Indonesia dan Turki dalam Bingkai Budaya
Oleh: Muhammad Labib Syauqi*
Berbicara tentang budaya
adalah berbincang tentang suatu kekayaan yang unik, menarik serta tak habis
untuk diperbincangkan. Masyarakat yang berbudaya adalah masyarakat yang selalu
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, perdamaian serta keluhuran budi
pekerti. Masyarakat yang berbudaya adalah mereka yang telah mampu
mengintegrasikan berbagai nilai serta norma yang ada menjadi suatu kebudayaan
yang luhur.
Di Indonesia terdapat lebih
dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa, dan terdapat 700 lebih bahasa daerah.
Dengan itulah kemudian menjadi modal bahwa Indonesia sangat kaya akan
kebudayaannya. Hal itu juga yang membuat orang Turki kaget tercengang sambil
mengernyitkan dahi seakan tak percaya, ketika menjawab pertanyaan tentang jumlah
suku dan bahasa di Indonesia.
Berdeda dengan bangsa
Turki (Türk Halkları) yang komposisinya terdiri dari sekitar 21 suku bangsa
besar dengan 26 jenis lahjah bahasa, akan tetapi dari suku bangsa tersebut
bangsa Turki mempunyai penyebaran wilayah geografis yang sangat luas mulai dari
Asia Tengah, semenanjung Anatolia, wilayah Balkan, padang Siberia dan juga
sampai Eropa Timur, dan telah menjadi 6 negara bangsa Turki yang berdaulat,
yakni Negara Turki itu sendiri, Azerbaijan, Kazakhstan, Kirgizstan,
Turkmenistan dan juga Uzbekistan.
Dengan kekayaan dan
keberagamaan budaya, kebersamaan serta persatuan yang terwujud terasa lebih kokoh
dan tak mudah dipecah belah, karena hal tersebut berarti masyarakatnya telah
dewasa menyikapi keberagaman serta dapat menghargai perbedaan. Mahatma Gandhi mengatakan “No culture can live if
it attempts to be exclusive”, bahwa sebuah budaya akan mati, tidak dikenal,
ketika budaya itu tertutup dari masyarakat lain. Artinya budaya akan semakin
berkembang ketika banyak bersanding dan dikenal dengan budaya lainnya.
Elif dan Budaya Turki Populer
Akhir-akhir ini, dapat
kita jumpai beberapa drama serial Turki yang ditayangkan di beberapa televisi
swasta di Indonesia. Tak kurang, drama seperti Elif, Cansu Hazel,
Cinta di Musim Cherry kemudian Abad Kejayaan, mempunyai rating
yang cukup tinggi di mata para penikmat drama serial. Bahkan acara meet and
greet dengan para pemain drama Elif pun tidak sepi pengunjung. Dari drama
serial ini, setidaknya dapat kita melihat dan memahami berbagai budaya dan
kebiasaan masyarakat Turki. Karena pasti drama serial Turki menyuguhkan teste
yang berbeda jika dibanding dengan drama-drama import lain yang ada di layar
televisi.
Diantara kelebihan yang
dimiliki bangsa Turki adalah, mereka mempunyai Nasionalisme yang sangat kuat,
serta sangat mencintai negaranya. Hal itu dibuktikan, promosi budaya Turki,
bukan hanya digarap oleh pemerintah, akan tetapi dari fihak non pemerintah-pun
mereka banyak yang dengan serius menggarap bidang ini. Pemerintah Turki setiap
tahunnya setidaknya memberikan beasiswa bagi para mahasiswa Internasional yang
mencapai sekitar 50 ribu orang. Para mahasiswa-mahasiswa penerima beasiswa ini,
diwajibkan mengikuti kelas Bahasa Turki ditahun pertamanya, meskipun bahasa
pengantar kuliah mereka tidak menggunakan Bahasa Turki. Dari para mahasiswa
yang telah menyelesaikan pendidikannya dan telah kembali ke negara
masing-masing itulah kelak akan menjadi agen-agen kebudayaan bagi Turki.
Selain promosi budaya,
berbagai hal yang berkaitan dengan Turki tidak kalah familiar di Indonesia,
seperti dalam bidang kuliner. Kebab Turki yang menjadi merek franchise populer
beberapa tahun lalu, ada eskrim Turki yang terkenal dengan nama dondurma berada
di mall-mall besar di Indonesia, kemudian dalam produk industri, karpet Turki merupakan
produk karpet yang legendaris. Dalam pemikiran keagamaan-pun, tokoh pemikir
Turki terkenal abad 21 yaitu Badiuzzaman Said Nursi dengan promosi buku-bukunya
yang diterjemahkan dan dicetak dalam puluhan bahasa asing termasuk Bahasa
Indonesia dan juga banyak membuka asrama mahasiswa (dersane) sebagai
pusat studi pemikiran Nursi di Indonesia.
Tari Saman dan Keramahan Orang Indonesia
Baru-baru ini,
Indonesia mempunyai Rumah Budaya Indonesia di kota Ankara Turki, yang baru
diresmikan kemaren tanggal 27 November 2015. Rumah budaya ini diharapkan dapat memperkenalkan keragaman budaya dan meningkatkan citra
budaya Indonesia, meningkatkan kerja sama di bidang kebudayaan serta
menyediakan layanan informasi tentang Indonesia.
Jauh sebelum Rumah
Budaya Indonesia terbentuk, para mahasiswa dan diaspora Indonesia yang berada
di Turki dengan aktif memperkenalkan budaya Indonesia pada ajang perkenalan
budaya negara (Ülke Tanıtım) yang diikuti oleh para diaspora yang berada di
Turki. Performance Indonesia dengan Tari Saman (Aceh) pasti mencuri perhatian
para penonton yang hadir serta mendapatkan apresiasi dan sambutan yang hangat,
disamping juga memperkenalkan makanan khas Indonesia yang terkenal kaya akan
bumbu-bumbuannya.
Ketika ditanya asal
kita, kemudian kita menjawab Indonesia, pasti mereka akan dengan cepat
menyergah “müslüman kardeşi” yang artinya saudara sesama muslim. Bagi orang Turki
yang sudah pernah melaksanakan ibadah haji, maka kesan mendalam yang diingat
dengan jemaah haji Indonesia adalah orang-orang yang ramah dan sangat sopan.
Tetapi tidak semua hal yang diterima orang Turki tentang Indonesia itu tepat,
misalnya seperti kabar bahwa setiap anak muda yang hendak menikah, maka
sebelumnya harus pergi haji atau harus melangsungkan akad nikah di tanah suci
Makkah, atau berita mengenai masih adanya suku pedalaman yang kanibal, dan
masih banyak lagi.
Penutup
Indonesia dan Turki mempunyai entry point besar yaitu pada keadaan
penduduknya yang sama-sama mayoritas Islam, maka budaya yang berlandaskan pada
nilai-nilai Islami disitulah kita berada pada posisi yang sama dengan Turki,
meskipun memiliki ekspresi ke-Islam-an yang berbeda.
Agenda promosi budaya Turki dalam mewujudkan Turkinisasi atau “Neo Ottoman”
dilakukan begitu serius serta massif, hal itu merupakan sisi positif yang mesti
kita tiru untuk kita garap, jangan sampai kita masih diributkan dengan saling
claim atas asal-muasal suatu seni dan tradisi budaya tertentu dengan saudara
serumpun kita, sehingga melupakan agenda besar untuk mempromisikan kekayaan
budaya kita.
Cesar
Chaves, seorang aktifis buruh Amerika mengatakan “Preservations of one’s own
culture does not require contempt or disrespect for other”, suatu budaya
untuk dapat terus hidup, tidaklah dengan cara meremehkan atau tidak menghormati
terhadap budaya lain, akan tetapi justru dengan saling memberikan apresiasi dan
penghargaan terhadap budaya lain, maka akan dapat terus berkembang dan solid.
[*] Paper ini disampaikan pada; “Seminar on
Indonesia-Turkey Relations, In Educations, Politics, Religion and Culture”, 16 Desember 2015, di IAIN
Raden Intan, Bandar Lampung.
*
Penulis adalah Master lulusan Necmettin Erbakan University Konya-Turkey, juga
dosen di Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon.
Komentar
Posting Komentar