Dasar-dasar Pengetahuan Dan Kriteria Kebenaran


Oleh : Labib Syauqi

1. Definisi dan Jenis Pengetahuan

Secara etimologi pengetahuan yang dalam bahasa inggris yaitu knowledge adalah kepercayaan yang benar (knowledge is justified true belief)[1]. Sedangkan secara terminologi, menurut Drs. Sidi Gazaliba, pengetahuan adalah apa yang diketahui atau hasil dari pekerjaan tahu. Pekerjaan tahu tersebut adalah hasil dari kenal, sadar, insaf, mengerti, dan pandai. Jadi semua pengetahuan itu adalah milik dari isi pikiran[2].jadi pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk tahu[3].

Loren Bagus dalam kamus filsafatnya menjelaskan bahwa pengetahuan adalah proses kehidupan yang diketahui manusia secara langsung dari kesadarannya sendiri. Pada peristiwa ini yang mengetahui (subjek) memiliki yang diketahui (objek) di dalam dirinya sendiri yang sedemikian aktif, sehingga yang mengetahui itu menyusun yang diketahui itu pada dirinya sendiri dalam kesatuan aktif. Dalam arti luas pengetahuan berarti semua kehadiran intensional objek dalam subjek. Tetapi dalam arti sempit dan berbeda dengan imajinasi atau pemikiran belaka, pengetahuan hanya berarti putusan yang benar dan pasti (kebenaran; kepastian). Di sini subjek sadar akan hubungan-hubungannya sendiri dengan objek dan sadar akan hubungan objek dengan eksistensi. Pada umumnya, adalah tepat kalau mengatakan pengetahuan hanya merupakan pengalaman “sadar”. Karena sangat sulit melihat bagaimana persisnya suatu pribadi dapat sadar akan suatu eksisten tanpa kehadiran eksisten itu didalam dirinya[4]. Sedangkan orang pragmatis yang direpresentasikan oleh Jhon dewey, mereka tidak membedakan pengetahuan dengan kebenaran. jadi kebenaran harus benar, kalau tidak benar maka itu kontradiksi.[5]

Dari beberapa pengertian tentang pengetahuan diatas, dari berbagai aspek dan sudut pandangnya, ada juga yang mengatakan bahwa pengetahuan adalah kebenaran dan kebenaran adalah pengetahuan, maka pastilah dalam kehidupan manusia terdapat pengetahuan dan kebenaran. Burhanuddin Salam mengklasifikasikan bahwa pengetahuan yang diperoleh manusia dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu:

1. Pengetahuan biasa (common sense) yaitu pengetahuan biasa, atau dapat kita pahami bahwa pengetahuan ini adalah pengetahuan yang karena seseorang memiliki sesuatau karena menerima secara baik. Orang menyebut sesuatu itu merah karen memang merah, orang menyebut benda itu panas karena memang benda itu panas dan seterusnya.

2. Pengetahuan Ilmu (science) yaitu ilmu pengetahuan yang bersifat kuantitatif dan objektif, seperti ilmu alam dan sebagainya.

3. Pengetahuan Filsafat, yakni ilmu pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran yang bersifat kontemplatif dan spekulatif. Pengetahuan filsafat lebih menekankan pada universalitas dan kedalaman kajian tentang sesuatu.

4. Pengetahuan Agama, yaitu pengetahuan yang hanya didapat dari Tuhan lewat para utusan-Nya. Pengetahuan agama bersifat mutlak dan wajib diyakini oleh para pemeluk agama[6].

Jadi perbedaan antara pengetahuan dan ilmu adalah jika pengetahuan (knowledge) adalah hasil tahu manusia untuk memahami suatu objek tertentu[7], sedangkan ilmu (science) adalah pengetahuan yang bersifat positif dan sistematis[8].

2. Sumber Pengetahuan

Semua orang mengakui memiliki pengetahuan. Namun dari mana pengetahuan itu diperoleh atau lewat apa pengetahuan itu di dapat. Dari sana timbul pertanyaan bagaimana kita memperoleh pengetahuan atau dari mana sumber pengetahuan didapat. Sebelum membahas sumber pengetahuan, terlebih dahulu mengetahui tentang hakikat pengetahuan.

Pengetahuan pada dasarnya adalah keadaan mental. Mengetahui sesuatu adalah menyusun pendapat tentang suatu objek, dengan kata lain menyusun gambaran tentang fakta yang ada diluar akal. Persoalannya kemudian adalah apakah gambar itu sesuai dengan fakta atau tidak? Apakah gambaran itu benar? Atau apakah gambaran itu dekat dengan kebenaran atau jauh dari kebenaran?

Ada dua teori untuk mengetahui hakikat pengetahuan, yaitu:

1. Realisme

Teori ini mempunyai pandangan realistis terhadap alam. Pengetahuan menurut realisme adalah gambaran atau copy yang sebenarnya dari apa yang ada dalam alam nyata (dari fakta atau hakikat). Pengetahuan atau gambaran yang ada dalam akal adalah copy dari yang asli yang ada di luar akal. Hal ini tidak ubahnya seperti gambaran yang terdapat dalam foto. Dengan demikian, realisme berpendapat bahwa pengetahuan adalah benar dan tepat bila sesuai dengan kenyataan.[9]

2. Idealisme

Idealisme adalah menegaskan bahwa untuk mendapatkan pengetahuan yang benar-benar sesuai dengan kenyataan adalah mustahil. Pengetahuan adalah proses-proses mental atau proses psikologis yang bersifat subjektif. Oleh karena itu, pengetahuan bagi seorang idialis hanya merupakan gambaran subjektif dan bukan gambaran objektif tentang realitas. Subjektif dipandang sebagai suatu yang mengetahui, yaitu dari orang yang membuat gambaran tersebut. Karena itu, pengetahuan menurut teori ini tidak menggambarkan hakikat kebenaran. Yang diberikan pengetahuan hanyalah gambaran menurut pendapat atau penglihatan orang yang mengetahui atau (subjek).[10]

Setelah kita mengetahui tentang hakikat pengetahuan dan pemaparan kedua madzhab yang menjelaskan hakikat ilmu itu sendiri, maka yang menjadi pertanyaan lanjutan adalah dari mana pengetahuan itu bersumber? Pengetahuan yang ada pada kita diperoleh dengan menggunakan berbagai alat yang merupakan sumber pengetahuan tersebut.

Dalam hal ini ada beberapa pendapat tentang sumber pengetahuan:

1. Empirisme

Kata ini berasal dari kata Yunani empeirikos, artinya pengalaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya. Dan bila dikembalikan kepada kata Yunaninya, pengalaman yang dimaksud ialah pengalaman inderawi.[11]

Dengan inderanya, manusia dapat mengatasi taraf hubungan yang semata-mata fisik dan masuk ke dalam medan intensional, walaupun masih sangat sederhana. Indera menghubungkan manusia dengan hal-hal konkret-material.

Pengetahuan inderawi bersifat parsial. Itu disebabkan oleh adanya perbedaan antara indra yang satu dengan indra yang lainnya, berhubungan dengan sifat khas fisiologis indera dan dengan objek yang dapat ditangkap sesuai dengannya. Masing-masing indra menangkap aspek yang berbeda mengenai barang atau makhluk yang menjadi objeknya. Jadi pengetahuan inderawi berada menurut perbedaan indera dan terbatas pada sensibilitas organ-organ tertentu.[12]

2. Rasionalisme

Aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Manusia memperoleh pengetahuan melalui kegiatan menangkap objek.

Dalam penyusunan ini akal menggunakan konsep-konsep rasional atau ide-ide universal. Konsep tersebut mempunyai wujud dalam alam nyata yang bersifat universal. Yang dimaksud dengan prinsip-prinsip universal adalah abstraksi dari benda-benda kongkret, seperti hukum kausalitas atau gambaran umum tentang benda tertentu. Kaum rasionalis yakin bahwa kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja.[13]

3. Intuisi

Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran tertentu. Seseorang yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah dan tiba-tiba saja menemukan jawaban atas permasalahan tersebut. Tanpa melalui proses berfikir yang berliku-liku tiba-tiba saja dia sudah sampai disitu. Jawaban atas permasalahan yang sedang dipikirkannya muncul dibenaknya bagaikan kebenaran yang membukakan pintu. Atau bisa juga, intuisi ini bekerja dalam keadaan yang tidak sepenuhnya sadar, artinya jawaban atas suatu permasalahan ditemukan tidak tergantung waktu orang tersebut secara sadar sedang menggelutnya. Namun intuisi ini bersifat personal dan tidak bisa diramalkan. Sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan secara teratur maka intuisi ini tidak bisa diandalkan.[14]

4. Wahyu

Wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada manusia. Pengetahuan ini disalurkan oleh nabi-nabi yang diutusnya sepanjang zaman. Agama merupakan pengetahuan bukan saja mengenai kehidupan sekarang yang terjangkau pengalaman, namun juga mencakup masalah-masalah yang bersifat transedental seperti latar belakang penciptaan manusia dan hari kemudian di akhirat nanti. Pengetahuan ini didasarkan kepada kepercayaan akan hal-hal yang ghaib ( supernatural ). Keparcayaan kepada tuhan yang merupakan sumber pengetahuan, kepercayaan kepada nabi sebagai perantara dan kepercayaan terhadap wahyu sebagai cara penyampaian, merupakan dasar dari penyusunan pengetahuan ini. Kepercayaan merupakan titik tolak dalam agama. Suatu pernyataan harus dipercaya dulu untuk dapat diterima: pernyataan ini bisa saja selanjutnya dikaji dengan metode lain.[15]

3. Pengetahuan Menurut Islam

Wawasan tentang yang kudus yang telah menghilang dari konsepsi Barat tentang pengetahuan merupakan titik sentral dalam teori Islami tentang pengetahuan. Sesungguhnya yang membedakan cara berpikir Islami dari cara Barat, adalah keyakinan yang tidak tergoyahkan dari cara berfikir yang pertama bahwa Allah berkuasa atas segala hal dan bahwa segala sesuatunya tertmasuk pengetahuan, berasal dari satu-satunya sumber yang tidak lain adalah Allah. Oleh karena sumber pengetahuan adalah yang Kudus, maka tujuan pengetahuan itu tidak lain adalah kesadaran mengenai yang Kudus.

Sumber pengetahuan menurut Islam, bahwa mereka percaya bahwa pengetahuan mengenai sifat Allah, takdir manusia, penciptaan alam semesta, kehidupan di akhirat dan mengenai masalah-masalah lainnya yang bersifat transendental berasal langsung dari Allah dan dalam prinsipnya tidak dapat diperdebatkan. Metafisiska memang membahas masalah-masalah itu, akan tetapi karena sifatnya transendental, lintas-empiri dan supra-inderawi, maka masalah-masalah itu kedap terhadap segala upaya dari kaum terpandai sekalipun di dunia, dan oleh kareanya dianggap bagai “tidak terpecahkan” walaupun diakui sebagai masalah-masalah abadi filsafat. Oleh karena pembahasan yang mendasar itu artinya masalah-masalah abadi filsafat oleh para ahli metafisika, tidak membuahkan hasil-hasil yang bermanfaat, maka metafisika dinyatakan sebagai tidak signifikan, tidak kognitif, dan proposisi-proposisi metafisika sebagai tidak bernmakna. Disamping pengalaman inderawi dan rasio para filosof muslim juga mengakui intuisi sebagai jalan memperoleh pengetahuan. Oleh sebab itu, apa yang dinyatakan sebagai tidak signifikan dan tidak kognitif dengan alasan tidak dapat diferifikasi dan tidak empiris masih bisa bermakna, apabila sudah diakui bahwa pengetahuan juga bisa diperoleh melalui wahyu. Pengetahuan yang diwahyukan itu pasti mutlak, tidak dapat disangsikan lagi dan abadi. Oleh sebab itu maka, masalah-masalah yang sifatnya metafisis tidak dapat dibahas atau diperdebatkan. Akal terlalu lemah untuk memahami masalah-masalah itu karena dalamnya misterius dan transendental.[16]

4. Kriteria Kebenaran

Berfikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Apa yang disebut benar bagi seseorang belum tentu benar bagi orang lain. Karena itu, kegiatan berfikir adalah usaha untuk menghasilkan pengetahuan yang benar itu atau kriteria kebenaran. Pada setiap jenis pengetahuan tidak sama kriteria kebenarannya karena sifat dan watak pengetahuan itu berbeda. Pengetahuan alam metafisika tentunya tidak sama dengan pengetahuan tentang alam fisik. Alam fisik pun memiliki perbedaan ukuran kebenaran bagi setiap jenis dari bidang pengetahuan.

Problem kebenaran inilah yang memacu tumbuh dan berkembangnya epistemologi. Telaah epistemologi terhadap kebenaran membawa orang kepada sesuatu kesimpulan bahwa perlu dibedakan adanya tiga jenis kebenaran, yaitu kebenaran epistemologi, kebenaran ontologis, dan kebenaran semantis.[17] Kebenaran epistemologis adalah kebenaran yang berhubungan dengan pengetahuan manusia, kebenaran dalam arti ontologis adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat pada hakikat segala sesuau yang ada atau diadakan. Kebenaran dalam arti semantis adalah kebenaran yang terdapat serta melekat dalam tutur kata dan bahasa.

Namun, dalam pembahasan ini dibahas kebenaran epistemologis karena kebenaran yang lainnya secara inheren akan masuk dalam kategori kebenaran epistemologis.

Teori yang menjelaskan epistemologis adalah sebagai berikut :

1. Teori korespondensi

Menurut teori korespondensi, kebenaran atau keadaan benar itu apabila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju oleh pernyataan atau pendapat tersebut.[18] Dengan demikian, kebenaran epistemologis adalah kemanunggalan antara subjek dan objek. Pengetahuan ini dikatakan benar apabila didalam kemanunggalan yang sifatnya intrinsik, intensional, dan pasif-aktif terdapat kesesuaian antara apa yang ada di dalam objek. Hal itu karena puncak dari proses kognitif manusia terdapat di dalam budi pikiran subjek itu benar sesuai dengan apa yang ada di dalam objek.[19]

Suatu proposisi atau pengertian adalah benar apabila terdapat suatu fakta yang diselaraskannya, yaitu apabila ia menyatakan apa adanya. Kebenaran itu adalah yang bersesuaian dengan fakta, yang berselaras dengan realitas, yang serasi dengan situasi aktual.

Dengan demikian, kebenaran dapat didefinisikan sebagai kesetiaan pada realitas objektif . yaitu, suatu pernyataan yang sesuai dengan fakta atau sesuatu yang selaras dengan situasi. Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan mengenai fakta dengan fakta aktual: atau antara putusan dengan situasi seputar yang diberi interpretasi.[20]

Mengenai teori korespondensi tentang kebenaran dapat disimpulkan sebagai berikut :

Dua hal yang sudah diketahui sebelumnya, yaitu pernyataan dan kenyataan. Menurut teori ini, kebenaran adalah kesesuaian antara pernyatan tentang sesuatu dengan kenyataan sesuatu itu sendiri. Sebagaimana contoh dapat dikemukakan : « Jakarta adalah ibu kota Republik Indonesia ». pernyataan ini disebut benar karena kenyataannya Jakarta memang ibukota Republik Indonesia. Kebenarannta terletak pada hubungan antara pernyataan dengan kenyataan. Adapun jika dikatakan Bandung adalah ibukota Republik Indonesia, pernyataan itu salah karena tidak sesuai antara pernyataan dengan kenyataan.

Suatu proposisi itu cendrung untuk benar jika proposisi itu saling berhubungan dengan proposisi-proposisi lain yang benar, atau jika arti yang dikandung oleh proposisi yang saling berhubungan dengan pengalaman kita. Kepastian mengenai kebenaran sekurang-kurangnya memiliki empat pengertian, dimana satu keyakinan tidak dapat diragukan kebenarannya, sehingga disebut pengetahuan. Pertama, pengertian yang bersifat psikologis. Kedua, pengertian yang bersifat logis. Ketiga, menyamakan kepastian dengan keyakinan yang tidak dapat dikoreksi. Keempat, pengertian akan kepastian yang digunakan dalam pembicaraan umum, dimana hal itu diartikan sebagai kepastian yang yang didasarkan pada nalar yang tidak dapat diragukan atau dianggap salah.[21]

2. Teori pragmatisme Tentang kebenaran

Teori selanjutnya adalah teori pragmatisme tentang kebenaran. Pragmatisme berasal dari bahasa yunani pragma, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan, tindakan, sebutan bagi filsafat yang dikembangkan oleh Wiliam James di Amerika Serikat. Menurut filsafat ini benar tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori semata-mata bergantung kepada asas manfaat. Sesuatu dianggap benar jika mendatangkan manfaat.

Menurut teori pragmatisme, suatu kebenaran dan suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan manusia. Teori, hipotesa atau ide adalah benar apabila ia membawa kepada akibat yang memuaskan, apabila ia berlaku dalam praktik, apabila ia mempunyai nilai praktis. Kebenaran terbukti oleh kegunaannya, oleh hasilnya, dan oleh akibat-akibat praktisnya. Jadi kebenaran ialah apa saja yang berlaku.[22]

3. Agama Sebagai Teori Kebenaran

Manusia adalah makhluk pencari kebenaran. Salah satu cara untuk menemukan suatu kebenaran adalah melalui agama. Agama dengan karakteristiknya sendiri memberikan jawaban atas segala persoalaan asasi yang dipertanyakan manusia; baik tentang alam, manusia, maupun tentang tuhan. Kalau ketiga teori kebenaran sebelumnya lebih mengedepankan akal, budi, rasio, dan reason manusia, dalam agama yang dikedepankan adalah wahyu yang bersumber dari tuhan.[23]

Suatu hal itu dianggap benar apabila sesuai dengan ajaran agama atau wayu sebagai penentu kebenaran mutlak. Oleh karena itu, sangat wajar ketika Imam al-Ghazali merasa tidak puas dengan penemuan-penemua akalnya dalam mencari suatu kebenaran. Akhirnya al-Ghazali sampai pada kebenaran yang kemudian dalam tasawuf setelah dia mengalami proses yang panjang. Tasawuf lah yang menghilangkan keragu-raguan tentang segala sesuatu. Kebenaran menurut agama inilah yang dianggap oleh kaum sufi sebagai kebenaran multak; yaitu kebenaran yang sudah tidak dapat diganggu gugat lagi. Namun al-Ghazali tetap merasa kesulitan menentukan kriteria kebenaran. Akhirnya kebenaran yang didapat adalah kebenaran sujektif atau inter-subjektif.[24]

5. Penutup

Pengetahuan merupakan sesuatu yang paling berharga bagi kehidupan manusia, dan dengan pengetahuan yang kemudian dia bisa berpikir tentang alam ini, berpikir tentang kebenaran yang selalu dicari, berpikir tentang kebesaran Tuhan melalui alam ciptannya ini, maka dia menjadi makhluk yang paling berguna dan paling mulia dari pada makhluk yang lain.

Akan tetapi jika seorang manusia dengan obsesi pengetahuannya, yang kemudian akhirnya merusak lingkungan, mengabaikan keharmonisan alam, hingga membunuh sesamanya, maka dengan itu dia bisa menjadi makhluk yang paling mengerikan dan paling hina diantara makhluk ysng lain.

Dengan pengetahuan yang berorientasi pada pencarian kebenaran dengan berbagai kriteria dan fersi yang telah dipaparkan diatas, maka hendaklah manusia bisa lebih arif dalam menyikapi fenomena yang terjadi dengan berbagai perbedaan yang ada, bagaimana bisa mengakomodir semua perbedaan tersebut menjadi suatu khazanah yang harmonis dan bersanding bersama untuk berjalan bareng menuju kemajuan kehidupan bersama yang lebih baik.

Akhirnya demikianlah sekelumit yang bisa kami paparkan semoga bisa ikut memberi kontribusi positif bagi khazanah pemikiran kita supaya bisa lebih dewasa dalam bersikap dan lebih bijak menerima perbedaan dalam khazanah keilmuwan yang ada.

Daftar Pustaka

Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, cet. XVI, Jakarta : Sinar Harapan, 2003.

Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, cet. I, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006.

----------, Amsal Filsafat Agama I, cet. I, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997.

Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996.

A, Qadir C., Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, Jakarta : Pustaka Obor Indonesia, 2002.

Edwards, Paul. (Ed)., The Encyclopedia of Philosophy, Vol. V., New York: Collie Mac Millan Publishing Co., ed. 2, 1972.

Gazalba, Sidi Sistematika Filsafat, Pengantar Kepada Teori Pengetahuan, Buku II, cet. I, Jakarta : Bulan Bintang, 1992.

Salam, Burhanuddin, Logika Materil; Filsafat Ilmu Pengetahuan, cet. I, Jakarta : Rinika Cipta, 1997.

Amin, Miska Muhammad Epistemologi Islam, Jakarta : UI Press, 1983.

Rasyidi (ED)., H.M. Filsafat Agama, cet. IX, Jakarta: Bulan Bintang, 1994.

Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2002.

Baker, Anton dan Ahmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, cet. IV, Yogyakarta : Kanisius, 1994.

Kattsoft, Louis O., Pengantar Filsafat, cet. VII, Yogyakarta : Tiara Wicana Yogya, 1996.

Watholy, Aholiab, Tanggung Jawab Pengetahuan, cet. V, Yogyakarta: Kanisius, 2001.

Hadi, Hardono, Epistemologi; Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta: kanisius, 1997.

-------------------------------------------------------------------------------------------------

[1] Paul Edwards, The Encyclopedia of Philosophy, (New York; Macmillian Publishing, 1972), vol. 3.

[2] Sidi Gazaliba, Sistematika Filsafat, (Jakarta; Bulan Bintang, 1992), cet. 1, hlm. 4.

[3] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 85.

[4] Loren Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta; Gramedia, 1996), cet. 1, hlm. 803.

[5] Burhanuddin Salam, Logika Materiil, (Jakarta; Rineka Cipta, 1997), cet. 1, hlm. 28.

[6] Filsafat Ilmu, hlm. 87-89.

[7] Miska Muhammad Amin, Epistemologi Islam, (Jakarta; UI Press, 1983), hlm. 3.

[8] Encyclopedia America, (USA; America Co., 1972), vol. 24, hlm. 413.

[9] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, (Jakarta: Logos, 1997) cet. I, hlm. 38.

[10] H.M. Rasyidi (ED)., Filsafat Agama, (Jakarta; Bulan Bintang, 1994), cet. IX, hlm. 17.

[11] Ahmad Tafsir, Filsafa Umumt, hlm. 24.

[12] Anton Baker, Ahmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta; Kanisius, 1994), cet. IV, hlm. 22.

[13] Louis O. Kattsoft, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta; Tiara Wicana Yogya, 1996), cet. VII, hlm. 139.

[14] Jujun S. Sumantri, Filsafat Ilmu, (Jakarta; Pustaka Sinar Harapan, 2003), cet. XVI, hlm. 53.

[15] Filsafat Ilmu, hlm. 54

[16] C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, (Jakarta; Pustaka Obor Indonesia, 2002), hlm. 5-12.

[17] Aholiab Watholy, Tanggung Jawab Pengetahuan, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), cet ke-5, hlm. 157.

[18] Jujun S. Sumantri, Filsafat Ilmu, (Jakarta; Pustaka Sinar Harapan, 2003), cet. XVI, hlm. 57.

[19] Hardono Hadi, Epistemologi; Filsafat Pengetahuan, (Yogyakarta: kanisius, 1997), hlm. 148.

[20] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 112-113

[21] Aholiab Watholy, Tanggung Jawab Pengetahuan, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), cet ke-5, hlm. 159.

[22] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 119

[23] Endang Saepudin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama, (Surabaya: Bina Ilmu, 1981), hlm. 172-173

[24] Amsal Bahtiar, Filsafat, hlm. 28-29.

Komentar

Postingan Populer