Menyoal Kembali Poligami : Upaya Mencari Solusi Permasalahan Sosial Masyarakat.


Oleh : Labib Syauqi

A. Prolog
Permasalahan poligami merupakan suatu permasalahan anti klimaks dalam diskusi panjang mengenai wacana keislaman, pembahasan ini tidak hanya hangat dibicarakan pada sekarang, akan tetapi sejak dahulu sudah terjadi pembahasan serius yang banyak dilakukan oleh ulama-ulama kita baik Salaf maupun Kholaf, bahkan pembahasan tidak berhenti sampai tiba gilirannya para pemikir kontemporer sekarang.
Poligami adalah isu problematik nan pelik, Hampir tidak ada perempuan yang suka dimadu, sebaliknya hampir semua laki-laki menyukai beristri lebih dari satu. Masing-masing menyuarakan kegundahan hati dan hasratnya. Tak terhitung buku yang sudah ditulis para sarjana untuk membahas persoalan pelik ini dari banyak aspek dan dengan seluruh argumentasi yang memungkinkan kita, baik untuk mendukung ataupun menolaknya.
Poligami merupakan permasalahn pelik yang sementara orang disinyalir berlindung dengan poligami untuk melegitimasi kepuasan libidonya, disisi lain juga rawan terjadi konflik serta perpecahan yang berawal dari keluarga dan bukan tidak mungkin meluas ke ranah publik yang akan menimbulkan keresahan dalam masyarakat.
Pada kesempatan kali ini tanpa kehilangan relefansinya kami akan mencoba untuk kembali membahas hukum poligami, menjelaskan berbagai perbedaan penafsiran para ulama, dan juga menjelaskan faktor-faktor yang mendorong adanya poligami itu sendiri, sehingga ketika kita telah mengetahui latar belakang dan faktor yang mendorong poligami secara substansial, maka latar belakang tersebut dapat kita kontekstualisasikan pada formulasi hukum pada saat ini yang lebih tepat dengan perkembangan masyarakat dan budaya sosio kultural saat ini, karena hukum itu berubah menurut alasan dan latar belakang yang mendasarinya.

B. Landasan Hukum Poligami
Dalil naqli yang dijadikan landasan oleh para ulama sunni untuk menunjukkan diperbolehkan poligami adalah firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 3, yang berbunyi :
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا.
 “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil[1], Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Para ahli tafsir menyebutkan beberapa pendapat tentang ayat tersebut di atas, dan dari ayat tersebut dapat diambil beberapa poin penting diantaranya :
  1. Jika kalian takut tidak berlaku adil ketika menikahi wanita-wanita yatim yang merupakan tanggung jawabmu maka menikahlah dengan wanita selain mereka yang kamu senangi dua, tiga atau empat (wanita), jika kamu menginginkannya. Karena orang yang berakal akan menghindari pernikahan yang mendatangkan bencana dan memilih pernikahan yang damai. Penafsiran ini diriwayatkan dari Aisyah Ra. Hubungan ayat ini tampak jelas.
  2. Jika kamu tidak dapat berlaku adil kepada wanita-wanita yatim begitu pula terhadap wanita-wanita lain yang kamu nikahi, maka menikahlah dengan wanita yang sekiranya tidak membuat kalian khawatir berbuat aniaya, dua atau tiga atau empat. Jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil bila menikah dengan lebih dari satu orang wanita, maka menikahlah dengan seorang wanita saja, atau dengan budak-budak yang kamu miliki. Karena barang siapa yang menghindari perbuatan aniaya terhadap wanita-wanita yatim maka dia pun harus menghindari setiap perbuatan yang mengakibatkan kezaliman terhadap wanita-wanita lain yang menjadi istrimu. Penafsiran ini diriwayatkan dari Said bin Jubair, Al-Saddi, dan Qotadah. Mufasir terkenal, Ibnu Jarir at-Tobari, menyetujui tafsiran ini, beliau berkata ”inilah pendapat pertama yang dapat diterima.”
Ayat ini sebagaimana yang disebut at-Tobari, memperingatkan orang yang bertanggung jawab sebagai wali tentang hal-hal yang mengakibatkan penganiayaan terhadap wanita karena hal ini sama dengan perlakuan zalim terhadap wanita yatim yang mereka takutkan dan mereka hindari.
Sebagaimana mereka menghindari perbuatan zalim terhadap wanita-wanita yatim, maka mereka pun harus menghindari perbuatan zalim terhadap wanita-wanita lain ketika mereka menginginkan poligami. Jika mereka khawatir tidak dapat berlaku adil, maka hendaklah mereka membatasi hanya dengan saru istri saja[2].
  1. Syarat yang paling penting jika seseorang hendak berpoligami adalah harus dapat berlaku adil di antara istri-istrinya. Barang siapa yang tidak yakin akan kemampuannya untuk berlaku adil, maka dia tidak boleh berpoligami. Dan jika dia tetap menikah, maka secara akadnya sah akan tetapi dia berdosa dengan tindakannya itu. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Rasulullah Saw. bersabda : Barangsiapa yang mempunyai dua orang istri kemudian dia cenderung kepada salah seorang di antara keduanya maka pada hari kiamat nanti dia akan ditimpa kemalangan dan kesulitan.
Para ulama sepakat, bahwa yang dimaksud dengan adil yang disyaratkan dalam poligami adalah adil dalam hal materi, misalnya dalam hal tempat tinggal, pakaian, makanan dan minuman dan berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan berumah tangga yang memungkinkan terwujudnya keadilan dan kesejahteraan sesuai dengan kekuasaan dan kemampuan manusia.
Keadilan dalam hal cinta di antara beberapa istri adalah hal yang sangat sulit untuk diwujudkan. Karena hal tersebut diluar kemamuan manusia. Sebagaimana firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 129 yang berbunyi :
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا.
 “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ayat ini menunjukkan bahwa suami tidak boleh terlalu cenderung kepada istri yang baru kemudian menelantarkan yang lain, dengan tidak memenuhi hak-hak mereka, akan tetapi seorang suami harus memperlakukan seluruh istrinya dengan baik dan lemah lembut. Dengan hal ini barangkali saja suami dapat menyenangkan hati istrinya dan mendapat kasih sayangnya. Karena manusia tidak akan dapat berlaku adil dalam membagi cintanya meskipun dia berusaha melakukannya.
Hal ini disebabkan diluar kemampuan manusia itu sendiri. Rasulullah Saw. sendiri perasaan cintanya terhadap istrinya Aisyah Ra. Lebih besar dibanding kepada istri-istrinya yang lain. Ketika beliau berlaku adil di antara istri-istrinya dalam hal materi, beliau berkata : “Ya Allah, inilah yang dapat aku berikan dari apa yang aku miliki, janganlah engkau menghukumku dengan apa yang tidak aku miliki.[3]
Secara garis besar dari ayat di atas dapat diambil beberapa kesimpulan hukum, yang pertama adalah bahwa shighot amar (bentuk perintah) pada فانكحوا ما طاب لكم من النساء bukan merupakan amar lil wujub (perintah wajib) akan tetapi amar lil ibahah (perintah mubah) yang artinya adalah bukan perintah untuk melakukan poligami, akan tetapi itu merupakan suatu kebolehan berpoligami[4], hukum poligami itu sendiri sama seperti hukum yang ada pada hukum Nikah (normal=bukan poligami), yang hukum awalnya adalah mubah, akan tetapi hukum tersebut bisa berubah menjadi sunnah jika memang pelaku sudah siap dalam segi mental maupun material, atau bahkan bisa menjadi wajib jika memang pelaku sudah siap secara mental dan berkecukupan secara material sedangkan dia dikhawatirkan melakukan zina jika tidak secepatnya melangsungkan pernikahan.
Yang kedua adalah tidak boleh menikah dengan lebih dari empat wanita, dan kalaupun itu terjadi maka harus dengan syarat adil kepada mereka dalam hal materi. Sedangkan makna dari مثنى وثلاث ورباع adalah bahwa kalimat bilangan tersebut menunjukkan tiap satuan jenis dari bilangan yang disebutkan. Maka lafadz مثنى artinya adalah dua dua, ثلاث adalah berarti tiga tiga, dan رباع berarti empat empat, yang makna dalam ayat tersebut adalah : menikahlah kamu terhadap wanita menurut keinginanmu, dua dua, atau tiga tiga, ataupun empat empat. Imam Zamahsyari menambahkan jika khitabnya adalah untuk orang banyak, maka harus ada pengulangan, supaya masing-masing orang mendapatkan jumlah yang mereka kehendaki. Karena seandainya tidak ada pengulangan, niscaya maknanya tidak dapat dimengerti[5].
Dan dalam ayat ini terdapat dilalah atas tidak bolehnya menikah lebih dari empat orang wanita, senada dengan pendapat tersebut Imam Syafi’i mengatakan bahwa hal tersebut telah ditunjukkan oleh Sunnah Rasulullah Saw. Sebagai penjelasan dari firman Allah Swt, bahwa selain Rasulullah Saw. tidak ada yang dibenarkan menikah lebih dari empat perempuan[6]. Hadis Rasul yang dirujuk adalah yang diriwayatkan oleh Qois bin al-Harits Ra. Beliau berkata :
حدثنا احمد بن ابراهيم الدسوقي، ثنا هشيم عن ابن أبى ليلى، عن حميضة بنت الشمردل، عن قيش بن الحارث قال : اسلمت وعندي ثمانين نسوة، فأتيت النبي صلى الله عليه وسلم : فقلت ذلك، فقال : اختر منهن اربعا. رواه ابن ماجه[7].
Ketika aku masuk Islam aku mempunyai delapan puluh istri, saya menemui Rasulullah Saw. dan menceritakan keadaan saya, lalu beliau bersabda : pilih empat diantara mereka.
Pendapat tersebut senada dengan mayoritas penafsiran mufasir salaf dan juga dikuatkan dengan adanya Ijma’ Ulama dan juga ahli Fiqih pada waktu itu yang mengatakan bahwa tidak boleh beristri lebih dari empat, dan walaupun poligami merupakan suatu kebolehan, akan tetapi Imam Fahrurrazi berkata bahwa tidak melakukan model pernikahan seperti ini (poligami), itu lebih baik daripada melakukannya[8].
Akan tetapi disamping pendapat diatas yang membolehkan poligami hanya dengan empat orang wanita saja, akan tetapi ada juga pendapat lemah yang diutarakan oleh para ahli Bid’ah yang mengatakan bahwa boleh menikah dengan sembilan wanita, dengan berdasar bahwa wawu ( و ) yang ada pada ayat tersebut adalah untuk menambah, maka yang dimaksud adalah, seseorang boleh mengumpulkan dua dan tiga dan empat yang dijumlah menjadi sembilan[9]. Sedangkan al-Qurtubi mengomentari hal tertsebut berkata, bahwa bilangan dua, tiga, empat, ini bukan menunjukkan diperbolehkannya mempunyai sembilan istri, karena hal tersebut bertentangan dengan sunnah Rasul dan kesepakatan ulama yang ada.
Bahkan ada juga yang berpendapat bahwa wawu disitu berfaedah untuk mengumpulkan, pendapat mereka didasarkan bahwa Nabi Saw. juga menikah dengan sembilan istri. Bahkan sebagian dari mereka berpendapat lebih jauh lagi, yaitu boleh mempunyai delapan belas istri. Lagi-lagi al-Qurtubi menyanggah bahwa pendapat tersebut adalah pendapat orang-orang yang tidak mengerti bahasa dan tidak faham sunnah Nabi Saw. dan tentu saja bertentangan dengan kesepakatan umat, karena belum pernah ada seorang sahabat ataupun tabi’in yang berpoligami lebih dari empat, dan begitu juga Ghailan yang beristri sepuluh wanita, ketika hendak masuk Islam Nabi menyuruh untuk memilih empat diantaranya dan menceraikan yang lainnnya[10]. Maka secara garis besar para Ulama salaf memperbolehkan poligami dengan berbagai syarat dan ketentuan mampu berlaku adil kepada seluruh istrinya dalam hal materi dan nafaqohnya.

C. Pendapat Kontemporer
Untuk memahami ayat diatas, para ulama kontemporer menggunakan pendekatan tafsir maudlu’i (tematik) untuk lebih dapat menangkap pesan yang dikehendaki oleh ayat tersebut dan tidak menafsirkan secara parsial dan terpisah-pisah. Jelas ayat ini sangat berkaitan erat dengan dua ayat sebelumnya, ayat pertama berbunyi :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.
 “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu.
Dimana ayat pertama berisi tentang perintah pada manusia untuk bertakwa pada Allah sebagai wujud dari kesadaran dirinya sebagai makhluk dan kesadaran bahwa sesungguhnya Allah adalah yang Maha Pencipta, dan juga peringatan bagi manusia agar bertakwa pada Allah karena atas nama-Nya manusia saling meminta satu sama lain. Sedangkan ayat kedua berbunyi :
وَآتُوا الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ وَلَا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَى أَمْوَالِكُمْ إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا.
 “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.
Ayat ini berbicara tentang penegasan agar berlaku adil, terutama terhadap anak-anak yatim. Ayat ini secara spesifik berbicara soal anak yatim. Kehidupan bangsa Arab pada masa jahiliyah tidak pernah sepi dari peperangan, baik peperangan antar suku maupun peperangan antar bangsa. Hal tersebut menyebabkan banyaknya jumlah anak yatim karena ayah-ayah mereka gugur di medan perang. Dalam tradisi Arab Jahiliyah pemeliharaan anak-anak yatim menjadi tanggung jawab para walinya. Para wali berkuasa penuh atas diri anak yatim yang berada pada perwaliannya, termasuk menguasai harta-harta mereka sampai anak yatim itu dewasa dan sudah mampu mengelola sendiri harta mereka.
Baru kemudian ayat ketiga yang menjelaskan pilihan jika kita tidak dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim, maka diperintahkan menikah kepada selain anak yatim, dua atau tiga atau empat. dan itupun dengan syarat kita dapat berlaku adil terhadap mereka, dan jika kita tidak mampu maka perintah menikah hanya dengan seorang wanita saja.
Ayat ini diturunkan di Madinah setelah perang Uhud. Karena kecerobohan dan ketidakdisiplinan kaum muslimin dalam perang itu mengakibatkan mereka kalah telak. Banyak prajurit muslim yang gugur di medan perang. Dampak selanjutnya, jumlah janda dan anak-anak yatim dalam komunitas muslim meningkat drastis. Tanggung jawab pemeliharaan anak-anak yatim itu tentu saja kemudian dilimpahkan kepada para walinya. Tidak semua anak yatim berada dalam kondisi yang nestapa dan miskin, namun di antara mereka banyak yang mewarisi harta peniggalan mendiang kedua orang tua mereka yang kaya.
Pada situasi dan kondisi yang disebutkan terakhir, muncul niat jahat di hati sebagian wali yang memelihara anak yatim. Dengan berbagai cara mereka berbuat curang dan culas terhadap harta anak yatim tersebut. Terhadap anak yatim perampuan  yang kebetulan mempunyai wajah cantik, para wali itu mengawini mereka. Dan jika tidak cantik, mereka menghalanginya agar tidak menikah meskipun ada laki-laki lain yang melamarnya. Tujuan para wali menikahi anak yatim yang berada dalam kekuasaan mereka semata-mata agar harta anak yatim itu tidak beralih pada tangan orang lain, melainkan jatuh kedalam genggaman mereka sendiri. Dan tujuan mereka menghalangi anak yatim perempuan untuk menikah dengan laki-laki lain juga sama, yaitu agar harta mereka tidak beralih pada orang lain. Jadi, mereka mengawini atau menghalangi pernikahan anak yatim itu mempunyai tujuan utama yang sama, yaitu supaya dapat menguasai harta mereka.
Menurut Abduh, disinggungnya persoalan poligami dalam konteks pembicaraan anak yatim bukan tanpa alasan. Hal itu memberikan pengertian bahwa persoalan poligami identik dengan persoalan anak yatim. Mengapa persoalan poligami disamakan dengan persoalan anak yatim, tidak lain adalah karena dalam kedua persoalan tersebut terkandung persoalan yang sangat mendasar, yaitu persoalan ketidakadilan. Anak yatim seringkali menjadi korban ketidakadilan karena mereka tidak terlindungi, sedangkan dalam masalah poligami yang sering menjadi korban ketidakadilan adalah perempuan.
Menurut Abu Ja’far sebagaiman yang dikutip oleh Rasyid Ridha, ayat tersebut berisi peringatan keras terhadap manusia agar bersikat hati-hati dan adil, baik terhadap anak yatim ataupun terhadap perempuan. Karena itu, janganlah mengawini anak yatim, kecuali jika tidak ada kekhawatiran terjerumus kedalam perbuatan aniaya dan dosa. Tetapi, jika takut berbuat dosa terhadap anak yatim, maka kawinlah dengan perempuan lain yang kamu sukai, yang kamu tidak khawatir akan berbuat dosa, sebanyak satu sampai empat orang. Tetapi, sekali lagi jika kamu takut berbuat dosa, kawinlah satu perempuan saja, atau kamu boleh mengambil budak-budak kamu.
Lebih jauh Rasyid Ridha menafsirkan bahwa ada dua kalimat kunci dalam ayat ini, yaitu wa in khiftum alla tuqsithu dan fa in khiftum alla ta’dilu. Maksud dari kedua kalimat tersebut adalah hendaknya kalian berlaku adil dan bersikap hati-hati terhadap perampuan, sebagaimana terhadap anak yatim. Sebab, perlakuan tidak adil terhadap kedua kelompok tersebut akan merusak tatanan sosial yang membawa kepada kemurkaan Tuhan.
Dalam kaitan ini Abduh menengaskan, pembicaraan poligami yang diungkapkan dalam konteks pembicaraan anak yatim dan larangan memakan harta mereka walaupun melalui perkawinan membawa kepada pemahaman bahwa jika kamu merasa khawatir tidak dapat menahan diri dari memakan harta anak yatim, maka janganlah kamu kawini mereka, sesungguhnya Allah telah menyediakan bagi kamu pilihan selain anak yatim dengan membolehkan kamu mengawini perempuan lain selain mereka sampai empat orang. Akan tetapi, jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap istri-istrimu yang banyak itu, maka kawinlah dengan seorang saja. Kekhawatiran tidak dapat berlaku adil itu menunjukkan keraguan dan ketidakpastian, sementara kebolehan poligami hanya berlaku jika seseorang yakin dirinya dapat berbuat adil.
Abduh menambahkan, jika ayat di atas diamati dapat ditarik kesimpulan bahwa poligami merupakan persoalan yang sangat pelik dan berat. Tampaknya, poligami hanya diperbolehkan bagi orang yang sangat membutuhkan dengan syarat meyakini kemampuan dirinya berlaku adil dan aman dari perbuatan dosa. Selanjutnya, jika diperhatikan juga bahaya yang timbul akibat poligami pada masa sekarang, bahwa jika pelaku poligami tidak dapat membina kerukunan dan kesejahteraan dalam keluarganya, dan justru konflik, permusuhan dan perpecahan antar anggota keluarga, maka bukan hal yang mustahil akan meluas dari lingkungan individu, keluarga, masyarakat, dan bahkan akan merembet pada kehidupan sosial berbangasa dan bernegara.
Menurut Quraish Shihab, ayat ketiga tersebut sering disalahpahami. Ayat ini turun, sebagaimana dituturkan Aisyah ra. Menyangkut sikap sementara wali yang ingin mengawini anak-anak yatim yang cantik dan kaya yang berada pada pengasuhannya, tetapi tidak ingin memberinya mas kawin yang sesuai dan juga tidak ingin memberinya nafkah secara adil. Ayat tersebut tidak memuat peraturan tentang poligami karena poligami telah dikenal dan dipraktekkan oleh syariat agama dan tradisi sebelum Islam. Ayat ini juga tidak mewajibkan poligami atau menganjurkannya, melainkan sekedar berbicara tentang bolehnya poligami, dan itu pun hanya pintu darurat kecil yang boleh dilalui pada saat amat diperlukan dan dengan syarata yang tidak ringan.
Senada dengan itu, Qosim Amin berpendapat bahwa terdapat faktor lain yang membolahkan seorang laki-laki berpoligami, yaitu perasaan dan keyakinan dalam dirinya apakah dengan poligami ia akan terjebak pada dosa atau tidak. Berkenaan dengan dosa, terdapat acuan dalam hadits yang menyatakan bahwa yang disebut dengan dosa adalah segala sesuatu yang menimbulkan kegelisahan dihati.
Sedangkan mengikuti pendapat gurunya, Rasyid Ridha menambahkan bahwa poligami secara alamiah bertentangan dengan tujuan perkawinan, karena pada dasarnya perkawinan adalah antara satu laki-laki dengan satu perempuan. Poligami hanyalah untuk kondisi darurat, tetapi juga disertai dengan syarat yang ketat, yaitu tidak boleh mengandung unsur dosa dan ketidakadilan. Pada saat poligami menimbulkan lebih banyak bahaya daripada manfaat, maka para hakim dapat melarang poligami[11].
Pendapat para Ulama di atas setidaknya menuju suatu pemahaman bahwa kebolehan poligami dengan syarat mampu berlaku adil pada mulanya ditawarkan hanya sebagai solusi alternatif agar para wali tidak berlaku dzalim kepada anak-anak yatim dengan memakan harta dan kekayaan mereka secara aniaya. Jadi, sebenarnya pokok pembicaraan dan penekanan yang ada dalam ayat tersebut adalah persoalan keadilan terhadap anak-anak yatim, bukan persoalan poligami.

D. Tentang Poligami Rasulullah Saw.
Poligami yang dilakukan oleh Rasulullah tidak seperti poligami yang disyariatkan kepada kaumnya, dimana beliau mempunyai istri sebanyak tiga belas orang[12] jika dikumpulkan keseluruhan, akan tetapi poligami yang disyariatkan pada umatnya terbatas hanya sampai empat orang saja, itu juga melalui peraturan ketat dengan berbagai konsekwensi yang harus dipenuhi ketika sesorang hendak berpoligami.
Poligami Rasulullah Saw. yang beristri sampai tiga belas orang merupakan suatu Hususiyyat (keistimewaan, suatu tindakan khusus) dari Allah pada Nabi-Nya. Dan tidak hanya itu, hususiyyat perkara lain adalah sholat tahajjud yang diwajibkan bagi Nabi Saw. tetapi disunnahkan bagi umatnya, atau sifat ma’shum yang tidak dimiliki oleh kaumnya. Hal tersebut adalah sesuatu yang wajar karena beliau adalah kekasih Allah, seorang Rasul pembawa misi ketuhanan yang tidak mungkin sama persis dengan kaumnya.
Dalam masalah poligami Rasulullah Saw, terdapat rahasia dan latar belakang yang mendasarinya. Imam as-Shabuni mengutarakan empat hal yang paling mendasar yang menjadi latar belakang atas peristiwa poligami Nabi Saw. yakni :
1. Faktor pendidikan dan pengajaran hukum.
Faktor pertama yang melatarbelakangi poligami Rasul adalah untuk menyiapkan calon pengajar-pengajar bagi kaum wanita, yang secara khusus mampu menerangkan hukum-hukum Islam kepada mereka. Karena kedudukan wanita dalam Islam merupakan bagian dari masyarakat, dan kepada mereka telah dibebankan kewajiban-kewajiban sebagaiman kewajiban yang dibebankan kepada laki-laki.
Istri-istri Rosul diharapkan mampu menjadi penyambung lidah pada para wanita lain, dalam hal pendidikan dan pengajaran hukum. Hal tersebut dikarenakan kebanyakan para wanita malu untuk menanyakan hal-hal yang bersifat pribadi dan agak tabu yang berkaitan dengan perempuan dan juga segala macam ketentuan hukum yang berhubungan dengan suami istri dan juga berkeluarga.
2. Faktor penyebaran Syari’at Islam.
Tugas besar diutusnya Nabi Saw. adalah untuk penyebaran Syari’at Islam termasuk juga untuk menghapus sebagian kebiasaan dan tradisi jahiliyah yang tidak sesuai dengan Islam. Seperti tradis adopsi terhadap anak angkat yang oleh tradisi jahiliyah menyamakan anak angkat dengan anak kandung dalam hal hak dan juga keawjiban, hak waris dan pernikahan. Begitu juga dengan tradisi poligami yang telah sejak dulu dilakukan oleh orang jahiliyah dengan tanpa memperhatikan kesejahteraan istri-istri mereka dan bahkan tidak adil terhadap mereka.
3. Faktor sosial.
Faktor sosial yang mendasari peristiwa poligami Nabi Saw. adalah untuk membentuk kesolidan masyarakat sosial waktu itu, karena rentannya konflik dan perpecahan yang ada, maka dengan poligami beliau dapat mempererat di antara mereka.
Seperti pernikahan Nabi Saw. dengan putri sahabat Abu Bakar ra. Setelah itu beliau menikah dengan putri sahabat Umar bin Khattab ra. Yang dengan pernikahan ini, selain makin kuatnya hubungan antara keturunan Bani Quraisy, juga terdapat pertalian kekeluargaan karena perkawinan (mushaharah). Dan perkawinan Nabi Saw. kepada mereka dengan penuh perhitungan, merupakan faktor penting yang makin memperkuat jalinan persaudaraan di antara klan ini dengan kabilah-kabilah dalam suatu ikatan yang kokoh. Dengan ikatan itulah Nabi Saw. menjadikan hati yang saling mengasihi sebagai kekuatannya, dan beliau mempertemukan kekuatan dakwahnya untuk kepentingan mengokohkan iman, keagungan dan kemuliaan Islam.
4. Faktor Politik.
Faktor berikutnya yang mendasari poligami Nabi Saw. adalah untuk melunakkan hati mereka, dan juga untuk mempersatukan kabilah-kabilah sekitarnya. Sebagaimana diketahui, bahwa apabila seseorang menikahi seseorang perempuan yang berasal dari suatu suku tertentu, maka terciptalah hubungan kekerabatan yang lebih intim dan familiar antara orang yang menikahi itu dengan pihak keluarga yang dinikahi, dan terciptalah tali kekeluargaan dengan lebih erat karena perkawinan tersebut.
Seperti perkawinan beliau dengan Juwairiyah binti al-Harits, yang berasal dari pemuka Bani Mustalik, kemudian pernikahan Nabi Saw. dengan Safiah binti Huyay bin Akhtab dari Bani Kuraidhah, dan juga pernikahan beliau dengan Ummu Habibah (Ramlah binti Abu Safyan) yang nota bene-nya adalah anak dari Abu Sofyan, pemuka orang musyrik dan juga pemuka kaum kafir Quraisy. Oleh karena itu, pernikahan Nabi Saw. dengan putri Abu Sofyan merupakan faktor yang menjadi motivasi untuk melunakkan kekerasan hati Abu Sofyan[13].
  
E. Diskusi Tawaran
Dari pemahasan diskusi diatas tentang diperbolehkannya poligami bagi umat Islam, adalah merupakan suatu pintu darurat yang dapat ditempuh ketika kita khawatir akan terjadi sesuatu yang lebih berbahaya jika kita tidak melakukan poligami. Contoh kasus ayat diatas yang konteksnya adalah ketika seseorang khawatir tidak dapat berlaku adil dengan harta kekayaan anak-anak yatim yang berada pada lindungannya jika dia mengawini anak-anak yatim tersebut, maka diatawarkan solusi untuk menikah dengan wanita lain yang disukai sampai sebanyak empat orang. Namun tentunya tetap dengan syarat berlaku adil kepada istri-istrinya itu.
Kondisi sosial masyarakat Indonesia saat ini yang masih carut marut, dengan tingkat kemiskinan yang masih tinggi, perekonomian yang masih lemah, tindak kriminal yang masih tinggi, pemasalahan sosial masyarakat yang makin menjamur seperti prostitusi, miras, judi dan sebagainya, memang masih sulit untuk dicari jalan keluarnya. Dan solusi itu tidak sederhana, karena permasalahan ini merupakan permasalahan kompleks yang menyangkut multidimensi.
Dalam masalah sosial kemasyarakatan, seperti permasalahan prostitusi yang masih menjamur dimana-mana, karena merupakan keadaan ironi dengan status Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar, akan tetapi di Indonesia juga disinyalir terdapat tempat lokalisasi prostitusi terbesar di Asia Tenggara. Sungguh suatu keadaan yang ironi memang. Dan permasalahan ini sangat membutuhkan jalan keluar yang tentunya tidak bisa dibiarkan begitu saja.
Setidaknya (menurut penulis), poligami dapat dijadikan solusi awal bagi permasalahan sosial itu, walaupun memang tidak satu-satunya, karena terlalu menyederhanakan permasalahan, akan tetapi setidaknya dapat menjadi permulaan awal untuk menuju solusi kesejahteraan sosial masyarakat.
Seperti kenyataannya, bahwa statistik menunjukkan populasi perampuan jauh lebih banyak dari pada laki-laki, hak tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, mungkin karena banyaknya laki-laki yang mati dalam kecelakaan ataupun dalam aktifitasnya, karena merekalah yang banyak beraktifitas dalam bekerja diluar rumah, ataupun karena peperangan yang banyak memakan korban laki-laki, maupun karena memang populasi mereka yang rendah.
Fenomena ini menyebabkan banyaknya perempuan yang terlantar karena ditinggal mati suaminya, ataupun banyaknya perawan yang berebut terhadap laki-laki, yang pada kondisi tertentu dapat mengakibatkan mereka untuk berbuat amoral seperti maraknya prostitusi dan perzinaan dimana-mana. Maka dari fenomena tersebut, setidaknya poligami dapat menjadi solusi bagi mereka yang tidak mempunyai pasangan.
Mirip halnya dengan poligami yaitu adanya syariat kawin Mut’ah yang diperbolehkan menurut madzhab Syi’ah, adalah suatu alternatif bagi para sahabat terdahulu ketika mereka sedang melakukan perjalanan jauh untuk berperang, ketika mereka jauh dari istri-istrinya maka mereka diperbolehkan melakukan kawin Mut’ah terhadap wanita-wanita lain supaya tidak terjadi suatu hubungan yang dilarang dalam agama. Lagi-lagi ini adalah suatu solusi yang ditempuh waktu itu supaya para sahabat yang berperang tidak melakukan hal-hal yang lebih berbahaya.
Para ulama Syi’ah menggunakan dalil pada surat an-Nisa ayat 24 yang bunyinya :
فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً4
Maka isteri-isteri yang Telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban.
Mereka berpendapat disyariatkannya mut’ah merupakan ijma’ kaum muslim berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Karena ayat diatas turun berkenaan dengan nikah mut’ah dan hal tersebut tidak pernah di nasakh (dihapus), maka hukumnya nikah mut’ah boleh sampai sekarang,[14] karena larangan nikah mut’ah berasal dari sahabat Umar bin Khattab, dan hal tersebut tidak dapat menasakh hukum mut’ah secara luas dan permanen.
Terlepas dari berbagai pendapat tentang kontroversi diperbolehkannya atau dilarangnya nikah mut’ah, akan tetapi dapat di ambil benang merah bahwa, lagi-lagi mut’ah diperbolehkan untuk menghadapi suatu peristiwa sosial yang terjadi pada waktu itu. Dan baik ulama Sunni maupun Syi’ah sepakat bahwa adanya poligami ataupun mut’ah bukan merupakan media bagi laki-laki untuk melampiaskan naluri seksnya[15], namun merupakan pintu darurat yang bisa ditempuh dengan berbagai syarat yang sangat ketat dan juga dengan berbagai aspek yang mendasarinya.
Dari pembahasan panjang tentang diskusi poligami dan juga permasalahan mut’ah diatas, setidaknya apa yang kita kedepankan? Apakah semangat untuk berpoligami ataupun semangat melakukan kawin mut’ah, yang dengan keberadaannya masih terjadi pro-kontra? Ataukah yang kita kedepanan adalah semangat yang ada dalam poligami dan mut’ah, seperti tujuan-tujuan moral, dan kesejahteraan sosial?
Terlepas dari, manakah yang lebih cocok untuk mengatasi permasalahan sosial yang terjadi antara poligami atau kawin mut’ah, maka keduanya sama-sama bisa memberi solusi awal bagi krisis moral dan krisis kesejahteraan yang ada, apabila poligami dan juga kawin mut’ah dilakukan sesuai dengan syarat-syarat dan ketentuan yang telah disepakati, dan juga tidak didasari sebagai media pembenaran bagi penyaluran hawa nafsu bagi laki-laki, akan tetapi semangat yang dikedepankan adalah semangat untuk mewujudkan kesejahteraan sosial.
Kalau yang kita kedepankan adalah semangat yang melatar belakangi terjadinya poligami ataupun kawin mut’ah, seperti untuk mewujudkan kesejahteraan sosial, maka untuk mewujudkan hal tersebut, poligami ataupun mut’ah bukan satu-satunya cara, melainkan banyak hal yang bisa kita lakukan untuk mewujudkan hal tersebut, seperti peningkatan sumber daya manusia dan pemanfaatan sumber daya alam secara maksimal, dan juga dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang banyak berpihak pada terwujudnya kesejahteraan sosial masyarakat.

Penutup
Pembahasan kita pada umumnya, kita habiskan untuk membahas hukum dari poligami itu sendiri, perdebatan diperbolehkannya ataupun tidak poligami itu. Sedangkan latar belakang, motifasi, dan semangat yang mendasari munculnya hukum tersebut justru terabaikan. Hal tersebut justru kontra produktif dengan aspek-aspek yang mendasari timbulnya hukum poligami itu sendiri, yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan bermasyarakat. Dan dari pembahasan panjang diatas, dapat kita ketahui berbagai faktor yang mendasari timbulnya poligami yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan bermasyarakat, yang hal tersebut justru lebih penting untuk kita kemukakan dan lebih urgen untuk kita eksplorasi lagi.
Jadi apapun pilihan kita apakah poligami ataupun kawin mut’ah, bukan permasalahan implementasi itu yang diutamakan, akan tetapi yang kita kedepankan adalah semangat yang melatar belakanginya, yaitu semangat mewujudkan kesejahteraan sosial, menciptakan tatanan masyarakat yang teratur, dan juga mengentaskan kemiskinan.

Wallahu A’lam bi as-Shawab.
  

Daftar Pustaka :

Al-Amili, Jafar Murtadho, Hidayatullah al-Habsyi,penj. Nikah Mut’ah Dalam Islam.

Al-Razi, Muhammad bin Umar bin Hasan, At-Tafsir Al-Kabir, Mauqi’ At-Tafasir.

Al-Qazwini, Abdullah Muhammad bin Yazid, Sunan Ibnu Majah, Libanon: darul Fikr, 1995.

Al-Qurtubi, Abi Abdillah Muhammad al-Anshari, Al-Jami’ Li Ahkami Al-Qur’an, Libanon: Darul Fikri, 1978.

As-Shabuni, Muhammad Ali, Tafsir Ayati Al-Ahkam, Damaskus: Maktabah Al-Ghazali.

As-Shabuni, Muhammad Ali, Persepsi-persepsi Dusta dan Bathil Tentang Kasus Poligami Rasulullah Saw., Jakarta: Bulan Bintang, 1988.

Az-Zamahsyari, Mahmud Bin Amr, Al-Kasyaf, Mauqi’ At-Tafasir.

Haikal, Abduttawwab, Rahasia Perkawinan Rasulullah Saw. (Poligami Dalam Islam dan Monogami Barat), Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993.

Mulia, Musdah, Pandangan Islam Tentang Poligami, Jakarta: Pustaka Bersama, 1999.

Mustafa, Ibnu, Perkawinan Mut’ah Dalam Perspektif Hadis Dan Tinjauan Masa Kini, Jakarta: Lentera, 1999.

Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah, Bandung: Al-Ma’arif, 1996.

‘Ulwan, Abdullah Nasih, Hikmah Poligami Dalam Islam, Jakarta: Studia Press, 1997.





[1] Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam melayani istri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.
[2] Abdullah Nasih ‘Ulwan, Hikmah Poligami Dalam Islam, Jakarta: Studia Press, 1997, hal. 37-40
[3] Ibid, hal. 45-51
[4] Muhammad Ali As-Shabuni, Tafsir Ayati Al-Ahkam, Damaskus: Maktabah Al-Ghazali, hal. 425
[5] Mahmud Bin Amr Az-Zamahsyari, Al-Kasyaf, Mauqi’ At-Tafasir, juz 1, hal. 360
[6] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Bandung: Al-Ma’arif, 1996, hal. 149
[7] Abdullah Muhammad bin Yazid Al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, Libanon: darul Fikr, 1995. hal. 612
[8] Muhammad bin Umar bin Hasan ar-Razi, At-Tafsir Al-Kabir, Mauqi’ At-Tafasir, Juz 9, hal. 172
[9] Tafsir Ayati Al-Ahkam, Juz 1, hal. 426
[10] Abi Abdillah Muhammad al-Anshari al-Qurtubi, Al-Jami’ Li Ahkami Al-Qur’an, Libanon: Darul Fikri, 1978, Juz 5, hal 17
[11] Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, Jakarta: Pustaka Bersama, 1999, hal. 32-42
[12] Abduttawwab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah Saw. (Poligami Dalam Islam dan Monogami Barat), Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993, hal. 114
[13] Muhammad Ali As-Shabuni, Persepsi-persepsi Dusta dan Bathil Tentang Kasus Poligami Rasulullah Saw., Jakarta: Bulan Bintang, 1988, hal. 19-40
[14] Lihat Jafar Murtadho al-Amili, Hidayatullah al-Habsyi,penj. Nikah Mut’ah Dalam Islam, hal. 38-39
[15] Lihat Ibnu Mustafa, Perkawinan Mut’ah Dalam Perspektif Hadis Dan Tinjauan Masa Kini, Jakarta: Lentera, 1999, hal. 69

Komentar

  1. Casino Tycoon, Biloxi, MS | Mapyro
    Casino Tycoon, Biloxi. Located 25 miles south 전라남도 출장샵 of 구미 출장샵 Memphis International Airport. 안동 출장마사지 Free local calls 상주 출장샵 (662) 541-8000. Map 경상북도 출장마사지 directions.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer