Al-Qur’an Dan Keagungannya
Dalam pembahasan kita kali ini, ada dua terminologi yang kemudian digabungkan, dan akhirnya menjadi satu kesatuan makna yang tidak terpisah. Dua penggabungan terminologi itu adalah Bacaan dan al-Qur’an yang ketika digabungkan akan bermakna bagian dari al-Qur’an itu sendiri dari segi bacaannya.
A. Menghadirkan Al-Qur’an Kembali
قرأ bisa berarti juga bermakna mengumpulkan, والقراءة (membaca) artinya ; mengumpulkan beberapa huruf dan beberapa kalimat yang lain dalam mengucapkannya. القرآن pada dasarnya itu sama seperti halnya القراءة, yaitu sama-sama bentuk masdar dari قرأ – قراءة – وقرآنا, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Qiyamah ayat 17-18 : إن علينا جمعه وقرآنه، فإذا قرأناه فاتبع قرأنه.
Maksudnya adalah اى قراءته yaitu masdar yang inkut wazan (فُعلان ) dengan dibaca Dlommah fa’ fi’ilnya, seperti lafal غفران ، شكران.
Al-Qur’an Karim tidak bisa secara tepat diberi pengertian secara Mantiq, yang mempunyai Jenis, Fasl, kemudian Khowash yang definisinya menjadi penegertian secara haqiqi, akan tetapi penegertian al-Qur’an secara haqiqi adalah dengan cara menghadirkan al-Qur’an tersebut kedalam hati kita atau dengan cara menyaksikannya dengan nyata, seperti kita menunjuk pada tulisan yang tertulis pada mushaf atau satu bacaan yang dibaca lisan, seperti ketika kita berkata bahwa al-Qur’an adalah apa yang tertulis pada antara dua batas ini. Atau kita berkata bahwa al-Qur’an adalah Bismillahirrahmaanirrahim.. sampai, Minal Jinnati Wannaas..
Akan tetapi Ulama hanya memberi pengertian yang mendekati makna al-Qur’an dan membedakannya dengan yang lainnya, maka mereka mendefinisikan dengan :
”Kalamullah (Sabda Allah) yang diturunkan pada Nabi Muhammad Saw. yang dianggap ibadah ketika kita membacanya” .[1]
Secara harfiah, Al-Qur’an berarti “bacaan sempurna”. Nama al-qur’an ini sangat tepat karena terbukti sejak manusia mengenal tulisan belum pernah ada yang dapat menandingi bacaan yang sempurna ini, Al-Qur’an. Dibaca oleh jutaan orang walaupun tidak mengerti artinya. Bahkan ia dihafal huruf demi huruf baik oleh orang dewasa maupun anak-anak.
Sudah berjuta-juta jilid buku yang ditulis bukan hanya menerangkan redaksi dan pilihan kosa katanya yang tepat, tetapi juga kandungannya yang tersurat, tersirat bahkan sampai kesan yang ditimbulkannya. Semua dituangkan dalam jutaan jilid karya intelektual yang saling berlainan pembahasannya, Al-Qur’an layaknya sebuah permata yang memancarkan cahaya yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang masing-masing.
Hanya bacaan al-Qur’an yang diatur tatacara membacanya, mana yang dipendekkan, dipanjangkan, dipertebal, atau diperhalus ucapannya, di mana tempat yang terlarang, atau boleh, atau harus memulai dan berhenti, bahkan diatur lagu dan iramanya, sampai pada etika membacanya.
Tiada bacaan sebanyak kosakata Al-Qur’an yang berjumlah 77.439 kata, dengan jumlah huruf 323.015 huruf yang seimbang jumlah kata-katanya, baik anatara kata dengan padanannya, maupun kata dengan lawan kata dan dampaknya. Sebagai contoh, misalanya ; kata hayat terulang sebanyak antonimnya maut, masing-masing 145 kali ; kata akhirat dan dunya masing-masing terulang 115 kali ; malaikat dan syetan masing-masing terulang 88 kali dan lain-lain.
Orientalis H.A.R. Gibb pernah menulis bahwa : “Tidak ada seorang pun dalam seribu lima ratus tahun ini telah memainkan ‘alat’ bernada nyaring yang demikian mampu dan berani, dan demikian luas getaran jiwa yang diakibatkannya, seperti yang dibaca Muhammad (al-Qur’an).” Demikian terpadu dalam al-Qur’an keindahan bahasa, ketelitian, dan keseimbangannya, dengan kedalaman makna, kekayaan dan kebenarannya, serta kemudahan pemahaman dan kehebatan kesan yang ditimbulkannya[2].
Sebelum seseorang terpesona dengan keunikan atau kemukjizatan pesan kandungan Al-Qur’an, ada beberapa hal yang membuatnya terpukau berkaitan dengan susunan kata dan kalimatnya. Beberapa hal tersebut anatara lain menyangkut :
1. Nada dan langgamnya
Jika kita mendengar ayat-ayat Al-Qur’an, hal pertama yang terasa di telinga adalah nada dan langgamnya yang sangat terasa terdengar mempunyai keunikan dalam irama dan ritmenya.
Cendekiawan Inggris, Marmaduke Pickthall dalam The Meaning of Glorious Qur’an, menulis :
“Al-Qur’an mempunyai simfoni yang tidak ada taranya dimana setiap nada-nadanya bias menggerakkan manusia untuk menangis dan bersuka cita”.
Hal ini disebabkan oleh huruf dari kata-kata yng dipilih melahirkan keserasihan bunyi dan kemudian kumpulan kata-kata itu melahirkan pula keserasian irama dalam rangkaian ayat-ayatnya. Misalanya mari kit abaca surat An-Naziat ayat 1-14 :
وَالنَّازِعَاتِ غَرْقًا (1) وَالنَّاشِطَاتِ نَشْطًا (2) وَالسَّابِحَاتِ سَبْحًا (3) فَالسَّابِقَاتِ سَبْقًا (4) فَالْمُدَبِّرَاتِ أَمْرًا (5)
Kemudian begitu pendengaran mulai terbiasa dengan nada dan langgam ini, Al-Qur’an mengubah nada dan langgamnya. Dengarkan lanjutan ayat-ayat tersebut :
يَوْمَ تَرْجُفُ الرَّاجِفَةُ (6) تَتْبَعُهَا الرَّادِفَةُ (7) قُلُوبٌ يَوْمَئِذٍ وَاجِفَةٌ (8) أَبْصَارُهَا خَاشِعَةٌ (9) يَقُولُونَ أَئِنَّا لَمَرْدُودُونَ فِي الْحَافِرَةِ (10) أَئِذَا كُنَّا عِظَامًا نَخِرَةً (11) قَالُوا تِلْكَ إِذًا كَرَّةٌ خَاسِرَةٌ (12) فَإِنَّمَا هِيَ زَجْرَةٌ وَاحِدَةٌ (13) فَإِذَا هُمْ بِالسَّاهِرَةِ (14)
Setelah itu dilanjutkannya dengan mengubah nada dan langgamnya hingga surat ini berakhir.
2. Singkat dan padat
Khoirul kalam ma qolla wa dalla. Demikian ungkapan yang sering kita dengar. Sebaik-baik ucapan adalah yang sedikit dan mencakup (member petunjuk).
Tidak mudah merangkai kata yang singkat tapi sarat makna.Nah, Al-Qur’an memiliki keistimewaan bahwa kata dan kalimat-kalimatnya yang singkat dapat menampung sekian banyak makna. Hal inilah yang menjadikan terjadinya banyak pemahaman berbeda mengenai kandungan Al-Qur’an yang dijadikannya sebagai rujukan.
3. Memuaskan para pemikir dan orang kebanyakan
Mungkin kita pernah membaca suatu artikel yang setelah kit abaca kita menilainya sangat dangkal dan tidak sesuai dengan selera pemikir dan ilmuwan. Boleh jadi sebaliknya, sehingga ia tidak dapat di konsumsi orang kebanyakan.
Al-Qur’an tidak demikian, bias jadi seorang awam akan puas memahami ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan keterbatasannya, tetapi ayat yang sama akan dipahami dengan luas oleh seorang filosof dalam pengertian baru yang tidak terjangkau oleh orang kebanyakan.
4. Memuaskan akal dan jiwa
Manusia memiliki daya piker dan daya rasa, atau akal dan kalbu. Daya piker mendorongnya antara lain untuk memberikan argumentasi-argumentasi guna mendukung pandangannya, sedangkan daya kalbu mengantarkannya untuk mengekspresikan keindahan dan mengembangkan imajinasi. Dalam berbahasa, sulit sekali memuaskan kedua daya tersebut dalam saat yang sama.
Hal ini berbeda dengan Al-Qur’an. Ada keunikan tersendiri dalam hal ini, yaitu ia dapat menggabungkan kedua hal tersebut. Karena itu, ketika berbicara tentang sesuat-hukum, misalnya- redaksi yang digunakannya tidak kaku sebagaimana halnya redaksi pakar-pakar hokum. Al-Qur’an menguraikan ketetapan hokum itu dengan argumentasi logika dan dengan gaya bahasa yang berbeda-beda.
5. Keindahan dan ketepatan makna
Bagi kebanyakan dari kita yang tidak begitu paham tentang pengetahuan bahasa arab, mungkin akan kesusahan dalam memahami dan merasakan keindahan bahasa Al-Qur’an. Oleh sebab itu ada baiknya jika disini diberikan satu contoh ayat Al-Qur’an yang mudah-mudahan kita dapat merasakan keindahan dan ketepatan bahasa Al-Qur’an. Jika kita membaca surat Az-Zumar, kita akan menemukan uraian tentang orang-orang kafir dan Mukmin yang diantar oleh malaikat menuju ke Neraka dan Surga.
وَسِيقَ الَّذِينَ كَفَرُوا إِلَى جَهَنَّمَ زُمَرًا حَتَّى إِذَا جَاءُوهَا فُتِحَتْ أَبْوَابُهَا وَقَالَ لَهُمْ خَزَنَتُهَا أَلَمْ يَأْتِكُمْ رُسُلٌ مِنْكُمْ يَتْلُونَ عَلَيْكُمْ آَيَاتِ رَبِّكُمَْ .....(71)
“Dan diantarlah orang-orang kafir ke neraka jahanam berbondong-bondong, hingga ketika mereka sampai ke sana dibuka pintunya, dan para penjaga berkata kepada mereka, “Bukankah telah dating kepada kamu rasul-rasul dari jenis kamu sendiri yangmembacakan ayat-ayat tuhan kalian……”.(QS.Az-Zumar : 71).
Kemudian mari kita bandingkan dengan ayat 73 dalam surat yang sama :
وَسِيقَ الَّذِينَ اتَّقَوْا رَبَّهُمْ إِلَى الْجَنَّةِ زُمَرًا حَتَّى إِذَا جَاءُوهَا وَفُتِحَتْ أَبْوَابُهَا وَقَالَ لَهُمْ خَزَنَتُهَا سَلَامٌ عَلَيْكُمْ طِبْتُمْ فَادْخُلُوهَا خَالِدِينَ (73)
“Dan diantarlah orang-orang yang bertakwa kepada Tuhan mereka ke surga, hingga ketika mereka sampai ke sana dibuka pintunya, dan para penjaga berkata kepada mereka, “Salam sejahtera untuk kalian semua, berbahagialah dan masuklah ke surga kekal abadi”.(QS.Az-Zumar : 73).
Pada kedua ayat ini sangat jelas masing-masing digambarkan dengan kalimat yang serupa kecuali penyebutan nama kelompok mereka, tempat yang mereka huni, serta ucapan para malaikat penjaga neraka dan surga.
Namun demikian ada sedikit perbedaan kecil pada uraian tentang penghuni surga, yang sepintas boleh jadi ada yang berkata tidak perlu. Perbedaan tersebut adalah penambahan huruf و (wawu) pada kata فُتِحَتْ (futihat) untuk penghuni surga sehingga ayatnya berbunyi وَفُتِحَتْ (wa futihat) sedangkan huruf tersebut tidak terdapat pada uaian tentang penghuni neraka.
Apa gerangan maksud huruf itu?. Untuk menjelaskan hal itu pahamilah terlebih dahulu ilustrasi sebagai berikut :
Jika anda mengantarkan seorang penjahat ke penjara atau ke tempat penyiksaan, maka ketika anda sampai di pintu penjara, anda akan mendapati pintu penjara tersebut tertutup rapat. Ia bartu akan dibuka ketika terpidana akan dimasukkan ke dalamnya. Hal ini berbeda dengan seorang yang anda nantikan kedatangan dan menghormati kehadirannya. Jauh sebelum tibanya, pintu gerbang telah terbuka lebar untuk menyambutnya, sehingga tidak seperti keadaan penjahat di atas.
Nah, untuk menggambarkan terbukanya pintu itu, ayat 73 di atas menambahkan huruf wawu, sehingga dengan demikian, huruf itu memberikan makna tambahan tersendiri yang tidak terdapat pada uraian tentang penghuni neraka[3].
B. Berbagai Aspek Keutamaan Al-Qur’an
Islam dengan Nabi Muhammad Saw. sebagai Nabi pembawa misi risalahnya merupakan agama penyempurna bagi dua saudara agama samawi (yang diturunkan dari langit) yang terdahulu, yaitu Yahudi dan Nasrani. Dan Islam dengan al-Qur’an sebagai kitab suci, merupakan penyempurna bagi kitab suci agama-agama terdahulu, yaitu Taurat, Zabur, dan Injil.
Sebagai penyempurna, pastilah al-Qur’an mempunyai sifat lebih utama dari para pendahulunya yang disempurnakan, seperti banyak keterangan yang dikemukakan oleh al-Qur’an dalam menjelaskan keutamaan itu.
1. Perbandingan antara orang yang membaca al-Qur’an dan tidak.
Kitab suci al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam merupakan kitab suci yang sangat luhur dan mulia, yang menjadi pembeda bagi yang lain, bahwa seseorang mukmin yang membaca al-Qur’an akan dianggap ibadah dengan membacanya. Apalagi jika dalam membacanya seorang itu dengan bertafakkur dan memahami maknanya dengan segala kekhusu’an dan kerendahan hati, dan juga dengan niat tulus ikhlas bagi Allah semata, maka dia akan mendapatkan ketenangan hati dan juga pahala yang tak terkira oleh Allah.( Alaa bi dzikrillahi Tathma’innu al-Quluub)
Dalam hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Musa al-Asy’ariy juga dijelaskan dan diperinci bagi orang-orang yang membaca al-Qur’an :
حديث أَبِي مُوسى الأَشْعَرِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: مَثَلُ الْمُؤمِنِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الأُتْرُجَّةِ، رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا طَيِّبٌ؛ وَمَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي لاَ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ التَّمْرَةِ، لاَ رِيحَ لَهَا وَطَعْمُهَا حُلْوٌ؛ وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ، مَثَلُ الرَّيْحَانَةِ، رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطعْمُهَا مُرٌّ؛ وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِي لاَ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الْحَنْظَلَةِ، لَيْسَ لَهَا رِيحٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ. أخرجه البخاري[4].
Hadis Abi Musa al-Asy’ariy, beliau berkata: Rasulullah Saw. bersabda “perumpamaan orang mukmin yang membaca al-Qur’an itu seperti halnya buah Utrujjah[5], yang baunya wangi dan rasanya enak; dan perumpamaan orang mukmin yang tidak membaca al-Qur’an itu seperti buah Tamroh, yang tidak ada baunya dan rasanya manis; dan perumpamaan orang munafik yang membaca al-Qur’an, seperti halnya buah Raihanah[6], yang baunya wangi tapi rasanya pahit; sedangkan perumpamaan orang munafik yang tidak membaca al-Qur’an, seperti halnya Handzolah[7], yang tidak berbau dan rasanya pahit.”
Dalam hadis diatas, yang memberikan perumpamaan dan sifat bagi seorang mukmin yang membaca al-Qur’an, dengan sifat iman yang diumpamakan dengan rasa yang manis, sedangkan sifat tilawah (membaca al-Qur’an) dengan bau yang wangi, karena iman itu sifatnya menancap dan tertanam dalam hati bagi orang mukmin, yang bisa saja iman itu didapatkan tanpa membaca al-Qur’an, begitu juga rasa yang berada dalam bentuk fisik dari sebuah, buah-buahan itu sendiri. Maka terkadang bau dari buah-buahan itu akan hilang tetapi tidak rasanya.
Kemudian apa hikmah yang dapat diambil bahwa hadis diatas menggunakan perumpamaan buah Utrujjah? Kenapa bukan buah yang lain?. Imam Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari mengatakan bahwa hikmah dibalik itu adalah ternyata, bahwa dalam buah tersebut kulitnya dapat dijadikan obat, bijinya juga dapat mengeluarkan minyak yang bermanfaat, dan dikatakan juga bahwa Jin tidak akan mendekat pada rumah yang didalamnya terdapat buah Utrujjah. Maka hal tersebut cocok dengan al-Qur’an yang tidak akan didekati oleh Syaitan. Sedangkan bijinya putih bersih sebersih hati orang mukmin, dan masih banyak lagi keutamannya[8].
2. Perintah supaya rajin mempelajari/menghafal al-Qur’an.
Sungguh perintah membaca merupakan sesuatu yang paling berharga yang pernah dan dapat diberikan kepada umat manusia. “Membaca” dalam aneka maknanya adalah syarat pertama dan utama pengembangan ilmu dan teknologi, serta syarat utama membangun peradaban.
Semua peradaban yang berhasil bertahan lama, justru dimulai dari satu kitab (bacaan). Peradaban yunani dimulai dengan Iliad karya homer pada abad ke-9 sebelum Masehi. Ia berakhir dengan hadirnya kitab Perjanjian Baru. Peradaban Eropa dimulai dengan karya Newton dan berkhir pada dengan filsafat Hegel. Peradaban Islam lahir dengan kehadiran al-Qur’an . Ia tidak akan lekang oleh panas dan tidak akan lapuk oleh hujan, selama ummatnya ikut bersama Allah dalam memeliharanya : “Sesungguhnya kami (Allah bersama Jubril yang diperintah-Nya) menurunkan al-Qur’an, dan kami (yakni Allah dengan keterlibatan manusia) yang memeliharanya.” (QS. Al-Hijr : 9)[9].
Dalam Hadis yang diriwayatkan dari Utsman, menjelaskan tentang perintah untuk rajin mempelajari dan sekalian untuk mengamalkan al-Qur’an.
عن عثمان رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: خيركم من تعلم القرآن وعلمه.[10]
Dari Utsman Ra. Dari Nabi Muhammad Saw. bersabda ; “Sebaik-baiknya kalian adalah orang yang belajar al-Qur’an dan mengajarkannya.”
Dalam riwayat lain, Utsman juga meriwayatkan dengan redaksi yang berbeda :
حدثنا أبو نعيم حدثنا سفيان عن علقمة بن مرثد عن أبي عبد الرحمن السلمي عن عثمان بن عفان قال قال النبي صلى الله عليه وسلم : إن أفضلكم من تعلم القرآن وعلمه.
Dari Utsman bin Affan berkata : Nabi Muhammad Saw. bersabda ; “Sesungguhnya paling utama kalian adalah orang yang belajar al-Qur’an dan mengajarkannya.”
Dari dua hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Utsman Ra. Menyatakan atas keutamaan orang yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya. Hal tersebut terlihat dalam catatan sejarah bahwa, sahabat Utsman adalah salah satu sahabat Nabi yang getol dalam mempelajari ataupun mengajarkan al-Qur’an. Baik ketika beliau sebelum menjadi Khalifah ataupun sesudahnya. Dan juga seperti yang kita ketahui ketika beliau menjadi Khalifah, bahkan beliau melakukan tindakan penting dengan menyeragamkan tulisan al-Qur’an yang kemudian dikenal dengan sebutan Rasm Utsmaniy. Hal ini bisa dikatakan satu tundakan besar dalam ikut menjaga al-Qur’an.
Dan dikisahkan juga oleh Ibnu Hajar bahwa sahabat Abu Abdirrahman menghabiskan hidupnya dengan mengajarkan al-Qur’an pada manusia untuk mendapatkan keutamaan dalam hadis tersebut. Keutamaan al-Qur’an terlihat pada para sahabat Nabi yang mengamalkan hadis tersebut dengan tercukupinya harta mereka yang kemudian mereka dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka[11].
3. Keutamaan menghafal al-Qur’an (LM. 460)
Jika membaca saja sudah merupakan ibadah, maka apalagi ketika seseorang tersebut hafal terhadap al-Qur’an, bahkan dikisahkan dalam hadis sohih yang diriwayatkan oleh Sahl bin Sa’id, bahwa dikisahkan ada seoang sahabat Nabi yang akhirnya dinikahkan dengan seorang perempuan hanya dengan mas kawin hafalan dia terhadap al-Qur’an.
Keutamaan orang yang hafal al-Qur’an juga terdapat pada hadis yang diriwayatkan A’isyah Ra.
حديث عَائِشَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، قَالَ: مَثَلُ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَهُو حَافِظٌ لَهُ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ، وَمَثَلُ الَّذِي يَقْرَأُ وَهُوَ يَتَعَاهَدُهُ، وَهُوَ عَلَيْهِ شَدِيدٌ، فَلَهُ أَجْرَانِ.[12]
Dari Nabi Muhammad Saw. Bersabda : “Perumpamaan orang yang membaca al-Qur’an sedangkan dia hafal, maka dia bersama golongan orang-orang yang mulia, sedangkan perumpamaan orang yang membaca al-Qur’an sedangkan dia membiasakannya dan bersungguh-sungguh, maka dia mendapatkan dua pahala.”
Disamping itu banyak juga hadis yang menjelaskan anjuran orang yang telah hafal al-Qur’an untuk benar-benar menjaganya agar tidak lupa, karena al-Qur’an mudah untuk dihafal, namun mudah juga lepas dan hilang hafalannya ketika tidak senantiasa diulang-ulang dan dihafalkan.
حدثنا عبد الله بن يوسف أخبرنا مالك عن نافع عن ابن عمر رضي الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: إنما مثل صاحب القرآن كمثل صاحب الإبل المعلقة إن عاهد عليها أمسكها وإن أطلقها ذهبت[13].
Dari Ibu Umar Ra. Bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda :”Sesungguhnya perumpamaan orang yang menghafal al-Qur’an itu seperti halnya orang yang mempunyai unta yang diikat, jika dia memperhatikannya dan mengikatnya, maka dia akan tetap memiliki unta itu. Akan tetapi jika dia melepaskan ikatannya, maka unta itu akan hilang begitu saja.”
Dari perumpamaan hadis diatas jelas dapat kita ambil ibroh, bahwa sesorang yang hafal al-Qur’an bisa dengan mudah kehilangan apa yang ia hafalkan jika dia tidak mengikat hafalan tersebut dengan cara mengulang-ulang dan menghafalkannya. Akan tetapi jika terus menerus untuk dibaca, dihafalkan dan dipelajari, maka al-Qur’an tersebut akan terjaga dalam hatinya.
Disamping beberapa hadis yang telah kami kemukakan diatas, banyak sekali hadis yang menjelaskan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan al-Qur’an. Mulai dari disunnahkannya belajar al-Qur’an pada orang yang pandai dan mulia, memperbagus suara ketika sedang membaca ayat al-Qur’an, membaca al-Qur’an dengan tartil dan benar, keutamaan orang yang senang mendengar bacaan al-Qur’an, disamping itu juga terdapat ancaman bagi orang yang sembrono dalam membaca al-Qur’an dan juga ancaman bagi orang yang membaca al-Qur’an hanya untuk kesombongan, takabbur, dan juga hanya karena tujuan materi belaka.
Saking banyaknya hadis yang berkaitan dengan al-Qur’an, bahkan terdapat bab-bab tersendiri dalam kitab matan hadis yang membahas tentang keutamaan al-Qur’an, seperti yang dapat kita jumpai dalam kitab Sohih Bukhori.
C. Menginternalisasi Al-Qur’an (Penutup)
Pembahasan panjang diatas adalah apa yang berkaitan dengan al-Qur’an dari segi bacaan dan keutamaan al-Qur’an dari dalam dirinya sendiri, namun disamping berbagai hal yang berkaitan dengan dzatiah al-Qur’an itu sendiri, terdapat sesuatu yang tidak kalah penting yang harus kita lakukan.
Bagaiman al-Qur’an itu tidak hanya menjadi sebuah bacaan yang kita sakralkan, akan tetapi bagaimana makna al-Qur’an itu bisa kita internalisasi pada diri kita dan dapat kita tuangkan dalam kita bersikap dan berperilaku kita yang Qur’ani sehari-hari. Al-Qur’an yang tidak hanya mengajarkan kesalehan personal akan tetapi nilai kesalehan sosial juga sangat perlu kita tularkan. Al-Qur’an yang mengedepankan keramahan dan keharmonisan dalam hidup bermasyarakat, bukan malah kekerasan dan anarkisme yang menghancurkan. Bahkan al-Qur’an yang membawa misi utama untuk mewujudkan kedamaian bagi seluruh alam. Amiin..
-------------------------------------------------------------------------------------------------
A. Menghadirkan Al-Qur’an Kembali
قرأ bisa berarti juga bermakna mengumpulkan, والقراءة (membaca) artinya ; mengumpulkan beberapa huruf dan beberapa kalimat yang lain dalam mengucapkannya. القرآن pada dasarnya itu sama seperti halnya القراءة, yaitu sama-sama bentuk masdar dari قرأ – قراءة – وقرآنا, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Qiyamah ayat 17-18 : إن علينا جمعه وقرآنه، فإذا قرأناه فاتبع قرأنه.
Maksudnya adalah اى قراءته yaitu masdar yang inkut wazan (فُعلان ) dengan dibaca Dlommah fa’ fi’ilnya, seperti lafal غفران ، شكران.
Al-Qur’an Karim tidak bisa secara tepat diberi pengertian secara Mantiq, yang mempunyai Jenis, Fasl, kemudian Khowash yang definisinya menjadi penegertian secara haqiqi, akan tetapi penegertian al-Qur’an secara haqiqi adalah dengan cara menghadirkan al-Qur’an tersebut kedalam hati kita atau dengan cara menyaksikannya dengan nyata, seperti kita menunjuk pada tulisan yang tertulis pada mushaf atau satu bacaan yang dibaca lisan, seperti ketika kita berkata bahwa al-Qur’an adalah apa yang tertulis pada antara dua batas ini. Atau kita berkata bahwa al-Qur’an adalah Bismillahirrahmaanirrahim.. sampai, Minal Jinnati Wannaas..
Akan tetapi Ulama hanya memberi pengertian yang mendekati makna al-Qur’an dan membedakannya dengan yang lainnya, maka mereka mendefinisikan dengan :
”Kalamullah (Sabda Allah) yang diturunkan pada Nabi Muhammad Saw. yang dianggap ibadah ketika kita membacanya” .[1]
Secara harfiah, Al-Qur’an berarti “bacaan sempurna”. Nama al-qur’an ini sangat tepat karena terbukti sejak manusia mengenal tulisan belum pernah ada yang dapat menandingi bacaan yang sempurna ini, Al-Qur’an. Dibaca oleh jutaan orang walaupun tidak mengerti artinya. Bahkan ia dihafal huruf demi huruf baik oleh orang dewasa maupun anak-anak.
Sudah berjuta-juta jilid buku yang ditulis bukan hanya menerangkan redaksi dan pilihan kosa katanya yang tepat, tetapi juga kandungannya yang tersurat, tersirat bahkan sampai kesan yang ditimbulkannya. Semua dituangkan dalam jutaan jilid karya intelektual yang saling berlainan pembahasannya, Al-Qur’an layaknya sebuah permata yang memancarkan cahaya yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang masing-masing.
Hanya bacaan al-Qur’an yang diatur tatacara membacanya, mana yang dipendekkan, dipanjangkan, dipertebal, atau diperhalus ucapannya, di mana tempat yang terlarang, atau boleh, atau harus memulai dan berhenti, bahkan diatur lagu dan iramanya, sampai pada etika membacanya.
Tiada bacaan sebanyak kosakata Al-Qur’an yang berjumlah 77.439 kata, dengan jumlah huruf 323.015 huruf yang seimbang jumlah kata-katanya, baik anatara kata dengan padanannya, maupun kata dengan lawan kata dan dampaknya. Sebagai contoh, misalanya ; kata hayat terulang sebanyak antonimnya maut, masing-masing 145 kali ; kata akhirat dan dunya masing-masing terulang 115 kali ; malaikat dan syetan masing-masing terulang 88 kali dan lain-lain.
Orientalis H.A.R. Gibb pernah menulis bahwa : “Tidak ada seorang pun dalam seribu lima ratus tahun ini telah memainkan ‘alat’ bernada nyaring yang demikian mampu dan berani, dan demikian luas getaran jiwa yang diakibatkannya, seperti yang dibaca Muhammad (al-Qur’an).” Demikian terpadu dalam al-Qur’an keindahan bahasa, ketelitian, dan keseimbangannya, dengan kedalaman makna, kekayaan dan kebenarannya, serta kemudahan pemahaman dan kehebatan kesan yang ditimbulkannya[2].
Sebelum seseorang terpesona dengan keunikan atau kemukjizatan pesan kandungan Al-Qur’an, ada beberapa hal yang membuatnya terpukau berkaitan dengan susunan kata dan kalimatnya. Beberapa hal tersebut anatara lain menyangkut :
1. Nada dan langgamnya
Jika kita mendengar ayat-ayat Al-Qur’an, hal pertama yang terasa di telinga adalah nada dan langgamnya yang sangat terasa terdengar mempunyai keunikan dalam irama dan ritmenya.
Cendekiawan Inggris, Marmaduke Pickthall dalam The Meaning of Glorious Qur’an, menulis :
“Al-Qur’an mempunyai simfoni yang tidak ada taranya dimana setiap nada-nadanya bias menggerakkan manusia untuk menangis dan bersuka cita”.
Hal ini disebabkan oleh huruf dari kata-kata yng dipilih melahirkan keserasihan bunyi dan kemudian kumpulan kata-kata itu melahirkan pula keserasian irama dalam rangkaian ayat-ayatnya. Misalanya mari kit abaca surat An-Naziat ayat 1-14 :
وَالنَّازِعَاتِ غَرْقًا (1) وَالنَّاشِطَاتِ نَشْطًا (2) وَالسَّابِحَاتِ سَبْحًا (3) فَالسَّابِقَاتِ سَبْقًا (4) فَالْمُدَبِّرَاتِ أَمْرًا (5)
Kemudian begitu pendengaran mulai terbiasa dengan nada dan langgam ini, Al-Qur’an mengubah nada dan langgamnya. Dengarkan lanjutan ayat-ayat tersebut :
يَوْمَ تَرْجُفُ الرَّاجِفَةُ (6) تَتْبَعُهَا الرَّادِفَةُ (7) قُلُوبٌ يَوْمَئِذٍ وَاجِفَةٌ (8) أَبْصَارُهَا خَاشِعَةٌ (9) يَقُولُونَ أَئِنَّا لَمَرْدُودُونَ فِي الْحَافِرَةِ (10) أَئِذَا كُنَّا عِظَامًا نَخِرَةً (11) قَالُوا تِلْكَ إِذًا كَرَّةٌ خَاسِرَةٌ (12) فَإِنَّمَا هِيَ زَجْرَةٌ وَاحِدَةٌ (13) فَإِذَا هُمْ بِالسَّاهِرَةِ (14)
Setelah itu dilanjutkannya dengan mengubah nada dan langgamnya hingga surat ini berakhir.
2. Singkat dan padat
Khoirul kalam ma qolla wa dalla. Demikian ungkapan yang sering kita dengar. Sebaik-baik ucapan adalah yang sedikit dan mencakup (member petunjuk).
Tidak mudah merangkai kata yang singkat tapi sarat makna.Nah, Al-Qur’an memiliki keistimewaan bahwa kata dan kalimat-kalimatnya yang singkat dapat menampung sekian banyak makna. Hal inilah yang menjadikan terjadinya banyak pemahaman berbeda mengenai kandungan Al-Qur’an yang dijadikannya sebagai rujukan.
3. Memuaskan para pemikir dan orang kebanyakan
Mungkin kita pernah membaca suatu artikel yang setelah kit abaca kita menilainya sangat dangkal dan tidak sesuai dengan selera pemikir dan ilmuwan. Boleh jadi sebaliknya, sehingga ia tidak dapat di konsumsi orang kebanyakan.
Al-Qur’an tidak demikian, bias jadi seorang awam akan puas memahami ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan keterbatasannya, tetapi ayat yang sama akan dipahami dengan luas oleh seorang filosof dalam pengertian baru yang tidak terjangkau oleh orang kebanyakan.
4. Memuaskan akal dan jiwa
Manusia memiliki daya piker dan daya rasa, atau akal dan kalbu. Daya piker mendorongnya antara lain untuk memberikan argumentasi-argumentasi guna mendukung pandangannya, sedangkan daya kalbu mengantarkannya untuk mengekspresikan keindahan dan mengembangkan imajinasi. Dalam berbahasa, sulit sekali memuaskan kedua daya tersebut dalam saat yang sama.
Hal ini berbeda dengan Al-Qur’an. Ada keunikan tersendiri dalam hal ini, yaitu ia dapat menggabungkan kedua hal tersebut. Karena itu, ketika berbicara tentang sesuat-hukum, misalnya- redaksi yang digunakannya tidak kaku sebagaimana halnya redaksi pakar-pakar hokum. Al-Qur’an menguraikan ketetapan hokum itu dengan argumentasi logika dan dengan gaya bahasa yang berbeda-beda.
5. Keindahan dan ketepatan makna
Bagi kebanyakan dari kita yang tidak begitu paham tentang pengetahuan bahasa arab, mungkin akan kesusahan dalam memahami dan merasakan keindahan bahasa Al-Qur’an. Oleh sebab itu ada baiknya jika disini diberikan satu contoh ayat Al-Qur’an yang mudah-mudahan kita dapat merasakan keindahan dan ketepatan bahasa Al-Qur’an. Jika kita membaca surat Az-Zumar, kita akan menemukan uraian tentang orang-orang kafir dan Mukmin yang diantar oleh malaikat menuju ke Neraka dan Surga.
وَسِيقَ الَّذِينَ كَفَرُوا إِلَى جَهَنَّمَ زُمَرًا حَتَّى إِذَا جَاءُوهَا فُتِحَتْ أَبْوَابُهَا وَقَالَ لَهُمْ خَزَنَتُهَا أَلَمْ يَأْتِكُمْ رُسُلٌ مِنْكُمْ يَتْلُونَ عَلَيْكُمْ آَيَاتِ رَبِّكُمَْ .....(71)
“Dan diantarlah orang-orang kafir ke neraka jahanam berbondong-bondong, hingga ketika mereka sampai ke sana dibuka pintunya, dan para penjaga berkata kepada mereka, “Bukankah telah dating kepada kamu rasul-rasul dari jenis kamu sendiri yangmembacakan ayat-ayat tuhan kalian……”.(QS.Az-Zumar : 71).
Kemudian mari kita bandingkan dengan ayat 73 dalam surat yang sama :
وَسِيقَ الَّذِينَ اتَّقَوْا رَبَّهُمْ إِلَى الْجَنَّةِ زُمَرًا حَتَّى إِذَا جَاءُوهَا وَفُتِحَتْ أَبْوَابُهَا وَقَالَ لَهُمْ خَزَنَتُهَا سَلَامٌ عَلَيْكُمْ طِبْتُمْ فَادْخُلُوهَا خَالِدِينَ (73)
“Dan diantarlah orang-orang yang bertakwa kepada Tuhan mereka ke surga, hingga ketika mereka sampai ke sana dibuka pintunya, dan para penjaga berkata kepada mereka, “Salam sejahtera untuk kalian semua, berbahagialah dan masuklah ke surga kekal abadi”.(QS.Az-Zumar : 73).
Pada kedua ayat ini sangat jelas masing-masing digambarkan dengan kalimat yang serupa kecuali penyebutan nama kelompok mereka, tempat yang mereka huni, serta ucapan para malaikat penjaga neraka dan surga.
Namun demikian ada sedikit perbedaan kecil pada uraian tentang penghuni surga, yang sepintas boleh jadi ada yang berkata tidak perlu. Perbedaan tersebut adalah penambahan huruf و (wawu) pada kata فُتِحَتْ (futihat) untuk penghuni surga sehingga ayatnya berbunyi وَفُتِحَتْ (wa futihat) sedangkan huruf tersebut tidak terdapat pada uaian tentang penghuni neraka.
Apa gerangan maksud huruf itu?. Untuk menjelaskan hal itu pahamilah terlebih dahulu ilustrasi sebagai berikut :
Jika anda mengantarkan seorang penjahat ke penjara atau ke tempat penyiksaan, maka ketika anda sampai di pintu penjara, anda akan mendapati pintu penjara tersebut tertutup rapat. Ia bartu akan dibuka ketika terpidana akan dimasukkan ke dalamnya. Hal ini berbeda dengan seorang yang anda nantikan kedatangan dan menghormati kehadirannya. Jauh sebelum tibanya, pintu gerbang telah terbuka lebar untuk menyambutnya, sehingga tidak seperti keadaan penjahat di atas.
Nah, untuk menggambarkan terbukanya pintu itu, ayat 73 di atas menambahkan huruf wawu, sehingga dengan demikian, huruf itu memberikan makna tambahan tersendiri yang tidak terdapat pada uraian tentang penghuni neraka[3].
B. Berbagai Aspek Keutamaan Al-Qur’an
Islam dengan Nabi Muhammad Saw. sebagai Nabi pembawa misi risalahnya merupakan agama penyempurna bagi dua saudara agama samawi (yang diturunkan dari langit) yang terdahulu, yaitu Yahudi dan Nasrani. Dan Islam dengan al-Qur’an sebagai kitab suci, merupakan penyempurna bagi kitab suci agama-agama terdahulu, yaitu Taurat, Zabur, dan Injil.
Sebagai penyempurna, pastilah al-Qur’an mempunyai sifat lebih utama dari para pendahulunya yang disempurnakan, seperti banyak keterangan yang dikemukakan oleh al-Qur’an dalam menjelaskan keutamaan itu.
1. Perbandingan antara orang yang membaca al-Qur’an dan tidak.
Kitab suci al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam merupakan kitab suci yang sangat luhur dan mulia, yang menjadi pembeda bagi yang lain, bahwa seseorang mukmin yang membaca al-Qur’an akan dianggap ibadah dengan membacanya. Apalagi jika dalam membacanya seorang itu dengan bertafakkur dan memahami maknanya dengan segala kekhusu’an dan kerendahan hati, dan juga dengan niat tulus ikhlas bagi Allah semata, maka dia akan mendapatkan ketenangan hati dan juga pahala yang tak terkira oleh Allah.( Alaa bi dzikrillahi Tathma’innu al-Quluub)
Dalam hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Musa al-Asy’ariy juga dijelaskan dan diperinci bagi orang-orang yang membaca al-Qur’an :
حديث أَبِي مُوسى الأَشْعَرِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: مَثَلُ الْمُؤمِنِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الأُتْرُجَّةِ، رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا طَيِّبٌ؛ وَمَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي لاَ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ التَّمْرَةِ، لاَ رِيحَ لَهَا وَطَعْمُهَا حُلْوٌ؛ وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ، مَثَلُ الرَّيْحَانَةِ، رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطعْمُهَا مُرٌّ؛ وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِي لاَ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الْحَنْظَلَةِ، لَيْسَ لَهَا رِيحٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ. أخرجه البخاري[4].
Hadis Abi Musa al-Asy’ariy, beliau berkata: Rasulullah Saw. bersabda “perumpamaan orang mukmin yang membaca al-Qur’an itu seperti halnya buah Utrujjah[5], yang baunya wangi dan rasanya enak; dan perumpamaan orang mukmin yang tidak membaca al-Qur’an itu seperti buah Tamroh, yang tidak ada baunya dan rasanya manis; dan perumpamaan orang munafik yang membaca al-Qur’an, seperti halnya buah Raihanah[6], yang baunya wangi tapi rasanya pahit; sedangkan perumpamaan orang munafik yang tidak membaca al-Qur’an, seperti halnya Handzolah[7], yang tidak berbau dan rasanya pahit.”
Dalam hadis diatas, yang memberikan perumpamaan dan sifat bagi seorang mukmin yang membaca al-Qur’an, dengan sifat iman yang diumpamakan dengan rasa yang manis, sedangkan sifat tilawah (membaca al-Qur’an) dengan bau yang wangi, karena iman itu sifatnya menancap dan tertanam dalam hati bagi orang mukmin, yang bisa saja iman itu didapatkan tanpa membaca al-Qur’an, begitu juga rasa yang berada dalam bentuk fisik dari sebuah, buah-buahan itu sendiri. Maka terkadang bau dari buah-buahan itu akan hilang tetapi tidak rasanya.
Kemudian apa hikmah yang dapat diambil bahwa hadis diatas menggunakan perumpamaan buah Utrujjah? Kenapa bukan buah yang lain?. Imam Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari mengatakan bahwa hikmah dibalik itu adalah ternyata, bahwa dalam buah tersebut kulitnya dapat dijadikan obat, bijinya juga dapat mengeluarkan minyak yang bermanfaat, dan dikatakan juga bahwa Jin tidak akan mendekat pada rumah yang didalamnya terdapat buah Utrujjah. Maka hal tersebut cocok dengan al-Qur’an yang tidak akan didekati oleh Syaitan. Sedangkan bijinya putih bersih sebersih hati orang mukmin, dan masih banyak lagi keutamannya[8].
2. Perintah supaya rajin mempelajari/menghafal al-Qur’an.
Sungguh perintah membaca merupakan sesuatu yang paling berharga yang pernah dan dapat diberikan kepada umat manusia. “Membaca” dalam aneka maknanya adalah syarat pertama dan utama pengembangan ilmu dan teknologi, serta syarat utama membangun peradaban.
Semua peradaban yang berhasil bertahan lama, justru dimulai dari satu kitab (bacaan). Peradaban yunani dimulai dengan Iliad karya homer pada abad ke-9 sebelum Masehi. Ia berakhir dengan hadirnya kitab Perjanjian Baru. Peradaban Eropa dimulai dengan karya Newton dan berkhir pada dengan filsafat Hegel. Peradaban Islam lahir dengan kehadiran al-Qur’an . Ia tidak akan lekang oleh panas dan tidak akan lapuk oleh hujan, selama ummatnya ikut bersama Allah dalam memeliharanya : “Sesungguhnya kami (Allah bersama Jubril yang diperintah-Nya) menurunkan al-Qur’an, dan kami (yakni Allah dengan keterlibatan manusia) yang memeliharanya.” (QS. Al-Hijr : 9)[9].
Dalam Hadis yang diriwayatkan dari Utsman, menjelaskan tentang perintah untuk rajin mempelajari dan sekalian untuk mengamalkan al-Qur’an.
عن عثمان رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: خيركم من تعلم القرآن وعلمه.[10]
Dari Utsman Ra. Dari Nabi Muhammad Saw. bersabda ; “Sebaik-baiknya kalian adalah orang yang belajar al-Qur’an dan mengajarkannya.”
Dalam riwayat lain, Utsman juga meriwayatkan dengan redaksi yang berbeda :
حدثنا أبو نعيم حدثنا سفيان عن علقمة بن مرثد عن أبي عبد الرحمن السلمي عن عثمان بن عفان قال قال النبي صلى الله عليه وسلم : إن أفضلكم من تعلم القرآن وعلمه.
Dari Utsman bin Affan berkata : Nabi Muhammad Saw. bersabda ; “Sesungguhnya paling utama kalian adalah orang yang belajar al-Qur’an dan mengajarkannya.”
Dari dua hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Utsman Ra. Menyatakan atas keutamaan orang yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya. Hal tersebut terlihat dalam catatan sejarah bahwa, sahabat Utsman adalah salah satu sahabat Nabi yang getol dalam mempelajari ataupun mengajarkan al-Qur’an. Baik ketika beliau sebelum menjadi Khalifah ataupun sesudahnya. Dan juga seperti yang kita ketahui ketika beliau menjadi Khalifah, bahkan beliau melakukan tindakan penting dengan menyeragamkan tulisan al-Qur’an yang kemudian dikenal dengan sebutan Rasm Utsmaniy. Hal ini bisa dikatakan satu tundakan besar dalam ikut menjaga al-Qur’an.
Dan dikisahkan juga oleh Ibnu Hajar bahwa sahabat Abu Abdirrahman menghabiskan hidupnya dengan mengajarkan al-Qur’an pada manusia untuk mendapatkan keutamaan dalam hadis tersebut. Keutamaan al-Qur’an terlihat pada para sahabat Nabi yang mengamalkan hadis tersebut dengan tercukupinya harta mereka yang kemudian mereka dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka[11].
3. Keutamaan menghafal al-Qur’an (LM. 460)
Jika membaca saja sudah merupakan ibadah, maka apalagi ketika seseorang tersebut hafal terhadap al-Qur’an, bahkan dikisahkan dalam hadis sohih yang diriwayatkan oleh Sahl bin Sa’id, bahwa dikisahkan ada seoang sahabat Nabi yang akhirnya dinikahkan dengan seorang perempuan hanya dengan mas kawin hafalan dia terhadap al-Qur’an.
Keutamaan orang yang hafal al-Qur’an juga terdapat pada hadis yang diriwayatkan A’isyah Ra.
حديث عَائِشَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، قَالَ: مَثَلُ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَهُو حَافِظٌ لَهُ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ، وَمَثَلُ الَّذِي يَقْرَأُ وَهُوَ يَتَعَاهَدُهُ، وَهُوَ عَلَيْهِ شَدِيدٌ، فَلَهُ أَجْرَانِ.[12]
Dari Nabi Muhammad Saw. Bersabda : “Perumpamaan orang yang membaca al-Qur’an sedangkan dia hafal, maka dia bersama golongan orang-orang yang mulia, sedangkan perumpamaan orang yang membaca al-Qur’an sedangkan dia membiasakannya dan bersungguh-sungguh, maka dia mendapatkan dua pahala.”
Disamping itu banyak juga hadis yang menjelaskan anjuran orang yang telah hafal al-Qur’an untuk benar-benar menjaganya agar tidak lupa, karena al-Qur’an mudah untuk dihafal, namun mudah juga lepas dan hilang hafalannya ketika tidak senantiasa diulang-ulang dan dihafalkan.
حدثنا عبد الله بن يوسف أخبرنا مالك عن نافع عن ابن عمر رضي الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: إنما مثل صاحب القرآن كمثل صاحب الإبل المعلقة إن عاهد عليها أمسكها وإن أطلقها ذهبت[13].
Dari Ibu Umar Ra. Bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda :”Sesungguhnya perumpamaan orang yang menghafal al-Qur’an itu seperti halnya orang yang mempunyai unta yang diikat, jika dia memperhatikannya dan mengikatnya, maka dia akan tetap memiliki unta itu. Akan tetapi jika dia melepaskan ikatannya, maka unta itu akan hilang begitu saja.”
Dari perumpamaan hadis diatas jelas dapat kita ambil ibroh, bahwa sesorang yang hafal al-Qur’an bisa dengan mudah kehilangan apa yang ia hafalkan jika dia tidak mengikat hafalan tersebut dengan cara mengulang-ulang dan menghafalkannya. Akan tetapi jika terus menerus untuk dibaca, dihafalkan dan dipelajari, maka al-Qur’an tersebut akan terjaga dalam hatinya.
Disamping beberapa hadis yang telah kami kemukakan diatas, banyak sekali hadis yang menjelaskan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan al-Qur’an. Mulai dari disunnahkannya belajar al-Qur’an pada orang yang pandai dan mulia, memperbagus suara ketika sedang membaca ayat al-Qur’an, membaca al-Qur’an dengan tartil dan benar, keutamaan orang yang senang mendengar bacaan al-Qur’an, disamping itu juga terdapat ancaman bagi orang yang sembrono dalam membaca al-Qur’an dan juga ancaman bagi orang yang membaca al-Qur’an hanya untuk kesombongan, takabbur, dan juga hanya karena tujuan materi belaka.
Saking banyaknya hadis yang berkaitan dengan al-Qur’an, bahkan terdapat bab-bab tersendiri dalam kitab matan hadis yang membahas tentang keutamaan al-Qur’an, seperti yang dapat kita jumpai dalam kitab Sohih Bukhori.
C. Menginternalisasi Al-Qur’an (Penutup)
Pembahasan panjang diatas adalah apa yang berkaitan dengan al-Qur’an dari segi bacaan dan keutamaan al-Qur’an dari dalam dirinya sendiri, namun disamping berbagai hal yang berkaitan dengan dzatiah al-Qur’an itu sendiri, terdapat sesuatu yang tidak kalah penting yang harus kita lakukan.
Bagaiman al-Qur’an itu tidak hanya menjadi sebuah bacaan yang kita sakralkan, akan tetapi bagaimana makna al-Qur’an itu bisa kita internalisasi pada diri kita dan dapat kita tuangkan dalam kita bersikap dan berperilaku kita yang Qur’ani sehari-hari. Al-Qur’an yang tidak hanya mengajarkan kesalehan personal akan tetapi nilai kesalehan sosial juga sangat perlu kita tularkan. Al-Qur’an yang mengedepankan keramahan dan keharmonisan dalam hidup bermasyarakat, bukan malah kekerasan dan anarkisme yang menghancurkan. Bahkan al-Qur’an yang membawa misi utama untuk mewujudkan kedamaian bagi seluruh alam. Amiin..
-------------------------------------------------------------------------------------------------
[1] . Manna’ Al-Qotton, Mabahits Fi Ulumil Qur’an, 1973 M – 1393 H, Mansyurat ‘Ashril Hadits, Hal. 20
[2] M. Quraisy Syihab, Wawasan al-Qur’an, Penerbit Mizan, Cet. X, Hal. 3-4
[3] M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an, Mizan, Cet.1, Hal. 118-133
[4] Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Lu’lu’ Wa al-Marjan, Maktabah Misykat, Juz 1, Hal. 222
[5] Salah satu jenis buah-buahan basah, yang bagus bentuknya, lembut kulitnya, dan banyak manfaatnya.
[6] Sejenis buah juga.
[7] Sejenis buah-buahan yang hidup di belantara yang tidak enak dimakan.
[8] Ibnu Hajar al-Asqolaniy, Fath al-Bari, Beirut, Darul Mkarifah, 1379. Juz 4, Hal. 1479
[9] Wawasan Al-Qur’an, Hal. 6
[10] Abu Abdillah Al-Bukhari, Shohih Al- Bukhori, Beirut, Dar Ibnu Katsir, 1987-1407, Cet. 3, Juz 4, Hal. 1919
[11] Fath Al-Bari, Juz 9, Hal. 76-78
[12] Lu’lu’ Wa al-Marjan, Juz 1, Hal. 222
[13] Sahih Bukhari, Juz 4, Hal 1920
Komentar
Posting Komentar