dan memahami pesan yang terkandung dalam al-Qur’an. Maka ilmu Nahwu yang berguna menjaga lisan dari berucap salah adalah untuk menjaga kebenaran dalam mengucapkan lafal-lafal al-Qur’an, Ilmu Balaghoh yang berguna untuk memperjelas rahasia-rahasia yang terkandung dalam bahasa arab dan memperlihatkan sisi keindahannya adalah untuk menjelaskan sisi-sisi kemukjizatan dalam al-Qur’an dan menyingkap rahasia-rahasia kesusastraan yang terkandung didalam al-Qur’an. Ilmu Tajwid dan Qira’at berguna untuk menjaga baca’an dan lahjat al-Qur’an, Tafsir diperuntukkan guna menjelaskan makna dan mengetahiu pesan yang terkandung dalam al-Qur’an, Fiqih untuh menggali hukum yang terkandung didalamnya, Ilmu Kalam untuk menjelaskan pesan yang dibawa al-Qur’an tentang aqidah dan dasar-dasar agama, begitu juga dengan berbagai disiplin ilmu tentang pengetahuan alam, astronomi, dan bahkan ilmu kedokteran.
Beliau tidak hanya memperlihatkan semangat dan peranan besar kaum muslimin dalam memaparkan pelayanan kaum muslimin terhadap al-Qur’an, akan tetapi beliau juga mengingatkan kita ketika hendak menafsiri al-Qur’an, untuk mensucikan al-Qur’an dari dua hal :
1.      Politisasi ayat-ayat al-Qur’an untuk menguatkan pendapat golongan tertentu.
Seperti ketika suatu golongan menggunakan ayat (wabi al-Najmi hum yahtaduun) sebagai dalil bahwa golongan/partai merekalah yang mendapatkan petunjuk (yang menggunakan lambang bintang)
2.      Penggalian ilmu-ilmu empiris dan pengetahuan teoritis kontemporer yang diambil dari al-Qur’an untuk membenarkan teori tersebut.
Seperti apa yang dilakukan para ilmuwan ketika mereka mengatakan bahwa teori yang dikemukakan oleh Darwin, itu telah dituturkan oleh al-Qur’an semenjak ratusan tahun yang lalu.
Seperti halnya ketika mereka melihat al-Qur’an berbicara tentang gunung, tumbuh-tubuhan, hewan-hewan dan segala sesuatu tentang alam, maka mereka akan berkata bahwa inilah al-Qur’an yang telah membahas permasalahan alam dan membenarkan teori-teori para ilmuwan, sesungguhnya al-Qur’an adalah kitab yang membahas sains dengan dalam.
Hal tersebut diatas menurut beliau adalah kesalahan yang fatal, karna al-Qur’an diturunkan bukan untuk berbicara tentang teori-teori ilmu pengetahuan kontemporer dan ilmu-ilmu empiris, yang hanya akan membawa al-Qur’an dalam perdebatan panjang tak berkesudahan, karna teori-teori dan ilmu yang bersifat empiris tidak akan ada pendapat yang tetap dan juga pendapat akhir, karna mungkin cocok untuk waktu sekarang tapi tidak untuk besok.
Maka beliau menekankan pada siapapun yang hendak menafsirkan al-Qur’an untuk memurnikan niatnya hanya untuk ridlo Allah, dan bukan karna hawa nafsu yang sarat dengan kepentingan duniawi.
Karya-karya
Pemikiran-pemikiran Mahmud Syaltut tentang ilmu-ilmu keislaman, lebih lanjut dapat dibaca dalam buku-bukunya :
1.      Al-Islam; ‘Aqidah wa Syari’ah
2.      Al-Fatawa
3.      Al-Qur’an wa al-Mar’ah
4.      Fiqh al-Qur’an wa as-Sunnah
5.      Al-Qur’an wa al-Qital
6.      Kitab Muqaranah al-Mazahib
7.      Al-Mas’uliyyah al-Madaniyyah wa al-Jina’iyyah fi as-Syari’at al-Islamiyyah
8.      Al-Islam wa al-Wujud ad-Dualui li al-Islam
9.      Tanzim al-‘Alaqoh ad-Dualiyyah fi al-Islam
10.  Tanzim an-Nasl
11.  Tafsir al-Qur’an al-Karim
Demikianlah sekelumit biografi intelektual yang dapat kami ketengahkan, tentang seorang pemikir dan ulama muslim yang mempunyai kontribusi besar bagi kemajuan umat Islam dimasa kini, semoga bisa menjadi refleksi bagi kita untuk lebih menbangkitkan gairah keilmuan kita yang mulai meredup, Amin!
Rujukan
1.      Ensiklopedi Islam, PT.Ichtiar Baru, Van Hoeve, Jakarta, 1999
2.      Ensiklopedi Oxford, Dunia Islam Modern, John L. Esposito, Mizan, 2001
3.      Manik Abdul halim, Manahij Mufassirin, Darul Kutub Misri, Cetakan Pertama, 1978
4.      Ittijahatu at-Tafsir
5.      http://media.isnet.org/islam/Quraish/Membumi/TafsirTematik.html

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer