Kaidah Ilmu Tafsir


Oleh : Labib Syauqi

Dua Kalimat ; Jika Berkumpul Berpisah,
Tapi Jika Berpisah Berkumpul.

Prolog

Adalah satu keniscayaan bagi seseorang yang hendak menguasai suatu disiplin ilmu tertentu, harus menguasai segala aspek yang berkaitan dengan disiplin ilmu tersebut, yang meliputi berbagai macam hal, mulai dari hal-hal yang berkaitan dengan mentalitas personal yang bersangkutan yaitu Akhlaqul Karimah, ataupun yang berkaitan dengan intensitas dan juga niatan yang pastinya harus mulia dan juga berorientasi ukhrowi, sampai pada penguasaan berbagai macam disiplin ilmu alat atau ilmu-ilmu yang berperan sebagai media untuk menguasai ilmu yang kita maksudkan. Seperti halnya kaidah fiqih yang mewajibkan sesuatu, yang mana sesuatu yang lain bergantung pada sesuatu itu.

Dalam hal ini jika seseorang hendak menafsiri teks-teks al-Qur’an, maka sebelumnya dia setidaknya harus menguasai berbagai ilmu alat (ilmu yang berkaitan dengan gramatika bahasa arab) disamping juga harus menguasai berbagai kaidah yang harus diketahui dan berkaitan dengan tafsif. Seperti kaidah Dloma’ir dan marji’nya, tentang Makrifat dan Nakiroh, Mufrod dan Jamak, termasuk lafal-lafal yang dikira mutarodif tetapi bukan,[1] dan juga tentang dua kalimat yang apabila bersama akan mempunyai makna berbeda tapi, akan mempunyai makna yang sama apabila tidak bersamaan. Dan yang terakhir ini adalah yang akan kita bahasa kali ini.

Kaidah ini mungkin tidak banyak dibahas oleh para ulama Salaf, kita akan kesulitan mencari sebuah referensi yang dengan intens membahas kaidah ini atau bahkan membahasnya dalam sebuah bab tersendiri, tapi mungkin para ulama membahasnya dengan tidak terperinci dan terkesan terpotong-potong. Ini mungkin disebabkan bukan karena tidak pentingnya pembahasan ini, tapi mungkin karena para ulama salaf menganggap pembahasan tentang kaidah ini sudah tercakup dan dapat dipahami dalam pembahasan bab yang lain (Mutarodif) dengan berbagai permasalahannya, diantaranya lafal-lafal yang dianggap mutarodif tetapi ternyata mempunyai makna yang tidak sama, ataupun sebaliknya yaitu satu lafal yang mempunyai berbagai macam makna yang tergantung pada konteksnya.

Dua Kalimat ; Jika Berkumpul Berpisah, Tapi Jika Berpisah Berkumpul.

Sedangkan kaidah ini adalah kaidah yang membahas dua kalimat yang apabila bersama akan mempunyai makna berbeda tetapi mempunyai makna yang sama apabila disebutkan salah satunya ( كلمتان إذا اجتمعتا افترقتا وإذا افترقتا اجتمعتا ).

Dan untuk lebih jelasnya, kaidah ini dapat dipahami melalui media beberapa contoh yang kami dapatkan ;

1. الفقير والمسكين

Dua kalimat ini disebut dalam beberapa referensi sebagai dua kalimat yang apabila disebutkan bersama mempunyai makna yang berbeda tapi mempunyai makna sama apabila salah satunya disebutkan, dengan bahasa lain serupa tapi tidak sama.

Syaikh Dimyathi dalam menjelaskan kalimat Faqir atau Fuqoro’ adalah yang termasuk didalamnya adalah orang miskin atau Masakin, [2] sedangkan Imam al-Alusi menjelaskan dalam satu ayat yang terdapat kalimat Masakin, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Masakin adalah mencakup juga Faqir, karna dua kata itu jika berkumpul akan mempunyai makna yang berbeda, tetapi jika disebutkan salah satunya, maka akan mempunyai makna yang saling mencakup yang lainnya.[3]

Jika dibedakan, Syaikh Muhammad Nur Ali menjelaskan bahwa orang Faqir adalah orang yang tidak bisa memenuhi separo dari kebutuhannya, sedangkan orang Miskin adalah orang yang tidak mampu memenuhi keseluruhan kebutuhannya, tapi dia mampu memenuhinya separo atau lebih. Maka jika disebutkan secara bersamaan, maka itulah perbedaaannya, akan tetapi jika disebutkan salah satunya, maka maknanya adalah satu. Seperti ketika dikatakan, “bersedekahlah kamu pada orang Miskin!”, maka termasuk didalamnya adalah orang Faqir.[4]

2. الإسلام و الإيمان

Dua kalimat ini juga disebut termasuk kedalam bagian kalimat yang serupa tetapi tidak sama. Jika keduanya disebut secara bersamaan, maka akan terlihat bedanya yaitu Iman adalah sesuatu yang berkaitan dengan hati dan tidak terlihat, seperti rukun iman yang terkenal dalam hadisnya malaikat Jibril. sedangkan Islam adalah yang berkaitan dengan anggota tubuh ataupun fisik, Seperti solat, puasa, haji dan lainnya. Tapi jika disebutkan Islam secara umum, maka termasuk didalamnya adalah pekerjaan fisik (Islam) dan juga termasuk pekerjaan hati (Iman). Begitu juga dengan kata Mukmin dan Muslim, jika dikatakan ini orang Mu’min seperti dalam firman Allah [5]فتحرير رقبة مؤمنة maka termasuk didalamnya adalah Islam dan Iman.[6] Maka setiap orang beriman itu pasti Islam, tapi belum tentu orang Islam itu beriman.

3. الرب والإله

Dalam pembahasan Tauhid, disitu disebutkan ada pembahasan tentang Tauhid Rububiyah ( الرب ) dan ada juga Tauhid Uluhiyah ( الإله ). Tauhid Rububiyah adalah soseorang yang berikrar bahwa Allah adalah dzat yang mengatur dan menguasai segala sesuatu yang ada di dunia ini. Sedangkan Tauhid Uluhiyah adalah seorang berikrar dan mengakui bahwasanya tidak ada dzat yang haq untuk disembah selain Allah, dan bahwasanya segala sesuatu yang disembah selain Allah adalah Batal.

Maka barang siapa yang berikrar dengan Tauhid Rububiyah saja, berarti dia tidak meng-esakan Allah dan dia itu tidaklah dianggap Muslim yang haram darah dan hartanya sampai dia berikrar dengan Tauhid Uluhiyah dan bersaksi bahwa tiada tuhan yang patut disembah selain Allah yang Esa.

Tauhid Rububiyah dan Tauhid Uluhiyah itu saling Mutalazim ( berhubungan satu dengan yang lain ). Rububiyah dan Uluhiyah itu kadang disebutkan secara bersamaan, maka keduanya termasuk kalimat yang jika berkumpul berpisah, dan jika terpisah berkumpul.[7]

Sedangkan kalau menurut ikrar orang-orang Wahabi, bahwa dua kalimat الرب والإله digunakan salah satunya pada tempat yang lainnya. Adapun perbedaannya hanya terdapat pada asal katanya secara bahasa. Akan tetapi kata الرب والإله bukanlah dua kalimat yang satu maknanya seperti halnya dalam mutarodif tapi termasuk kalimat yang serupa tetapi tidak sama, yaitu kalimat yang bila disebut salah satunya maka yang lain ikut termasuk didalamnya.[8]

Ibnu Abdul Wahhab seorang ulama Wahabiyah berkata : ketahuilah bahwa Rububiyah dan Uluhiyah itu ketika disebutkan bersamaan akan mempunyai makna yang berbeda, sepeerti firman Allah [9]قل أعوذ برب الالناس * ملك الناس * إله الناس , dam juga seperti halnya dalam رب العالمين وإله المرسلين . akan tetapi jika disebutkan salah satunya, maka yang lainnya ikut termasuk didalamnya. Seperti ketika diucapkan, من ربك ؟ yang berarti maknanya juga من إلهك ؟ .[10]

4. المشيئة والإرادة

Singkat kata dan ringkas cerita, bahwa Masyi’ah dan Irodah adalah dua kalimat yang keduanya sudah jelas maknanya, yang tidak membutuhkan banyak ulasan dan juga tafsir yang bertele-tele. Kaduanya bermakna satu apabila yang disebutkan adalah salah satu dari keduanya. Dan jika keduanya disebutkan secara bersamaan, maka Masyi’ah itu menempati tempatnya Qosdu (kehendak), sedangkan Irodah itu kehendak yang sudah bersiap untuk melakukannya, فإذا اجتمعتا افترقتا فى المعنى وإذا افترقتا اجتمعتا فيه .[11]

5. النبي والرسول

Imam al-Alusi dalam tafsirnya ketika menjelaskan tentang penafsiran surat al-A’raf ayat 158 :

قل يا أيها الناس إني رسول الله إليكم جميعا الذي له ملك السماوات والأرض لا إله إلا هو يحيي ويميت فآمنوا بالله ورسوله النبي الأمي الذي يؤمن بالله وكلماته واتبعوه لعلكم تهتدون[12]

Beliau menyinggung tentang perbedaan dan juga persamaan tentang Nabi dan juga Rosul.

Dua kata ini juga jika perhatikan dengan seksama, termasuk dalam kaidah ini, yaitu jika keduanya disebutkan secara bersamaan, maka akan jelaslah bedanya bahwa Nabi adalah seorang yang mendapatkan wahyu dan mendapatkan pengetahuan tentang dzatiyah tuhannya dan juga sifat-sifatnya dan segala sesuatu yang akal tidak mungkin menjangkaunya kecuali dengan adanya media dari seseorang. Sedangkan Rosul adalah orang yang diperintahkan untuk menyampaikan berita kenabian tersebut. Dan setiap Rosul adalah Nabi, akan tetapi tidak setiap Nabi itu seorang Rosul.

Dan jika dua kata tersebut disebutkan secara terpisah, maka salah satunya akan mengandung pengertian yag lain. Seperti ketika kita mengatakan “Muhammad Rosul Allah” berarti bahwa Muhammad itu juga seorang Nabi Allah.[13]

6. الفصاحة والبلاغة

Antara dua lafal ini ada sisi khusus dan umumnya; maka setiap kalam (ucapan) yang fasih, belum tentu kalam itu Baligh. Karena terkadang kalam itu terlalu pendek dan juga tidak sesuai dengan waktu dan keadaan. Akan tetapi setiap kalam yang Baligh pasti Fasih.

Dan jika diucapkan “ini adalah kalam yang Fasih dan Baligh” maka berarti kalam itu Fasih dari sisi selamatnya lafal kalam itu dari hal-hal yang merusaknya, dan terpenuhinya sarat kefasihan lafal-lafalnya. Dan berarti kalam itu juga Baligh dari sisi jelasnya maksud yang disampaikan dan juga cocoknya kalam itu terhadap situasi dan juga kondisi yang ada.[14]

7. الغيرة والحب

Contoh ini bermula ketika ada seseorang yang bertanya tentang lafal الغيرة yang berarti cemburu, apakah itu bukti adanya الحب atau perasaan cinta? Dan jawabannya adalah benar, bahwa sesungguhnya perasaan cemburu menunjukkan adanya perasaan cinta. Karena seandainya tidak ada perasaan cinta, pastilah seseorang itu tidak akan punya rasa cemburu. Dan dua lafal ini termasuk lafal (yang kalau boleh kami istilahkan) adalah dua lafal yang benci tapi rindu. Maksudnya adalah benci jika bersama dan mempunyai makna yang beda, tapi rindu akan makna yang lainnya jika disebutkan sendirian.

Dan perbedaan yang paling signifikan dari keduanya adalah ; suatu perasaan cinta yang besar akan melahirkan rasa rindu yang dalam, akan tetapi suatu perasaan cemburu yang membabi-buta akan mematikan perasaan cinta itu sendiri.[15] Maka berhati-hatilah wahai kalian para pecinta, karena sesungguhnya cintamu dapat mencelakakan ataupun membunuhmu.

Refleksi dan Penutup

Demikianlah informasi yang kami dapatkan mengenai kaidah ini, dan yang dapat kami beberkan pada teman-teman semua. Semoga dapat menjadikan tambahan koleksi wawasan intelektual kita, sebagai pelengkap keilmuan kita dalam rangka menuju pada seorang Mufassir profesional.Amin.

Referensi :

Al-Qur’an al-Karim

Abu Bakar bin Sayyid Muhammad Syatho al-Dimyathi, I’anatu at-Tholibin, Daar el-Fikr

Da’awa al-Munawi’in

Manna’ al-Qotton Mabahis fi Ulumi al-Qur’an

Muhammad al-Alusi, Ruhul Ma’ani, Beirut; Daar Ihya al-Arabi

Tahdzibu al-Lughah

www.ibnothaimeen.com

www.islamacademy.net

www.manhag.net

www.naaar.com
-------------------------------------------------------------------------------------------------
[1] . Lihat Manna’ al-Qotton Mabahis fi Ulumi al-Qur’an, hal. 196

[2] . Abu Bakar bin Sayyid Muhammad Syatho al-Dimyathi, I’anatu at-Tholibin, Daar el-Fikr; Juz 2, Hal 207

[3]. Muhammad al-Alusi, Ruhul Ma’ani, Beirut; Daar Ihya al-Arabi, Jilid 15, Juz 28, hal 25.

[4] . www.ibnothaimeen.com/all/noor/article_2097.shtml - 10k - Cached - Similar pages

[5] . Qur’an Surat an-Nisa Ayat 92

[6] . Ibid.

[7] . www.manhag.net/mam/index.php?option=com_fireboard&Itemid=103&func=view&id=87&catid=7 - 40k - Cached - Similar pages

[8] . Lihat Tahdzibu al-Lughah, Juz 9, hal 102, dan juga Juz 10, hal 39

[9] . Qur’an Surat an-Nas, Ayat 1-3

[10] . Lihat Da’awa al-Munawi’in. hal 335

[11] . www.ibnothaimeen.com/all/books/article_17955.shtml - 844k - Cached - Similar pages

[12] . Qur’an Surat al-A’raf, Ayat 58

[13] . Lihat Ruhul al-Ma’ani, Juz 9, hal 79

[14] . www.islamacademy.net/index.aspx?function=Item&id=3332〈 - 110k - Cached - Similar pages

[15] . www.naaar.com/vb/archive/index.php/t-3500.html - 10k - Cached - Similar pages

Komentar

Postingan Populer