KESETARAAN GENDER DAN GERAKAN FEMINISME



  1. Prolog
Pembahasan kesetaraan gender dan gerakan feminisme merupakan pembahasan menarik yang selalu hangat untuk diperbincangkan. Namun bukan berarti pembahasan ini merupakan pembahasan baru yang belum pernah dibahas oleh orang-orang sebelumnya, akan tetapi pembahasan kita kali ini yaitu pembahasan mengenai penafsiran teks yang berperspektif gender, agaknya merupakan topik yang anti klimaks dan akan selalu menarik untuk dibahas.
Perbincangan mengenai kesetaraan Gender dan berbagai hal yang terkait, merupakan suatu proses yang tidak bisa lepas dari faktor historis dan akar geneologis yang membidani lahirnya gerakan yang menyuarakan kesetaraan Gender yang selanjutnya akan kita kenal dengan Gerakan Feminisme.
Maka dari itu, akan kami coba untuk memberikan sedikit rangsangan pembuka untuk bisa kita jadikan sebagai motor penggerak bagi kita untuk memahaminya lebih lanjut.

  1. Identifikasi Sex dan Gender
Sebelum jauh kita membahas tentang kesetaraan Gender, tuntutan yang mereka suarakan, corak pergerakan, latar belakang pemicu timbulnya gerakan, sejarah lahir dan berkembangnya, hingga berbagai jenis gerakan ini, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu mengenai apakah yang dikehendaki dengan Gender? Kemudian apa perbedaannya dengan Sex?
Kata Sex berasal dari bahasa Inggris sex, berarti jenis kelamin (Jhon M. Echols dan Hasan Shadily, 1983). Pemahaman ini diperjelas dalam kamus lainnya bahwa “ sex is the characteristics which ditinguish the male from female”, yakni ciri-ciri yang membedakan antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang bersifat biologis. Sedangkan kata Gender menurut bahasa diartikan sebagai “ the grouping of words into masculine, feminine and neuter, according as they are regarded as male, female aor withaut sex ”, yakni gender adalah kelompok kata yang mempunyai sifat maskulin, feminin, atau tanpa keduanya, netral (Hornby, 1965).
Dalam Encyclopedia of Feminism diperjelas bahwa gender adalah sebuah istilah yang menunjukkan pembagian peran sosial antara laki-laki dan perempuan dan ini mengacu kepada pemberian ciri emosional dan psikologis yang diharapkan oleh budaya tertentu yang disesuaikan dengan fisik laki-laki dan perempuan. Adapun istilah seks mengacu pada perbedaan secara biologis dan anatomis antara laki-laki dan perempuan (Tuttle, 1987). Dalam Women’s Studies Encyclopedia diperjelas lagi, bahwa yang dimaksud gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan (distinctions) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang di masyarakat. (Asriati Jamil dan Amany Lubis, Pengantar Kajian Gender, PSW UIN Jakarta 2003, h. 54).
Jadi sex merupakan perbedaan antara laki-laki dan perempuan dari sisi biologis yang tidak dapat diubah dan tidak ada intervensi lain kecuali dari pemberian Tuhan. Seperti misalnya bahwa, laki-laki merupakan sesosok manusia yang mempunyai penis, testis dan sperma. Sedangkan perempuan merupakan sesosok manusia yang mempunyai vagina, sel telur, haid, hamil, melahirkan, menyusui.
Sedangkan Gender merupakan pembedaan antara laki-laki dan perempuan yang diberikan oleh kultur dan budaya yang sifatnya bisa diubah. Seperti misalnya laki-laki merupakan sesosok manusia yang tampan, gagah, kuat, pemberani, pemimpin, tidak cengeng, mengedepankan akal dan sebagainya. Sedangkan perempuan diidentifikasi dengan seorang manusia yang cantik, lemah, lembut, penakut, dipimpin, cengeng, mengedepankan perasaannya dan sebagainya.
Jadi keduanya, yakni Sex dan Gender mempunyai perbedaan yang cukup signifikan. Jika Sex memang tidak bisa dirubah dan pemberian Tuhan, akan tetapi Gender merupakan konstruksi dan image yang diberikan oleh orang lain dan masyarakat, yang bisa dirubah.
Konstruksi-konstruksi dan image yang diberikan masyarakat yang membedakan keduanya, yang banyak berimplikasi pada kebijakan yang merugikan mereka inilah yang kemudian akan diperjuangkan oleh mereka untuk disetarakan dengan kaum laki-laki.
Menyadari pentingnya relasi gender dalam upaya meningkatkan persamaan hak, kewajiban, kedudukan, peranan dan kesempatan yang setara, maka dewasa ini fokus penanganan bagi kemajuan, pemberdayaan perempuan ditujukan pada pengarusutamaan gender (gender mainstreaming). Hal ini berarti bahwa perlu adanya upaya bersama dalam memposisikan perempuan pada taraf pengambil keputusan dan hadir secara kuantitatif mewakili kepentingan perempuan di lembaga-lembaga pemerintahan ataupun organisasi non pemerintah. Upaya pemberdayaan perempuan akan sangat terbatas hasilnya apabila perhatian hanya ditujukan kepada perempuan dan tidak memperhatikan relasi gender yang berkeadilan.

  1. Akar Historis Gerakan Feminis
Feminisme sebagai gerakan dapat dilacak dalam sejarah kelahirannya dengan kelahiran era Pencerahan (enlightment) di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda pada tahun 1785. Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai universal sisterhood.
Kata feminisme dikreasikan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837. Pergerakan center Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill, the Subjection of Women (1869). Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme Gelombang Pertama.
Sejarah Gerakan Feminisme ini setidaknya dapat dibagi menjadi dua gelombang, gelombang pertama ditandai dengan adanya masa pencerahan di Eropa. Faktor yang mendorong timbulnya gerakan Feminisme gelombang pertama adalah, dimana mereka merasa ada pemasungan hak-hak mereka baik dalam bidang pekerjaan, sosial, politik, pendidikan, maupun ekonomi dan mempertanyakan kebebasan hak laki-laki yang cenderung menindas. Disamping itu juga adanya fundamnetalisme dalam beragama yang lagi-lagi merugikan perempuan.
Secara umum pada gelombang pertama yang menjadi momentum perjuangannya adalah: gender inequality, hak-hak perempuan, hak reproduksi, hak berpolitik, peran gender, identitas gender dan seksualitas. Gerakan feminisme adalah gerakan pembebasan perempuan dari: rasisme, stereotyping, seksisme, penindasan perempuan, dan phalogosentrisme.
Setelah berakhirnya perang dunia kedua, ditandai dengan lahirnya negara-negara baru yang terbebas dari penjajah Eropa, lahirlah Feminisme Gelombang Kedua pada tahun 1960. Dengan puncak diikutsertakannya perempuan dalam hak suara parlemen. Pada tahun ini merupakan awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut mendiami ranah politik kenegaraan.
Dalam gelombang kedua ini dipelopori oleh para feminis Perancis seperti Helene Cixous (seorang Yahudi kelahiran Algeria yang kemudian menetap di Perancis) dan Julia Kristeva (seorang Bulgaria yang kemudian menetap di Perancis) bersamaan dengan kelahiran dekonstruksionis, Derrida.
Selama sebelum PD II, banyak pejuang tanah terjajah Eropa yang lebih mementingkan kemerdekaan bagi laki-laki saja. Terbukti kebangkitan semua Negara-negara terjajah dipimpin oleh elit nasionalis dari kalangan pendidikan, politik dan militer yang kesemuanya adalah laki-laki. Pada era itu kelahiran feminisme gelombang kedua mengalami puncaknya.
Gelombang feminisme di Amerika Serikat mulai berkembang pesat pada era perubahan dengan terbitnya buku The Feminine Mystique yang ditulis oleh Betty Friedan di tahun 1963. dan dia juga mendirikan National Organization for Woman (NOW) di tahun 1966 gemanya kemudian merambat ke segala bidang kehidupan. Dalam bidang perundangan, tulisan Betty Friedan berhasil mendorong dikeluarkannya Equal Pay Right (1963) sehingga kaum perempuan bisa menikmati kondisi kerja yang lebih baik dan memperoleh gaji sama dengan laki-laki untuk pekerjaan yang sama, dan Equal Right Act (1964) dimana kaum perempuan mempunyai hak pilih secara penuh dalam segala bidang.
Gerakan feminisme yang mendapatkan momentum sejarah pada 1960-an menunjukan bahwa sistem sosial masyarakat modern dimana memiliki struktur yang pincang akibat budaya patriarkal yang sangat kental. Marginalisasi peran perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya ekonomi dan politik, merupakan bukti konkret yang diberikan kaum feminis.
Gerakan perempuan atau feminisme berjalan terus, sekalipun sudah ada perbaikan-perbaikan, kemajuan yang dicapai gerakan ini terlihat banyak mengalami halangan. Di tahun 1967 dibentuklah Student for a Democratic Society (SDS) yang mengadakan konvensi nasional di Ann Arbor kemudian dilanjutkan di Chicago pada tahun yang sama, dari sinilah mulai muncul kelompok "feminisme radikal" dengan membentuk Women´s Liberation Workshop yang lebih dikenal dengan singkatan "Women´s Lib". Women´s Lib mengamati bahwa peran kaum perempuan dalam hubungannya dengan kaum laki-laki dalam masyarakat kapitalis terutama Amerika Serikat tidak lebih seperti hubungan yang dijajah dan penjajah. Di tahun 1968 kelompok ini secara terbuka memprotes diadakannya "Miss America Pegeant" di Atlantic City yang mereka anggap sebagai "pelecehan terhadap kaum wanita dan komersialisasi tubuh perempuan". Gema ´pembebasan kaum perempuan´ ini kemudian mendapat sambutan di mana-mana di seluruh dunia.
Pada 1975, "Gender, development, dan equality" sudah dicanangkan sejak Konferensi Perempuan Sedunia Pertama di Mexico City tahun 1975. Hasil penelitian kaum feminis sosialis telah membuka wawasan jender untuk dipertimbangkan dalam pembangunan bangsa. Sejak itu, arus pengutamaan jender atau gender mainstreaming melanda dunia.
Memasuki era 1990-an, kritik feminisme masuk dalam institusi sains yang merupakan salah satu struktur penting dalam masyarakat modern. Termarginalisasinya peran perempuan dalam institusi sains dianggap sebagai dampak dari karakteristik patriarkal yang menempel erat dalam institusi sains. Tetapi, kritik kaum feminis terhadap institusi sains tidak berhenti pada masalah termarginalisasinya peran perempuan. Kaum feminis telah berani masuk dalam wilayah epistemologi sains untuk membongkar ideologi sains yang sangat patriarkal. Dalam kacamata eko-feminisme, sains modern merupakan representasi kaum laki-laki yang dipenuhi nafsu eksploitasi terhadap alam. Alam merupakan representasi dari kaum perempuan yang lemah, pasif, dan tak berdaya. Dengan relasi patriarkal demikian, sains modern merupakan refleksi dari sifat maskulinitas dalam memproduksi pengetahuan yang cenderung eksploitatif dan destruktif.
Berangkat dari kritik tersebut, tokoh feminis seperti Hilary Rose, Evelyn Fox Keller, Sandra Harding, dan Donna Haraway menawarkan suatu kemungkinan terbentuknya genre sains yang berlandas pada nilai-nilai perempuan yang antieksploitasi dan bersifat egaliter. Gagasan itu mereka sebut sebagai sains feminis (feminist science).

  1. Aliran-Aliran dalam feminisme
Feminisme liberal
Apa yang disebut sebagai Feminisme Liberal ialah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakngan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka "persaingan bebas" dan punya kedudukan setara dengan lelaki.
Tokoh aliran ini adalah Naomi Wolf, sebagai "Feminisme Kekuatan" yang merupakan solusi. Kini perempuan telah mempunyai kekuatan dari segi pendidikan dan pendapatan, dan perempuan harus terus menuntut persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada lelaki.
Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraaan rasionalitas. Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara yang bias gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering muncul tuntutan agar prempuan mendapat pendidikan yang sama, di abad 19 banyak upaya memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di abad 20 organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk menentang diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam konteks Indonesia, reformasi hukum yang berprerspektif keadilan melalui desakan 30% kuota bagi perempuan dalam parlemen adalah kontribusi dari pengalaman feminis liberal.

Feminisme radikal
Trend ini muncul sejak pertengahan tahun 1970-an di mana aliran ini menawarkan ideologi "perjuangan separatisme perempuan". Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan gerakan ini adalah sesuai namanya yang "radikal".
Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme), seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik. “The personal is political” menjadi gagasan anyar yang mampu menjangkau permasalahan prempuan sampai ranah privat, masalah yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan.


Feminisme post modern
Ide Posmo - menurut anggapan mereka - ialah ide yang anti absolut dan anti otoritas, gagalnya modernitas dan pemilahan secara berbeda-beda tiap fenomena sosial karena penentangannya pada peng-universalan pengetahuan ilmiah dan sejarah. Mereka berpendapat bahwa gender tidak bermakna identitas atau struktur sosial.

Feminisme anarkis

Feminisme Anarkisme lebih bersifat sebagai suatu paham politik yang mencita-citakan masyarakat sosialis dan menganggap negara dan laki-laki adalah sumber permasalahan yang sesegera mungkin harus dihancurkan.

Feminisme Marxis

Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini—status perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari property. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat—borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus.

Feminisme sosialis

Sebuah faham yang berpendapat "Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan. Tak Ada Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme". Feminisme sosialis berjuang untuk menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang mendinginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender.
Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis. Aliran ini mengatakan bahwa patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan. Ia sepaham dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang menganggap patriarkilah sumber penindasan itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung. Seperti dicontohkan oleh Nancy Fraser di Amerika Serikat keluarga inti dikepalai oleh laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan pekerja adalah peran maskulin, sedangkan peran sebagai konsumen dan pengasuh anak adalah peran feminin. Agenda perjuagan untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarki. Dalam konteks Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk melihat problem-problem kemiskinan yang menjadi beban perempuan.

Feminisme postkolonial

Dasar pandangan ini berakar di penolakan universalitas pengalaman perempuan. Pengalaman perempuan yang hidup di negara dunia ketiga (koloni/bekas koloni) berbeda dengan prempuan berlatar belakang dunia pertama. Perempuan dunia ketiga menanggung beban penindasan lebih berat karena selain mengalami pendindasan berbasis gender, mereka juga mengalami penindasan antar bangsa, suku, ras, dan agama. Dimensi kolonialisme menjadi fokus utama feminisme poskolonial yang pada intinya menggugat penjajahan, baik fisik, pengetahuan, nilai-nilai, cara pandang, maupun mentalitas masyarakat.

Feminisme Multikultural
Gerakan feminisme ini, lebih melihat dari sisi keberagaman budaya dan kultur yang ada. Multikultural didefinisikan sebagai gerakan sosial intelektual yang mempromosikan nilai-nilai keberagaman sebagai suatu prinsip dasar, multikulturalisme menuntut bahwa semua kelompok kebudayaan harus diperlakukan dengan penuh penghargaan dan sebagai orang yang setara. (Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought, Jalasutra, jogjakarta, h. 312).
Apa yang dirasakan seorang wanita jawa zaman dahulu yang menjadi seorang selir, dimana dengan statusnya itu dia merasa terhormat, maka disitu tidak bisa dikatakan penindasan terhadap perempuan. Begitu juga dengan contoh seorang penari ronggeng misalnya, dimana dia berusaha mengeksploitasi uang laki-laki dengan mengajaknya menari dan juga sesekali menggoda supaya disawer, tapi disisi lain laki-lakinya merasa mampu mengekspoitasi penari tersebut dengan mengajak dia menari dan juga sesekali mencubit atau mencolek pantatnya.
Maka dari contoh ini, sudah tidak jelas lagi siapa yang diekspoitasi dan siapa yang dirugikan. Maka gerakan ini lebih menekankan adanya peninjauan ulang terhadap kemajemukan kultur dan budaya yang ada untuk menentukan ada atau tidaknya penindasan yang akhirnya perlu dibela.

Ekofeminisme
Gerakan feminisme ini berusaha untuk menunjukkan hubungan antara semua bentuk opresi atau penindasan manusia, tetapi juga memfokuskan pada usaha manusia untuk mendominasi dunia bukan manusia, atau alam. Karena perempuan secara kultural dikaitkan dengana alam, ekofeminis berpendapat ada hubungan konseptual konseptual, simbolik, dan linguistik antara feminis dan isu ekologi (hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungannya).
Menurut Karen J. Warren, modus berpikir yang patriarki dan hirarkis, dualistik, dan opresif telah merusak perempuan dan alam. Jelas karena perempuan telah “dinaturalisasi” (natural = alami[ah]) dan alam telah “difeminisasi”, maka sangatlah sulit untuk mengetahui kapan opresi yang satu berakhir dan kapan yang lain mulai. Warren menekankan bahwa perempuan “dinaturalisasi” ketika mereka digambarkan melalui acuan terhadap binatang, misalnya, “sapi, serigala, ayam, ular, anjing betina, berang-berang, kelelawar, kucing, otak burung, otak kuda.” Demikian pula ketika alam “difeminisasi” ketika ia “ diperkosa, dikuasai, ditaklukkan, dikendalikan, dikalahkan, dan ditambang oleh laki-laki”, atau ketika ia dihormati atau bahkan disembah sebagai seorang Ibu yang paling mulia dari segala Ibu. Jika laki-laki adalah tuan dari alam, jika laki-laki telah diberi kekuasaan atas alam, maka dia mempunyai kendali tidak hanya pada alam, tetapi juga atas perempuan. Apapun yang dilakukan laki-laki terhadap alam dapat dialakukan pada perempuan. (Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought, Jalasutra, jogjakarta, h. 360). Jadi akar timbulnya ekofeminisme ini adalah keprihatinan atas rusaknya lingkungan hidup kita yang dikatakan disebabkan oleh laki-laki dan karena paradigma pemikiran yang berkerangka kelaki-lakian yang cenderung destruktif, maka dari itu muncullah gerakan ekofeminisme ini untuk melawan mainstream pemikiran dan perilaku yang merugikan alam itu.

Feminisme Islam
Gerakan Feminisme ini diidentifikasi baru digagas sekitar tahun 1990-an oleh Qassim Amin dari Mesir dan juga Mumtaz Ali dari India. Beberapa tokoh ternama lainnya seperti Laila Ahmad (Profesor kajian wanita asal Mesir), Fatima Mernissi (seorang penulis asal Maroko), Amina Wadud (Profesor kajian keislaman di Virginia), Shirin Ebadi (Pemenang Nobel Perdamaian 2003 asal Iran) dan masih banyak lagi.
Namun jika kita tengok jauh kebelakang pada masa perjuangan awal islam, Khodijah (istri Nabi Saw) adalah seorang tokoh perempuan yang sangat getol berjuang untuk ikut mewujudkan kehidupan sosial yang lebih baik, selalu mendampingi perjuangan Nabi dalam berbagai situasi. Jika feminisme dimaknai sebagai sebuah gerakan politik tentang kesadaran diri dimana perempuan dengan mengatasnamakan seksualitasnya betul-betul mengetahui kebutuhannya, terutama kebutuhan yang berbeda dengan apa yang dipikirkan laki-laki, maka sangatlah mungkin bahwa Khadijah juga adalah seorang feminis.
Apa yang menjadi perhatian mereka adalah bagaimana perspektif kesetaraan gender dalam penelitian kajian al-Qur’an maupu Hadis ditujukan untuk menganalisis ulang teks-teks yang beredaksi misoginis, dalam sebuah upaya kontekstualisasi penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang tidak saja mempertimbangkan konteks sosio-historis dalam memahaminya, tapi juga bagaimana kita menarik signifikansinya bagi konteks sosiologis yang terjadi pada masa kini, sehingga tetap didapatkan makna pesan-pesan al-Qur’an yang teguh berpegang pada dimensi keadilan dan kesetaraan derajat antara sesama manusia.

  1. Interpretasi Perspektif Gender
Interpretasi yang berperspektif gender adalah, interpretasi terhadap teks-teks agama yang tidak lagi mengandung ketimpangan gender atau bahkan merugikan perempuan, akan tetapi interpretasi yang lebih menyejajarkan kedudukan keduanya tanpa ada pihak yang merasa dirugikan karena pembedaan konstruksi dan image yang sengaja atau tidak, telah dikonstruksi oleh kultur dan pandangan masyarakat yang sangat merugikan terhadap perempuan. Maka interpretasi yang berperspektif gender adalah interpretasi yang tidak lagi mengandung diskriminasi seksual yang merugikan salah satunya akan tetapi lebih memperhatikan pada persamaan gender antara laki-laki dan perempuan.

  1. Penutup

Semoga tulisan kecil ini, dapat memberi rangsangan positif bagai kita untuk lebih mempunyai perspektif yang berbasis pada pengarusutamaan persamaan gender dalam menafsirkan teks-teks Qur’an. Dan tidak lagi ada pihak-pihak yang merasa dirugikan karena penafsiran yang tidak berperspektif gender.

Komentar

Postingan Populer