Ikhwan Al-Shafa


Oleh : Labib Syauqi

I. Sejarah Lahir

Ikhwan al-Shafa (persaudaraan suci) adalah nama sekelompok pemikir Islam yang bergerak secara rahasia dari sekte syi’ah ismailiyah abad ke 4 H (10 M) di Basrah. Kerahasiaan kelompok ini juga menamakan dirinya Khulan al-Wafa, Ahl al-Adl dan Abna al-Hamd.[1] Kerahasiaan organisasi ini dipengaruhi oleh paham Taqiyyah, karena basis kegiatannya berada di tengah masyarakat mayoritas Sunni. Selain itu, kerahasiaan ini karena mereka mendukung faham Mu’tazilah yang telah dihapuskan oleh khalifah Abbasiyah, al-Mutawakkil, sebagai mazdhab negara. Menurut Hana al-Fukhuri, nama Ikhwan al-Shafa, diekspresikan dari kisah merpati dalam cerita Kalillah wa Duannah yang diterjemahkan oleh Ibn Muqaffa.[2]

II. Tujuan

Ikhwan al-Shafa berusaha memadukan atau rekonsiliasi (talfiq) agama dengan filsafat dan juga antara agama-agama yang ada. Usaha ini terlihat dari ungkapan mereka bahwa syari’at telah dikotori bermacam-macam kejahilan dan dilumuri berbagai kesesatan. Satu-satunya jalan membersihkannya ialah filsafat. Kemudian mereka mengklaim bahwa apabila dipertemukan antara filsafat yunani dan syari’at maka akan menghasilkan kesempurnaan. Ikhwan al-Shafa seakan menempatkan filsafat di atas agama. Mereka mengharuskan filsafat menjadi landasan agama yang dipadukan dengan ilmu. Kesimpulan ini didukung dengan pendapat mereka dalam bidang agama. Menurut mereka ungkapan al-Qur’an yang berkonotasi inderawi dimaksudkan agar cocok dengan tingkatan nalar orang Arab Badui yang berkebudayaan bersahaja. Sedangkan bagi yang memiliki pengetahuan yang lebih tinggi mereka haruskan memakai takwil untuk melepaskan diri dari pengertian lafzi dan inderawi. Untuk itulah Ikhwan berusaha dengan gigih memadukan filsafat dengan agama dengan menurunkan metafisika dan ilmu pengetahuan dari puncak spekulatif murni yang tidak dapat dijangkau secara aktif-praktis.

III. Tokoh-Tokoh

Pelopor perhimpunan politika – religius ini yang terkenal, antara lain Ahmad Ibn Abdullah, Abu Sulaiman Muhammad Ibn Nashr al-Busti, yang populer dengan al-Muqaddasi, Zaid Ibn Rifa’ah, Abu al-Hasan Ali Ibn Harun al-Zanjani, Abu Ahmad al-Nahrajuri (Mihrajani), Al-Aufi, dan Zaid Ibn Rifa’ah. Menurut al-Sijistani, orang-orang ini merupakan kelompok sarjana yang menyelenggarakn pertemuan dan menyusun risalah-risalah Ikhwan al-Shafa, rangkaian kata yang sebenarnya diciptakan oleh al-Muqaddasi.


IV. Teori Penciptaan dan Filsafat Manusia

Ketika kita membicarakan filsafat dan pemikiran Ikhwan al-Shafa, sesungguhnya banyak hal yang menarik untuk dikaji lebih serius, karna kelompok ini (Ikhwan al-Shafa) memang terkesan sedikit misterius, dengan cara menyembunyikan identitas para tokoh-tokohnya. Dan disamping itu kelompok ini juga disinyalir sebagai kelompok yang membawa pencerahan bagi para filosof muslim.

Kelompok ini tidak hanya mengajarkan filsafat an sich tapi juga mengarah pada filsafat yang mengarah ke spiritualitas. Sebagian doktrin mereka mengarah pada upaya rekonsiliasi filsafat dengan agama, yang diawali dengan sebuah penjelasan bahwa pada dasarnya agama dan filsafat bukanlah hal yang saling bertentangan, karna keduanya mempunyai satu tujuan, yaitu mengenali dan mendekatkan diri pada Realitas Tertinggi. Hal ini akan membawa implikasi kepada usaha eklektis (talfiq) antar berbagai agama. Mereka memadukan berbagai agama bahkan ajaran apapun. Kemudian mengambil hal yang menurut mereka penting dan dapat memperkuat pilat-pilar filsafat. Disamping itu mereka juga mempunyai kecenderungan kearah tasawuf dan asketik (zuhud) dalam menjalankan semua doktrin filsafat mereka.

Karya-karya yang dihasilkan Ikhwan al-Shafa memang lebih cenderung berbentuk Ensiklopedik. Setidak-tidaknya tercatat sebanyak 52 buah karya yang dihasilkan para tokoh Ikhwan al-Shafa yang terkenal dengan sebutan Rosa’il Ikhwan al-Shafa, karya-karya itu merupakan ensiklopedia tentang ilmu pengetahuan dan filsafat.

Ditinjau dari segi isi karya mereka, dapat dikategorikan dalam 4 kategori umum, yaitu tentang Matematika, tentang Fisika dan Ilmu Alam, kemudian tentang Risalah ilmu jiwa yang mencakup metafisika Pytagoreanisme dan kebangkitan alam, dan yang terakhir tentang ilmu ketuhanan yang meliputi kepercayaan dan keyakinan, hubungan alam dengan Allah, termasuk tentang filsafat manusia, tentang akidah, kenabian dan keadaannya, termasuk kekuasaan Allah.

Dari Apa yang ada dalam pemikiran Ikhwan al-Shafa, tentang Teori Penciptaan memang tak jauh dari pengaruh Pytagoras dan Platinus. Menurut mereka, Allah adalah pencipta dan mutlak Esa.[3]

Pembahasan dimulai dari angka “satu”. Menurut mereka satu yang sejati sama dengan sesuatu (thing/syai’) yang tidak terbagi dan sangat umum. Kejamakan baru mulai muncul apabila satu yang sejati tadi ditambahkan dengan satu yang lain. Dengan demikian, angka satu dapat dipandang sebagai dasar semua angka, yang sendirinya bukanlah angka.

Selanjutnya mereka katakan, angka satu sebelum angka dua, dan dalam angka dua terkandung pengertian angka kesatuan. Dengan istilah lain, angka satu adalah angka yang pertama dan angka itu lebih dahulu dari angka dua dan lainnya. Oleh karena itu, keutamaan terletak pada yang dahulu, yakni angak satu.

Sementara angka dua dan lainnya terjadi kemudian. Oleh karena itu, terbuktilah bahwa Allah lebih dahulu dari yang lainnya, seperti dahulunya angka satu dari angka lainnya.

Angka-angka ini kemudian menurut Ikhwan al-Shafa dianggap memiliki cirri-ciri fisik dan metafisik yang berfungsi sebagai petunjuk-petunjuk untuk memahami alam dan dapat mengantarkan seseorang untuk mengenali jiwa, alam spiritual dan pada akhirnya Tuhan semesta alam.[4]

Dengan kemauan sendiri Allah menciptakan Akal Pertama atau Akal Aktif secara emanasi (al-faidh). Kemudian Allah menciptakan jiwa dengan perantara akal. Selanjutnya, Allah menciptakan materi pertama (al-Hayyula al-ula). Dengan demikian, jika Allah Qodim, lengkap, dan sempurna, maka Akal Pertama juga demikian halnya. Pada Akal Pertama lengkap dengan segala potensi yang akan muncul pada wujud berikutnya. Sementara jiwa terciptanya secara emanasi dengan perantara akal, maka jiwa qodim dan lengkap, tetapi tidak sempurna. Demikian juga dengan materi pertama, karena terciptanya secara emanasi dengan perantara jiwa, maka materi pertama adalah qodim, tidak lengkap, dan tidak sempurna.

Jadi Allah tidak berhubungan dengan alam materi secara langsung, sehingga kemurnian tauhid dapat terpelihara dengan sebaik-baiknya. Secara kronologis rangkaian proses emanasi itu bermula dari Allah Maha Pencipta dan dari-Nya timbullah Akal Aktif atau Akal Pertama (al-Aql al-Fa’al), kemudian dengan perantara akal Allah menciptakan Jiwa Universal (al-Nafs al-Kulliyyat), selanjutnya Allah menciptakan materi pertama (al-Hayyula al-Ula), dan dilanjutkan dengan adanya Alam Aktif (al-Thabiat al-Fa’ilat), setelah itu terwujudlah Materi Absolut atau Materi Kedua (al-Jism al-Muthlaq), yang menghantarkan pada terwujudnya Alam Planet-planet (Alam al-Aflak), dan setelah itu muncullah Unsur-unsur alam terendah (Anashir al-Alam al-Sufla), yaitu air, udara, tanah, dan api. Dan yang terakhir adalah materi gabungan, yang terdiri dari mineral, tumbuh-tumbuhan, dan hewan. Sementara itu, manusia termasuk dalam kelompok hewan yang mampu berbicara dan berpikir.

Selaras dengan prinsip matematika Ikhwan al-Shafa, kedelapan mahiyah di atas bersama zat Allah yang muthlak, maka sempurnalah jumlah bilangan menjadi sembilan. Angka sembilan ini juga membentuk substansi organik pada tubuh manusia, yakni tulang, sumsum, daging, urat, darah, saraf, kulit, rambut, dan kuku.

Proses penciptaan secara emanasi di atas, menurut Ikhwan al-Shafa, terbagi menjadi dua: yaitu penciptaan secara sekaligus (daf’atan wahidan) dan penciptaan secara gradual (tadrijiyyan). Termasuk dalam penciptaan secara sekaligus adalah Alam Rohani, yakni, Akal Aktif, Jiwa Universal, dan Materi Pertama. Sementara itu, penciptaan secara gradual adalah apa yang mereka sebut dengan alam jasmani, yakni Jisim Mutlak, dan seterusnya akan membentuk perubahan-perubahan dalam perjalanan masa.

Tentang alam semesta, menurut Ikhwan al-Shafa, bukan qodim tetapi hadis (baru). Karena alam semesta ini, diciptakan Allah dengan cara emanasi gradual, yang mempunyai awal, dan akan berakhir pada masa tertentu.[5]

Ikhwan al-Shafa meyatakan bahwa Tuhan menciptakan segala sesuatu dan Esa dalam segala pengertiannya, “tidak memandang bijak apabila menciptakan segala hal tunggal dalam semua aspek, atau banyak dalam semua aspeknya….karena itu, dia menciptakan semua makhluk Nya sedemikian rupa sehingga bersifat satu dalam hal materi dan banyak dalam hal bentuk.” Tuhan juga tidak memandang biajksana apabila segala sesuatu bersifat ganda, kelipatan tiga, atau kelipatan empat, dan seterusnya, tetapi dalam banyak keragaman yang luar biasa.

Dalam rasail Ikwan al-Shafa itu pula, mereka menuturkan bahwa pada tataran epistemologis dan religius, manfaat studi angka adalah menghantarkan seseorang pada pengenalan jiwa, dan pada gilirannya pengenalan Tuhan, yang hanya mungkin ditempuh lewat jalur filsafat. Pandangan ini selaras dengan sabda Nabi Saw. Yang berbunyi “Barang siapa mengenal dirinya (jiwanya), dia akan mengenal Tuhannya.”

Sebagaiman para filosofis Muslim lainnya, Ikhwan al-Shafa juga melakukan al-tanzih (menyucikan Allah dari segala sesuatu yang tidak layak bagi Allah) serta meniadakan sifat al-tasybih (menyucikan Allah dari segala sesuatu yang menyerupaiNya). Ia adalah Zat Yang Esa, yang tidak mampu makhluk-Nya untuk mengetahui hakikat-Nya. Ia pencipta segala yang ada dengan cara emanasi (al-faidh) dan memberi bentuk. Ia berada pada segala sesuatu tanpa berbaur dan bercampur, seperti adanya angka satu dalam tiap-tiap bilangan. Sebagaiman bilangan satu tidak dapat dibagi dan tidak serupa dengan bilangan lain. Demikian pula Allah tidak ada yang menyamai dan menyerupai-Nya. Akan tetapi, Ia jadikan fitrah bagi manusia untuk dapat mengenal-Nya tanpa belajar.

Mereka juga berpendapat, bahwa manusia terdiri dari dua unsur, “rohani” dan “jasmani”. Masuknya jiwa kedalam tubuh manusia merupakan hukuman kepada jiwa yang telah melakukan pelanggaran (seperti yang terdapat dalam kisah klasik Adam dan Hawwa). Sebagi akibatnya, jiwa terusir dari alam rohani dan turun ke bumi masuk kedalam tubuh. Setelah bersatu dengan tubuh, jiwa menjadi bodoh, karenanya mereka harus dididik sedemikian rupa dengan ajaran yang diwahyukan kepada Nabi dan pangajaran filsafat. Hal ini bertujuan agar manusia tahu tentang keyakinan dan pengetahuan akan realitas tertinggi dan tentang apa yang seharusnya dilakukan manusia.[6] Cara lain adalah dengan perumpamaan mereka yang lebih kongkrit tentang anak yang dilahirkan dengan “zodiac yang baik”) demikian istilah mereka(, nantinya akan mampu menginsafi jiwanya yang tidak lain adalah dari substansi spiritual.

Setelah sadar, jiwa itu akan terus berjuang mendapatkan kembali tanah sejati alam kawruhan melalui kesaksian spiritualnya tentang keberadaan Tuhan dan belajar ajaran filsafat yang luhur seperti yang diajarkan Socrates, sambil mengamalkan mistisisme, asketisme, dan monoteisme seperti yang diajarkan oleh ajaran Islam.[7] Kehidupan rohani dan asketik menjadi prinsip hidup guna mencapai pembersihan jiwa. Setelah jiwa manusia bersih, maka akan mampu mencapai alam malakut, alam rohani yang terdapat di bawah langit dan bintang. Di sana akan menemukan segala macam kabahagiaan.[8] Tetapi itu tidak cukup, karena jiwa menginginkan yang labih tinggi dari itu, yaitu cinta yang menghasilkan ekstase.[9]

Jiwa manusia bersumber dari jiwa universal. Dalam perkembangannya jiwa manusia banyak dipengaruhi materi yang mengitarinya. Agar tidak tersesat, maka dibantu oleh akal yang merupakan daya bagi jiwa untuk berkembang.

Pengetahuan diperoleh melalui proses berpikir. Anak-anak pada mulanya seperti kertas putih yang bersih dan belum ada coretan. Lembaran putih tersebut akan tertulis dengan adanya tanggapan pancaindra yang menyalurkan ke otak bagian depan yang memiliki daya imajinasi (al-quwwat al-mutakhoyyilat). Dari sini meningkat ke daya berpikir (al-quwwat al-mufakkirat) yang terdapat pada otak bagian tengah. Pada tingkat ini manusia sanggup membedakan antara benar dan salah, antara baik dan buruk. Setelah itu, disalurkan ke daya ingatan (al-quwwat al-hafizhah) yang terdapat pada otak bagian belakang. Pada tingkat ini seseorang telah sanggup menyimpan hal-hal abstrak yang diterima oleh daya berpikir. Tingkatan terakhir adalah daya berbicara (al-quwwat al-nathiqat), yaitu kemampuan mengungkapkan pikiran dan ingatan itu melalui tutur kata yang bermakna kepada pendengar atau menuangkannya lewat bahasa tulis kepada pembaca.

Manusia selain mempunyai indra Zahir, juga memiliki indra batin yang berfungsi mengolah hal-hal yang ditangkap oleh indra zahir sehingga melahirkan konsep-konsep.

Sementara itu, tentang kebangkitan di akhirat, Ikhwan al-Shafa sama pendapatnya dengan filosof pedahulunya, yakni kebangkitan berbentuk rohani. Surga adalah kesenangan dan neraka adalah penderitaan.[10]

Maka dapatlah dimengerti bila Ikhwan al-Shafa tidak segan-segan menggunakan setiap doktrin islam ataupun non islam sebagi pilar filsafatnya. Semua itu dilakukan demi sebuah tujuan, mendapatkan keselamatan lewat penyucian diri dalam kehidupan ini. Dengan kata lain, mereka adalah penyebar kesucian yang dicapai melalui jalan asketisme, hidup dengan mengekang diri dan selalu berbuat kebajikan. Tiang-tiang doktrin itu adalah toleransi, saling tolong-menolong, dan filsafat eklektisme yang memanfaatkan setiap teks yang dapat menunjang setiap ajaran mereka.[11] Jadi intinya adalah penyucian diri untuk mencapai ketenangan jiwa dan kebahagiaan yang hakiki.

Semoga makalah kecil ini dapat berguna, dan dapat dijadikan refleksi menuju arah positif dan dapat dijadikan inspirator bagi pemikiran Islam yang progresif dan membawa kemajuan bagi kita semua.

Wallahu A’lam Bi Al-Shawab!!Amin.

-------------------------------------------------------------------------------------------------
[1] De Boer, hlm. 121

[2] Al-Fukhuri, hlm. 165

[3] H. Sirojudin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta,: Raja Grafindo Persada, 2004), h. 148

[4] Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, (Bandung: Mizan,2001), h. 65

[5] Sirojudin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsaftnya, h. 150

[6] Ensiklopedi Tematis Dunia Islam:Pemikiran dan Peradaban, h.164

[7] Fakhry,Sebuah Peta Kronologis, h. 67

[8] Abdul Aziz Dahlan, et.al, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban (Jakarta:Ikhtiar Baru van Hoeve), h.194-195

[9] Dewan Redaksi Ebsiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 200), h.195

[10] Sirojudin Zar, Filsafat Islam:Filosof dan Filsafatnya, h.158

[11] Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Filsafat Tematis, Terj. Tim Penerjemah Mizan,(Bandung:Mizan,2003), h. 277

Komentar

Postingan Populer