Tanggapan Sarjana Muslim Terhadap Orientalis


Oleh : Labib Syauqi & Muhib Rosyidi

A. Pendahuluan

Hal yang menjadi lumrah dalam kajian kaum muslim adalah al-Qur’an dan juga hadis yang tak lain merupakan sumber jalan atau hukum kehidupan bagi mereka. Sementara keterkaitan akan keduanya sangatlah erat, bisa dikatakan bahwa alquran lebih membutuhkan hadis sebagai penjelasnya dari pada kebutuhan hadis tentang alquran. Tentu hal ini bisa dilihat dari kuantitas pada alquran dan hadis itu sendiri. Demikian pula para ulama sepakat bahwa as-Sunnah memiliki tiga fungsi utama dalam rangka hubungannya dengan al-Qur’an, yakni kadangkala ia berfungsi sebagai bayan ta’qid terhdap ketentuan hukum yang ada dalam al-Qur’an, atau bayan tafsir terhadap keumuman al-Qur’an dan fungsi bayan tasyri’ terhadap segala sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam al-Qur’an.

Kajian ini ternyata tidak hanya menarik bagi kaum muslim saja, namun juga para orientalis yang memcoba membaca hadis secara berbeda dengan berusaha mencari metodologi lain dari para ulama. Selanjutnya yang manjadi perhatian awal adalah kajian orientalis pun menjadi dua bagian berbeda saling bertolak belakang, yakni terkait dengan pendekatan yang dilakukan. Sehingga yang muncul adalah pendekatan revisionis dan tradisionalis. Dimana yang pertama mengkaji sumber-sumber islam dengan metode kritik sumber (source-critical methods) serta menganggap sumber-sumber non-Arab dan bahan-bahan lain, seperti temuan-temuan arkeologi, epigrafi, dan numismatic yang secara umum tidak dikaji oleh yang kedua, dianggap sebagai bukti sejarah. Sedang yang kedua meneliti sumber-sumber islam dan mengujinya dengan cara-cara yang sesuai dengan berbagai asumsi dan tradisi kesarjanaan muslim. (Masrur Ali:31).

Yang kemudian menjadi paradigma awal adalah bahwa karya-karya aliran revisionis sering menawarkan hal-hal yang berbeda dan cenderung menolak asumsi metodologis yang dipakai oleh kaum tradisionalis. Sehingga kedua aliran ini dianggap tidak akan pernah ketemu karena aliran yang pertama menggolongkan yang kedua sebagai aliran yang melakukan studi agama dan literature, bukan sejarah. Hal ini tentu saja sulit diterima oleh aliran tradisionalis.

B. Tanggapan Sarjana Muslim

Tentunya jika keterbagian itu memunculkan tesis yang berbeda dimana disatu sisi dianggap sebagai yang sepakat dengan tesis para sarjana muslim, namun disatu sisi berseberangan dengannya. Maka tanggapan pun akan berbeda pula. Secara sederhana tentu yang dilakukan oleh para sarjana muslim adalah mencoba menjawab dengan ilmiah bagaimana pendapat para aliran revivalis tersebut dan cenderung menyetujui apa yang dilakukan oleh para tradisionalis.

Dalam kajian ini, studi hadis yang termasuk kedalam studi sejarah islam awal tentunya tidak perlu dikecualikan dari sudut yang lain. Diantara yang dianggap sebagi kaum rivivalis adalah Ignaz Goldziher, Joseph Schacht dan juga Jyuinboll. Sementara Fuat Sezgin, Nabia Abbot, H. Motzki dianggap sebagai kaum tradisionalis. Hal ini akan dicoba mencari bagaiman penyanggahan yang dilakukan oleh para sarjana muslim terhadap para orientalis ini. Sebagai contoh pada makalah ini adalah Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, juga Jyuinboll sebagai perwakilan dari kaum orientalis revivalis.

B.1. Tanggapan Untuk Ignaz Goldziher

Pendapat Goldziher bahwa hadis merupakan dokumen sejarah yang muncul pada masa-masa awal pertumbuhan islam disanggah oleh beberapa pakar hadis. Mereka itu di antaranya : Musthofa as Siba’iy (as Sunnah wa Makanatuha fi at Tasyri’il Islam) ‘Ajjaj al Khatib (as Sunnah Qabla Tadwin) dan M. Musthofa al Azami (Studies in Early Hadis Literature). Menurut ketiga ulama ini pendapat Goldziher lemah baik dari sisi metodologisnya maupun kebenaran materi sejarahnya. Karena ketidaktahuan mereka (kekurang percayaan) pada bukti-bukti sejarah. Orientalis lain seperti Nabia Abbot, justru mengajukan bukti-bukti yang cukup valid tentang keberadaan pencatan hadis pada awal-awal periode islam, dalam bukunya Studies in Arabic Literary Papyri: Qur’anic Commentary and Tradition (1957). Abbot menyimpulkan bahwa penulisan hadis bisa direkonstruksikan dalam 4 fase: pertama, masa Nabi hidup, kedua, masa wafat Nabi sampai masa Ummayah, ketiga, pada masa Ummayah dengan titik sentral bahasan pada peran ibn Syihab al Zuhri dan keempat adalah periode kodifikasi hadis kedalam buku-buku fiqh (Abbot, : 289) Sisi metodologi yang dikritik Azami adalah bahwa kesalahan orientalis yang tidak konsisten dalam mendiskusikakan perkembangan hadis Nabi yang berkaitan dengan hukum, sebab bukunya memfokuskan diri pada masalah hukum, mereka malah memasukkan hadis-hadis ritual. Sebagai contoh dari 47 hadis yang diklaimnya berasal dari Nabi sebagiannya tidak berasal dari Nabi, dan tidak juga berkaitan dengan hukum hanya seperempat yang relevan dengan topik yang didiskusikan.[1]

Berkenaan dengan pernyataan ibn Syihab az Zuhri , Azami menyatakan bahwa tidak ada bukti-bukti historis yang memperkuat teori Goldziher, bahkan justru sebaliknya. Ternyata Goldziher merubah teks yang seharusnya berbunyi al Ahadis, akan tetapi ditulis dengan lafaz hadis saja. Demikian juga ternyata tesis Goldziher bahwa al Zuhri dipaksa khalifah abdul malik bin marwan (yang bermusuhan dengan ibn Zubair) untuk membuat hadis, adalah palsu belaka. Hal ini mengingat al Zuhri semasa hidupnya tidak pernah bertemu dengan Abdul Malik, kecuali sesudah 7 tahun dari wafatnya ibn Zubair. Pada saat itu umur al Zuhri sekitar 10-18 tahun sehingga tidak rasional pemuda seperti itu memiliki reputasi dan otoritas yang kuat untuk mempengaruhi masyarakat di sekitarnya. Bahkan as-Sibai menantang abdul Qadir profesornya untuk membuktikan kebenaran teks al Zuhri. Pada akhirnya terbukti bahwa Abdul Qadir salah dan berpegang pada argumen-argumen yang tidak ilmiah (Jyunboll,1999:51).

Argumen lain yang juga dapat meruntuhkan teori Goldziher adalah teks hadis itu sendiri. Sebagaimana termaktub dalam kitab Shahih Bukhari, hadis tersebut tidak memberikan isyarat apapun yang bisa menunjukkan bahwa ibadah haji dapat dilakukan di al-Quds (Yurussalem) yang ada hanya isyarat pemberian keistimewaan kepada masjid al Aqsha, dan hal ini wajar mengingat masjid itu pernah dijadikan qiblat pertama bagi ummat islam. Sementara itu tawaran Goldziher agar hadis tidak semata-mata didekati lewat perspektif sanad akan tetapi juga lewat kritik matan, perlu dicermati. Sebenarnya semenjak awal para shahabat dan generasi sesudahnya sudah mempraktekkan metode kritik matan. Penjelasan argumentatif telah disajikan oleh Subkhi as Shalih bahwa ulama dalam mengkaji hadis juga bertumpu pada matan ( Shalih, 1988:284-287).

Hanya saja secara teori memang kurang mendapat porsi publikasi yang berimbang dibanding kritik sanad. Bahkan ternyata tawaran metodologis Goldziher itu dalam praktiknya justru mengundang kelemahan, karena alat analisa yang digunakan adalah bukku-buku sejarah (sirah Nabi) atau kitab-kitab maghazi dan kitab-kitab fiqh yang tidak terjaga ketelitian periwayatan sanadnya (Ismail, 1995:76-82)

Muhammad ‘Ajjad al-Khatib menunjukan beberapa faktor yang menjamin kemurnian hadis. Pertama, adanya ikatan emosional umat Islam untuk berpegang teguh kepada segala sesuatu yang datang dari Nabi. Kedua, adanya tradisi hafalan dalam proses transmisi hadis. Ketiga, sikap kehati-hatian para muhaddis dari masuknya hadis palsu, ditunjang sikap selektifitas para muhaddis dalam tradisi periwayatan. Keempat, terdapatnya beberapa manuskrip yang berisi tentang hadis-hadis. Kelima, adanya majlis-majlis ulama dalam tradisi transformasi hadis. Keenam, adanya ekspedisi ke berbagai wilayah untuk menyebarkan hadis. Dan ketujuh, sikap komitmen para muhaddis dalam meriwayatkan hadis dengan didukung keimanan dan jiwa religiusitas yang tinggi.[2]

Begitu juga Jhon L. Esposito menguatkan bahwa meskipun hadis pada mulanya disampaikan secara lisan, namun ada sebagian perawi yang mulai menuliskannya. Selanjutnya penghimpunan hadis bertujuan agar tidak merusak teks yang telah diterimanya dari para ahli yang telah diakui periwayatanya, dan penghimpunan ini mencerminkan kata-kata aslinya. Bahasanya langsung, dialogis, aktif repetitif, dan memakai ungkapan yang tegas. Literatur hadis merupakan contoh prosa terbaik dari prosa Arab di masa awal Islam.[3] Sebab itulah, maka pelarangan penulisan hadis sebagaimana yang dipaparkan oleh Ignaz Goldziher di atas bukanlah karena mengadopsi aturan-aturan agama-agama terdahulu. Argumen ini sangatlah tidak representatif. Pelarangan penulisan di sini karena adanya kekhawatiran apabila hadis bercampur dengan al-Qur’an, sebab berdasarkan historisitasnya, biasanya jika para sahabat mendengar ta’wil ayat lalu mereka menuliskannya ke dalam sahifah yang sama dengan al-Qur’an. Ignaz menjadikan hadis Abu Sa’id al-Khudri sebagai dasar pijakan pelarangan penulisan hadis dan hadis Abu Hurairah sebagai dasar pijakan pembolehan penulisan hadis. Namun sayangnya, Goldziher menyikapi kedua hadis ini sebagai sesuatu yang kenyataannya saling bertentangan. Padahal menurut ilmu hadis, kedua hadis di atas dapat dikompromikan, yaitu dengan menggabungkan atau mentarjih keduanya, sebagaimana metode yang telah diterapkan oleh Yusuf Qardhawi[4] dan Muhammad ‘Ajjad al-Khatib ataupun ulama-alama lain yang intens dalam ilmu hadis. Berangkat dari riwayat yang kontradiktif tersebut, maka Muhammad ‘Ajjad al-Khatib[5] menawarkan solusinya dengan metode sebagai berikut: 1. Bahwasannya hadis yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri adalah tergolong hadis yang mauquf, sehingga tidak dapat dijadikan hujjah. 2. Dengan metode al-jam’u wa al-taufiq, larangan penulisan hadis berlaku khusus, yaitu apabila hadis ditulis dalam sahifah yang sama, sehingga ditakutkan akan terjadi iltibas (bercampurnya al-Qur’an dan al-hadis). Jadi, jika dilihat dari mafhum mukhalafah-nya, apabila ilat tersebut tidak ada, maka larangan tersebut tidak berlaku lagi. 3. Larangan penulisan hadis ini berlaku bagi para penghafal (huffadz) hadis yang sudah diketahui kuwalitas hafalannya, sehingga ditakutkan mereka akan tergantung pada teks-teks tertulis. Sebaliknya, penulisan hadis ini tetap berlaku bagi para sahabat yang tidak mampu menghafal dengan baik, seperti kasusnya Abu Syah. 4. Larangan penulisan hadis ini bersifat umum, akan tetapi ada kekhususan bagi mereka yang mahir dengan tradisi membaca dan menulis, sehingga tidak ada kesalahan dalam menulis, seperti kasusnya Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash. Jadi, penulisan hadis itu sebenarnya sudah ada sejak abad 1 H dan bahkan tidak ada perselisihan (kontradiksi) sampai akhir abad itu.

B.2. Tanggapan Untuk Joseph Schahcht

Berikutnya adalah tanggapan terhadap kritik Joseph Schahcht sebagaimana yang dia gagas dalam teori Projecting Back-nya. Menurut Azami kekeliruan Schacht adalah bahwa dia keliru ketika menjadikan kitab-kitab sirah Nabi dan kitab-kitab fiqh sebagai dasar postulat /asumsi penyusunan teorinya itu. Kitab Muwattha’ Imam Malik dan al Syaibaniy serta risalahnya Imam as Syafi’i tidak bisa dijadiakan sebagai alat analisis eksistensi atau embrio kelahiran hadis Nabi. Sebab kitab-kitab tersebut memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Oleh karena itu untuk meneliti hadis Nabi sebaiknya menggunakan dan berpedoman pada kitab-kitab hadis.

Azami dalam rangka meruntuhkan teorinya Schacht telah melakukan penelitian terhadap beberapa naskah hadis –dengan sanad abu hurairah, abu shalih, suhail…dst- yang ternyata dari hasil kajiannya sangat mustahil hadis bisa dipalsukan begitu saja[6].

Sementara teori Argumenta e Silentio[7]-nya schacht dikritk oleh Ja’far Ishaq Anshari dalam buku beliau : The Authenticity of Tradition, A Critique of Joseph Schacht‘s Argument e Silention, begitu pula Azami dalam sanggahannya terhadap The Origins of Muhammadan Jurisprudence karya Schacht, Keduanya berkesimpulan bahwa Schacht melakukan kontradiksi dalam berargumen, sebab dalam bukunya schacht mengecualikan teorinya itu terhadap referensi yang berasal dari 2 generasi di belakang syafi’i (Schacht, :57) , kenyataannya schacht justru menggunakan muwatha’nya Imam Malik dan Syaibaniy sebagai data-datanya- yang itu adalah referensi yang valid menurutnya. Muwatha’ adalah suatu karya yang justru oleh Ignaz Goldziher sendiri dikritik sebagai bukan kitab hadis dengan alasan (1) belum mencakup seluruh hadis yang ada (2) lebih menekankan pada aspek hukum , kurang fokus pada penyelidikan penghimpunann hadis (3) campuran qaul Nabi, Shahabat dan tabi’in (Ismai’,1995:115).

Selain itu, temuan Anshari justru membuktikan kebalikan dari teori Argumenta e Silentio. Setelah melakukan verifikasi berdasarkan empat koleksi hadis : al-Muwatha’ karya Imam Malik dan asy-Syaibani dan al-Atsar karya abu Yusuf dan asy-Syatibi, ia menemukan bahwa ternyata ada sejumlah hadis dalam koleksi-koleksi awal yang tidak ditemukan dalam koleksi-koleksi hadis belakangan. Misalnya, sejumlah hadis yang terdapat dalam al-Muwatha’ karya Imam Malik tidak ada dalam asy-Syaibani, meskipun al-Muwatha’ karya asy-Syaibani adalah koleksi yang lebih muda. Demikian juga sejumlah hadis yang terdapat di al-Atsar Abu Yusuf tidak dijumpai dalam al-Atsar asy-Syaibani, walaupun al-Atsar asy-Syaibani ini lebih muda daripada al-Atsar Abu Yusuf.

Temuan Anshari berdasarkan empat koleksi hadis ini paling tidak mampu mengoreksi asumsi dasar teori Argumenta e Silentio. Hal ini juga menyadarkan para pengkaji hadis untuk mempertimbangkan adanya faktor-faktor lain, selain faktor ketiadaan, yang menyebabkan mengapa seorang ahli hukum merasa cukup untuk menghimpun doktrin fiqih tertentu tanpa mencantumkan hadis-hadis yang mendukungnya. Karena tujuan para ahli hukum yang utama bukanlah untuk menghimpun hadis, melainkan untuk menghimpun berbagai doktrin aliran fiqih yang sudah disepakati dan diterima secara umum serta diikuti oleh para pendahulu mereka. Oleh karena itu, sering kali penyebutan sebuah hadis utuk mendukung berbagai doktrin fiqih dipandang tidak begitu penting. Akibatnya, merka tidak selalu menyebutkan hadis-hadis yang relevan dengan doktrin-doktrin hukum yang dihimpun meskipun dalam faktanya hadis-hadis tersebut ada.[8]

Di samping itu Azami membuktikan bahwa tidak adanya sebuah hadis pada masa kemudian, padahal pada masa-masa awal hadis itu dicatat oleh perawi, disebabkan pengarangnya menghapus/menasakh hadis tersebut, sehingga ia tidak menulisnya dalam karya-karya terbaru. Ketidakkonsistenan Schacht terbukti ketika dia mengkritik hadis-hadis hukum adalah palsu, ternyata ia mendasarkan teorinya itu pada hadis-hadis ritual (ibadah) yang jika diteliti lebih dalam lagi ternyata tidak bersambung ke Nabi.

Kemudian untuk membantah teori yang dikemukakan oleh para orientalis yang lain, khususnya Schacht, yang meneliti dari aspek sejarah, maka M.M. Azami membantah teori Schacht ini juga melalui penelitian sejarah, khususnya sejarah Hadis. Azami melakukan penelitian khusus tentang Hadis-Hadis Nabi yang terdapat dalam naskah-naskah klasik. Di antaranya adalah naskah milik Suhail bin Abi Shaleh (w.138 H). Abu Shaleh (ayah Suhail) adalah murid Abu Hurairah shahabat Nabi saw. Naskah suhail ini berisi 49 Hadis. Sementara Azami meneliti perawi Hadis itu sampai kepada generasi Suhail, yaitu jenjang ketiga (al-thabaqah altsalitsah). Termasuk jumlah dan domisili mereka. Azami membuktikan bahwa pada jenjang ketiga, jumlah perawi berkisar 20 sampai 30 orang, sementara domisili mereka terpencar-pencar dan berjauhan, antara India sampai Maroko, antara Turki sampai Yaman. Sementara teks hadis yang mereka riwayatkan redaksinya sama.[9]

Azami berkesimpulan bahwa mustahil menurut ukuran situasi dan kondisi pada saat itu mereka pernah berkumpul untuk membuat Hadis palsu sehingga redaksinya sama. Dan sangat mustahil pula bila mereka masing-masing membuat Hadis, kemudian oleh generasi berikutnya diketahui bahwa redaksi hadis yang mereka buat itu sama. Kesimpulan Azami ini bertolak belakang dengan kesimpulan Schacht, baik tentang rekontruksi terbentuknya sanad hadis, maupun bunyi teks (matan) Hadis tersebut.

Sebagai contoh, Azami mengemukakan Hadis yang artinya di mana Nabi saw. bersabda : “ Apabila salah seorang di antara kamu bangun dari tidurnya, maka hendaknya ia mencuci tangannya, karena ia tidak tahu semalam tangannya berada di mana “. Hadis ini dalam naskah Suhail bin Abi Shaleh berada pada urutan nomor 7, dan pada jenjang pertama (generasi shahabat) diriwayatkan oleh lima orang, yaitu Abu Hurairah, Ibn Umar, Jabir, Aisyah, dan Ali bin Abi Thalib.

Abu Hurairah sendiri kemudian meriwayatkan Hadis tersebut kepada 13 orang tabi’in (generasi kedua). 13 orang tabi’in ini kemudian menyebar ke berbagai penjuru negeri Islam. 8 orang tetap tinggal di Madinah, seorang tinggal di Kufah, 2 orang tinggal di Basharah, seorang tinggal di Yaman, dan seorang lagi tinggal di Syam.

Tiga belas Tabi’in ini kemudian meriwayatkan lagi kepada generasi berikutnya (generasi ketiga = Tabi’ Tabi’in), dan jumlah mereka menjadi = tidak kurang dari 16 orang. Mereka tinggal di Madinah (6 orang), Bashrah (4 orang), Kufah (2 orang), Makkah (1 orang), Yaman (1 orang), Khurasan (1 orang), dan Himsh-Syam (11 orang).[10] Maka mustahil 15 orang yang domisilinya terpencar-pencar di tujuh kota yang berjauhan itu pernah berkumpul pada satu saat untuk bersama-sama membuat Hadis palsu yang redaksinya sama, atau mustahil pula, bila mereka secara sendiri-sendiri di kediamannya masing-masing membuat Hadis, dan kemudian diketahui bahwa bahwa redaksi Hadis tersebut secara kebetulan sama. 16 orang rawi di atas adalah hanya dari jalur Abu Hurairah. Apabila jumlah rawi itu ditambah dengan rawi-rawi dari empat jalur lainnya, yaitu Ibn Umar, Jubir, Aisyah, dan Ali, maka jumlah perawi itu akan menjadi lebih banyak.[11]

Dengan demikian apa yang dikembangkan oleh Schacht dengan teorinya Projecting Back, yang mengemukakan bahwa sanad Hadis itu baru terbentuk belakangan dan merupakan pelegitimasian pendapat para qadhi dalam menetapkan suatu hukum, adalah masih dipertanyakan keabsahannya, hal ini dibantah oleh Azami dengan penelitiannya bahwa sanad Hadis itu memang muttashil sampai kepada rasulullah Saw. melalui jalur-jalur yang telah disebutkan di atas. Dan membuktikan juga bahwa Hadis-hadis yang berkembang sekarang bukanlah buatan para generasi terdahulu, tetapi merupakan perbuatan atau ucapan yang datang dari Rasul Saw. sebagai seorang Nabi dan panutan umat Islam.

B.3. Tanggapan Untuk Juynboll

Tokoh ketiga yang tak luput dari perbincangan para sarjana muslim adalah Jyuinboll dengan teori common link-nya. Diantara yang menanggapinya adalah Azami, baginya teori common link bukanlah hanya patut dipertanyakan namun ia pula meragukan validitas teori tersebut. Azami cenderung manyimpulkan bahwa metode common link dan semua metode yangdihasilkannya tidak relevan.

Bagi Azami, teori common link banyak yang perlu dipertanyakan. Sebagai contoh misalnya, jika memang ditemukan seorang periwayat seperti az-Zuhri, yang menjadi periwayat satu-satunya yang meriwayatkan hadis pada muridnya, tetapi telah diakui ke-tsiqah-an dirinya oleh para kritikus hadis maka tidak ada alasan untuk menuduhnya sebagai seorang yang memalsukan hadis. Para ahli hadis sendiri telah menyadari adanya periwayatan hadis secara infirad (menyendiri) dan implikasinya. Akan tetapi, itu semua bergantung pada kualitas para periwayat hadis pada isnad-nya.

Pada tempat lain, Azami menunjukkan bahwa jika seseorang tidak melihat secara keseluruhan jalur isnad maka ia akan salah dalam mengidentifikasi seorang periwayat sebagai common link. Hal ini tentunya agar penemuan akan sanad hadis itu tidak parsial. Sebab, bisa jadi yang dianggap oleh peneliti hadis sebagai common link sebenarnya hanya seeming atau artificial common link. Ini disebabkan karena jalur yang dihimpun hanya sebagian saja sehingga tidak bisa menggambarkan jalur isnad secara lebih akurat.[12]

C. Penutup

Bagaimanapun kritik hadis merupaka usaha yang sebenarnya lebih dulu dilakukan oleh kaum muslim sendiri. Tradisi lisan atau verbal dalam transmisi hadis tidak menafikan adanya tradisi tulis-menulis. Adanya fenomena pemalsuan hadis adalah akibat adanya intervensi pendapat-pendapat pribadi dan adanya kasus iltibas. Namun dari fenomena tersebut, melahirkan tradisi kritik hadis untuk mengecek validitas hadis. Di samping itu, dengan adanya formalisasi penulisan hadis pada abad ke-2 H, telah mengubah orientasi pemeliharaan hadis. Dan tradisi penulisan menghadirkan beberapa karya monumental yang memuat kumpulan hadis sebagai upaya selektif dari masing-masing tokoh yang telah menulisnya.

Dalam perkembangnya kritik inipun menjadi bahan yang menarik bagi orang non islam yang disebut sebagai The Outsiders maupun Orientalis. Kajian mereka ini tidaklah harus ditanggapi dengan emosi yang menghilangkan nilai ilmiah bagi sebuah penelitian. Bahkan secara eksplisit karena merekalah saat ini umat muslim mencoba bangkit dan berani mengkoreksi nash-nash yang telah dianggap sakral dan tidak bisa tersentuh dari kritik. Pengkoreksian ini bukanlah berarti menggap bahwa tesis yang dihasilkan para orientalis ini merupakan sebuah hasil yang harus diterima secara mentah-mentah, namun harus juga ditanggapi denga objektif, data yang valid serta metodologi yang juga bisa diterima oleh kalangan akademis.

Hal ini bukan hanya ditujukan pada kalangan orientalis revivalis, namun juga pada tradisionalis yang juga sebenarnya –menurut Hamid Zarkasi- masih memiliki beberapa ke-ambigu-an misalnya dapat ditemukan dalam metodologi Harald Motzki dalam mengkaji hadis Sahifah Hammam Ibn Munabbih. Motzki yang dianggap obyektif itu ternyata juga ambigu. Ia seakan-akan mengkritik metode kajian Joseph Schacht, namun sejatinya tidak beda dan tetap mempertahankan sikap orientalismenya.[13]

Sehingga sebenarnya para sarjana muslim sendiri bersikap berbeda dalam memandang kegiatan para orientalis. Diantaranya ada yang memandang sebagai murni kajian keilmuan namun disisi lain lebih banyak yang menganggap sebagai sebuah propaganda melawan islam. Dari keseluruhan gerakan orientalisme tersebut dalam berbagai bentuknya dari awal hingga akhir ini, Edward Said menyimpulkan dalam 3 poin yaitu: 1) Bahwa orientalisme itu lebih merupakan gambaran tentang pengalaman manusia Barat ketimbang tentang manusia Timur (orient). 2) Bahwa Orientalisme itu telah menghasilkan gambaran yang salah tentang kebudayaan Arab dan Islam. 3) Bahwa meskipun kajian orientalis nampak obyektif dan tanpa interes (kepentingan), namun ia berfungsi untuk tujuan politik.[14]

Namun harus diakui bahwa selain dari bidang-bidang pemahaman dan penafsiran Islam, para oritentalis banyak yang berjasa dalam kerja-kerja ilmiah lainnya dan cukup dirasakan manfaatnya, seperti misalnya dalam penyusunan lexicon, kamus-kamus, encyclopedia, kompilasi hadis dan sebagainya. Oleh karena itu umat Islam perlu bersikap bijaksana, tidak melulu apresiatif yang berlebihan dan tidak pula bersikap apriori secara membabi buta. Umat Islam perlu bersikap kritis dan profesional dalam mengkaji dan menanggapi karya-karya orientalis itu.

D. Daftar Pustaka

Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjad. Al-Sunnah Qabla al-Tadwin, Beirut: Dar al-Fikr, 1989.

________________________. Ushul al-Hadits ‘Ulumuhu wa Mushthalahhuh, Beirut: Dar al-Fikr, 1989.

Azami, M.M. Studies in Early Hadits Literature, Indianapolis-Indiana, American Trust Publication, 1978.

Esposito, John L., Ensiklopedi Oxford dalam Islam Modern, terj. Eva Y.N. Dkk, jil. II Bandung: Mizan. 2001.

Masrur, Ali. Teori Common Link G.H.A. Juynboll: Melacak Akar Kesejarahan Hadis Nabi, Yogyakarta: LKiS, 2007.

Qardhawi, Yusuf. Bagaimana Memahami Hadits Nabi, terj. Muhammad al-Baqir, Cet. IV, Bandung: Kharisma, 1999.

Windschuttle, Keith. “Edward Said’s Orientalism revisited” The New Criterion Vol. 17, No. 5, January 1999.

Zarkasi, Hamid Fahmi. Liberalisasi Pemikiran Islam; Gerakan Bersama Misionaris, Orientalis dan Kolonialis, 02 juli 2008.

[1] M. M. Azami, Studies in Early Hadits Literature, Indianapolis-Indiana, American Trust Publication, 1978, hlm 188

[2] Muhammad ‘Ajjad al-Khatib, al-Sunnah Qabla al-Tadwin (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h. 122

[3] John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford dalam Islam Modern, terj. Eva Y.N. Dkk, jil. II (Bandung: Mizan. 2001), h. 127.

[4] Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadits Nabi, terj. Muhammad al-Baqir, Cet. IV, (Bandung: Kharisma, 1999), h. 117.

[5] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits ‘Ulumuhu wa Mushthalahhuh (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h. 150-152.

[6] M. M. Azami, Studies in Early Hadits Literature, Indianapolis-Indiana, American Trust Publication, 1978, hlm 199.

[7] Teori ini berangkat dari asumsi bahwa “cara terbaik untuk membuktikan bahwa sebuah hadis tidak ada pada masa tertentu adalah dengan cara menunjukkan bahwa hadis itu tidak dipergunakan sebagai argumen hukum dalam diskusi yang mengharuskan untuk merujuk kepadanya, jika hadis itu memang ada. Artinya sebuah hadis dinyatakan tidak ada pada saat tertentu jika ia tidak dipakai sebagai argumen hukum dalam kitab-kitab fiqih awal yang ditulis oleh Imam Malik, asy-Syafi’I, dan Abu-Yusuf.

Oleh karena itu, “ketiadaan hadis” tertentu dalam koleksi hadis dapat dijadikan sebagai bukti yang relevan untuk menelusuri kronologi dan sumber hadis. Terlebih lagi jika hadis tersebut termasuk kategori hadis terkenal, maka ketiadaannya dalam koleksi hadis belakangan menjadi bukti signifikan untuk mendukung validitas argumenta e silentio.

[8] Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A. Juynboll: Melacak Akar Kesejarahan Hadis Nabi, (Yogyakarta: LKiS, 2007), h. 97-102

[9] M. M. Azania, Studies in Early Hadits Literature, Indianapolis-Indiana, American Trust Publication, 1978, hlm. 222-223

[10] M. M. Azami, Studies in Early Hadits Literature, Indianapolis-Indiana, American Trust Publication, 1978, hlm. 225-226

[11] M. M. Azami, Studies in Early Hadits Literature, Indianapolis-Indiana, American Trust Publication, 1978, hlm 227.

[12] Masrur, Ali, Teori Common Link Jyuinboll; Melacak Kesejarahan Hadis Nabi, Yogyakarta; LKiS, 2007, h. 175

[13] Hamid Fahmi Zarkasi, Liberalisasi Pemikiran Islam; Gerakan Bersama Misionaris, Orientalis dan Kolonialis, 02 juli 2008

[14] Keith Windschuttle “Edward Said’s Orientalism revisited” The New Criterion Vol. 17, No. 5, January 1999, hal. 5

Komentar

Postingan Populer