KESETARAAN GENDER DAN GERAKAN FEMINISME
- Prolog
Pembahasan kesetaraan
gender dan gerakan feminisme merupakan pembahasan menarik yang selalu hangat untuk
diperbincangkan. Namun bukan berarti pembahasan ini merupakan pembahasan baru
yang belum pernah dibahas oleh orang-orang sebelumnya, akan tetapi pembahasan
kita kali ini yaitu pembahasan mengenai penafsiran teks yang berperspektif
gender, agaknya merupakan topik yang anti klimaks dan akan selalu menarik untuk
dibahas.
Perbincangan mengenai
kesetaraan Gender dan berbagai hal yang terkait, merupakan suatu proses yang
tidak bisa lepas dari faktor historis dan akar geneologis yang membidani
lahirnya gerakan yang menyuarakan kesetaraan Gender yang selanjutnya akan kita
kenal dengan Gerakan Feminisme.
Maka dari itu, akan
kami coba untuk memberikan sedikit rangsangan pembuka untuk bisa kita jadikan
sebagai motor penggerak bagi kita untuk memahaminya lebih lanjut.
- Identifikasi
Sex dan Gender
Sebelum jauh kita
membahas tentang kesetaraan Gender, tuntutan yang mereka suarakan, corak
pergerakan, latar belakang pemicu timbulnya gerakan, sejarah lahir dan
berkembangnya, hingga berbagai jenis gerakan ini, maka perlu kita ketahui
terlebih dahulu mengenai apakah yang dikehendaki dengan Gender? Kemudian apa
perbedaannya dengan Sex?
Kata Sex berasal dari
bahasa Inggris sex, berarti jenis kelamin (Jhon M. Echols dan Hasan Shadily,
1983). Pemahaman ini diperjelas dalam kamus lainnya bahwa “ sex is the
characteristics which ditinguish the male from female”, yakni ciri-ciri
yang membedakan antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang bersifat
biologis. Sedangkan kata Gender menurut bahasa diartikan sebagai “ the grouping
of words into masculine, feminine and neuter, according as they are regarded as
male, female aor withaut sex ”, yakni gender adalah kelompok kata yang
mempunyai sifat maskulin, feminin, atau tanpa keduanya, netral (Hornby, 1965).
Dalam Encyclopedia of
Feminism diperjelas bahwa gender adalah sebuah istilah yang menunjukkan
pembagian peran sosial antara laki-laki dan perempuan dan ini mengacu kepada
pemberian ciri emosional dan psikologis yang diharapkan oleh budaya tertentu
yang disesuaikan dengan fisik laki-laki dan perempuan. Adapun istilah seks
mengacu pada perbedaan secara biologis dan anatomis antara laki-laki dan
perempuan (Tuttle, 1987). Dalam Women’s Studies Encyclopedia diperjelas
lagi, bahwa yang dimaksud gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya
membuat perbedaan (distinctions) dalam hal peran, perilaku, mentalitas,
dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang di
masyarakat. (Asriati Jamil dan Amany Lubis, Pengantar Kajian Gender, PSW UIN
Jakarta 2003, h. 54).
Jadi sex merupakan
perbedaan antara laki-laki dan perempuan dari sisi biologis yang tidak dapat
diubah dan tidak ada intervensi lain kecuali dari pemberian Tuhan. Seperti
misalnya bahwa, laki-laki merupakan sesosok manusia yang mempunyai penis, testis
dan sperma. Sedangkan perempuan merupakan sesosok manusia yang mempunyai
vagina, sel telur, haid, hamil, melahirkan, menyusui.
Sedangkan Gender
merupakan pembedaan antara laki-laki dan perempuan yang diberikan oleh kultur
dan budaya yang sifatnya bisa diubah. Seperti misalnya laki-laki merupakan
sesosok manusia yang tampan, gagah, kuat, pemberani, pemimpin, tidak cengeng,
mengedepankan akal dan sebagainya. Sedangkan perempuan diidentifikasi dengan
seorang manusia yang cantik, lemah, lembut, penakut, dipimpin, cengeng,
mengedepankan perasaannya dan sebagainya.
Jadi keduanya, yakni
Sex dan Gender mempunyai perbedaan yang cukup signifikan. Jika Sex memang tidak
bisa dirubah dan pemberian Tuhan, akan tetapi Gender merupakan konstruksi dan
image yang diberikan oleh orang lain dan masyarakat, yang bisa dirubah.
Konstruksi-konstruksi
dan image yang diberikan masyarakat yang membedakan keduanya, yang banyak
berimplikasi pada kebijakan yang merugikan mereka inilah yang kemudian akan diperjuangkan
oleh mereka untuk disetarakan dengan kaum laki-laki.
Menyadari pentingnya
relasi gender dalam upaya meningkatkan persamaan hak, kewajiban, kedudukan,
peranan dan kesempatan yang setara, maka dewasa ini fokus penanganan bagi
kemajuan, pemberdayaan perempuan ditujukan pada pengarusutamaan gender (gender
mainstreaming). Hal ini berarti bahwa perlu adanya upaya bersama dalam
memposisikan perempuan pada taraf pengambil keputusan dan hadir secara
kuantitatif mewakili kepentingan perempuan di lembaga-lembaga pemerintahan
ataupun organisasi non pemerintah. Upaya pemberdayaan perempuan akan sangat
terbatas hasilnya apabila perhatian hanya ditujukan kepada perempuan dan tidak
memperhatikan relasi gender yang berkeadilan.
- Akar
Historis Gerakan Feminis
Feminisme
sebagai gerakan dapat dilacak dalam sejarah kelahirannya dengan kelahiran era Pencerahan
(enlightment) di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Perkumpulan masyarakat
ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg,
sebuah kota di selatan Belanda pada tahun 1785.
Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan
perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara
penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai universal sisterhood.
Kata feminisme dikreasikan pertama
kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837.
Pergerakan
center Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill, the Subjection of Women (1869). Perjuangan mereka menandai kelahiran
feminisme Gelombang Pertama.
Sejarah
Gerakan Feminisme ini setidaknya dapat dibagi menjadi dua gelombang, gelombang
pertama ditandai dengan adanya masa pencerahan di Eropa. Faktor yang mendorong
timbulnya gerakan Feminisme gelombang pertama adalah, dimana mereka merasa ada
pemasungan hak-hak mereka baik dalam bidang pekerjaan, sosial, politik,
pendidikan, maupun ekonomi dan mempertanyakan kebebasan hak laki-laki yang
cenderung menindas. Disamping itu juga adanya fundamnetalisme dalam beragama
yang lagi-lagi merugikan perempuan.
Secara
umum pada gelombang pertama yang menjadi momentum perjuangannya adalah: gender inequality, hak-hak perempuan,
hak reproduksi, hak berpolitik, peran gender, identitas gender dan seksualitas.
Gerakan feminisme adalah gerakan pembebasan perempuan
dari: rasisme,
stereotyping, seksisme, penindasan perempuan, dan phalogosentrisme.
Setelah berakhirnya
perang dunia kedua, ditandai dengan lahirnya negara-negara baru yang terbebas
dari penjajah Eropa, lahirlah Feminisme Gelombang Kedua pada tahun 1960.
Dengan puncak diikutsertakannya perempuan dalam hak suara parlemen. Pada tahun
ini merupakan awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut
mendiami ranah politik kenegaraan.
Dalam gelombang kedua
ini dipelopori oleh para feminis Perancis seperti Helene Cixous (seorang Yahudi
kelahiran Algeria yang kemudian menetap di Perancis) dan Julia Kristeva (seorang Bulgaria
yang kemudian menetap di Perancis) bersamaan dengan kelahiran dekonstruksionis,
Derrida.
Selama sebelum PD II,
banyak pejuang tanah terjajah Eropa yang lebih mementingkan kemerdekaan bagi
laki-laki saja. Terbukti kebangkitan semua Negara-negara terjajah dipimpin oleh
elit nasionalis dari kalangan pendidikan, politik dan militer yang kesemuanya
adalah laki-laki. Pada era itu kelahiran feminisme gelombang kedua mengalami
puncaknya.
Gelombang feminisme
di Amerika Serikat mulai berkembang pesat pada era perubahan dengan terbitnya
buku The Feminine Mystique yang
ditulis oleh Betty Friedan di tahun 1963.
dan dia juga mendirikan National
Organization for Woman (NOW) di tahun 1966
gemanya kemudian merambat ke segala bidang kehidupan. Dalam bidang perundangan,
tulisan Betty Friedan berhasil mendorong dikeluarkannya Equal Pay Right (1963) sehingga kaum perempuan bisa menikmati
kondisi kerja yang lebih baik dan memperoleh gaji sama dengan laki-laki untuk
pekerjaan yang sama, dan Equal Right Act
(1964)
dimana kaum perempuan mempunyai hak pilih secara penuh dalam segala bidang.
Gerakan feminisme
yang mendapatkan momentum sejarah pada 1960-an
menunjukan bahwa sistem sosial masyarakat modern dimana memiliki struktur yang
pincang akibat budaya patriarkal yang sangat kental. Marginalisasi peran
perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya ekonomi dan politik,
merupakan bukti konkret yang diberikan kaum feminis.
Gerakan perempuan
atau feminisme berjalan terus, sekalipun sudah ada perbaikan-perbaikan,
kemajuan yang dicapai gerakan ini terlihat banyak mengalami halangan. Di tahun 1967
dibentuklah Student for a Democratic
Society (SDS) yang mengadakan konvensi nasional di Ann Arbor kemudian dilanjutkan di Chicago
pada tahun yang sama, dari sinilah mulai muncul kelompok "feminisme
radikal" dengan membentuk Women´s
Liberation Workshop yang lebih dikenal dengan singkatan "Women´s
Lib". Women´s Lib mengamati bahwa peran kaum perempuan dalam hubungannya
dengan kaum laki-laki dalam masyarakat kapitalis terutama Amerika Serikat tidak
lebih seperti hubungan yang dijajah dan penjajah. Di tahun 1968
kelompok ini secara terbuka memprotes diadakannya "Miss America
Pegeant" di Atlantic City yang mereka anggap sebagai
"pelecehan terhadap kaum wanita dan komersialisasi tubuh perempuan". Gema ´pembebasan kaum perempuan´ ini kemudian mendapat sambutan di
mana-mana di seluruh dunia.
Pada
1975,
"Gender, development, dan equality" sudah dicanangkan sejak Konferensi Perempuan Sedunia Pertama di Mexico City
tahun 1975.
Hasil penelitian kaum feminis sosialis telah membuka wawasan jender untuk
dipertimbangkan dalam pembangunan bangsa. Sejak itu, arus pengutamaan jender
atau gender mainstreaming melanda dunia.
Memasuki
era 1990-an,
kritik feminisme masuk dalam institusi sains
yang merupakan salah satu struktur penting dalam masyarakat modern.
Termarginalisasinya peran perempuan dalam institusi sains dianggap sebagai
dampak dari karakteristik patriarkal yang menempel erat dalam institusi sains.
Tetapi, kritik kaum feminis terhadap institusi sains tidak berhenti pada
masalah termarginalisasinya peran perempuan. Kaum feminis telah berani masuk
dalam wilayah epistemologi sains untuk membongkar ideologi sains yang sangat
patriarkal. Dalam kacamata eko-feminisme, sains modern merupakan representasi
kaum laki-laki yang dipenuhi nafsu eksploitasi terhadap alam. Alam merupakan representasi dari kaum perempuan yang lemah, pasif, dan
tak berdaya. Dengan relasi patriarkal demikian, sains modern merupakan refleksi
dari sifat maskulinitas dalam memproduksi pengetahuan yang cenderung
eksploitatif dan destruktif.
Berangkat dari kritik
tersebut, tokoh feminis seperti Hilary Rose, Evelyn Fox Keller, Sandra Harding, dan Donna Haraway menawarkan suatu kemungkinan
terbentuknya genre sains yang berlandas pada nilai-nilai perempuan yang
antieksploitasi dan bersifat egaliter. Gagasan itu mereka sebut sebagai sains
feminis (feminist science).
- Aliran-Aliran dalam feminisme
Feminisme liberal
Apa yang disebut sebagai Feminisme Liberal ialah pandangan untuk
menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual.
Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas
dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia punya kapasitas
untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar
ketertindasan dan keterbelakngan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh
kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka
bisa bersaing di dunia dalam kerangka "persaingan bebas" dan punya
kedudukan setara dengan lelaki.
Tokoh aliran ini adalah Naomi Wolf, sebagai "Feminisme
Kekuatan" yang merupakan solusi. Kini perempuan telah mempunyai kekuatan
dari segi pendidikan dan pendapatan, dan perempuan harus terus menuntut
persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung
pada lelaki.
Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraaan rasionalitas.
Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga
harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya terletak pada
produk kebijakan negara yang bias gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering
muncul tuntutan agar prempuan mendapat pendidikan yang sama, di abad 19 banyak
upaya memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di
abad 20 organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk menentang
diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam
konteks Indonesia, reformasi hukum yang berprerspektif keadilan melalui desakan
30% kuota bagi perempuan dalam parlemen adalah kontribusi dari pengalaman
feminis liberal.
Feminisme radikal
Trend ini muncul
sejak pertengahan tahun 1970-an di mana aliran ini menawarkan ideologi
"perjuangan separatisme perempuan". Pada sejarahnya, aliran ini
muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis
kelamin di Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan kekerasan seksual dan
industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah
satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan gerakan ini adalah
sesuai namanya yang "radikal".
Aliran ini bertumpu
pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem
patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan
laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain
tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme), seksisme,
relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik. “The personal is
political” menjadi gagasan anyar yang mampu menjangkau permasalahan prempuan
sampai ranah privat, masalah yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke
permukaan.
Feminisme post modern
Ide
Posmo - menurut anggapan mereka - ialah ide
yang anti absolut dan anti otoritas, gagalnya modernitas dan pemilahan secara
berbeda-beda tiap fenomena sosial karena penentangannya pada peng-universalan
pengetahuan ilmiah dan sejarah. Mereka berpendapat
bahwa gender tidak bermakna identitas atau struktur sosial.
Feminisme
anarkis
Feminisme
Anarkisme lebih bersifat sebagai suatu paham politik yang
mencita-citakan masyarakat sosialis dan menganggap negara dan laki-laki adalah
sumber permasalahan yang sesegera mungkin harus dihancurkan.
Feminisme
Marxis
Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik
kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi
kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan
aliran ini—status perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi
(private property). Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan sendiri berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki
mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka
mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari
property. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan
terbentuknya kelas dalam masyarakat—borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang
maka struktur masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan
dihapus.
Feminisme
sosialis
Sebuah
faham yang berpendapat "Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan. Tak
Ada Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme". Feminisme sosialis berjuang untuk menghapuskan
sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta
dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx
yang mendinginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender.
Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis.
Aliran ini mengatakan bahwa patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan
tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus
disertai dengan kritik dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan
analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan. Ia sepaham
dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan
perempuan. Akan tetapi, aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan
feminisme radikal yang menganggap patriarkilah sumber penindasan itu.
Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung. Seperti
dicontohkan oleh Nancy Fraser di Amerika Serikat keluarga inti dikepalai oleh
laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan
pekerja adalah peran maskulin, sedangkan peran sebagai konsumen dan pengasuh
anak adalah peran feminin. Agenda perjuagan untuk memeranginya adalah
menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarki. Dalam konteks Indonesia, analisis
ini bermanfaat untuk melihat problem-problem kemiskinan yang menjadi beban
perempuan.
Feminisme
postkolonial
Dasar pandangan ini berakar di penolakan universalitas pengalaman
perempuan. Pengalaman perempuan yang hidup di negara dunia ketiga (koloni/bekas
koloni) berbeda dengan prempuan berlatar belakang dunia pertama. Perempuan
dunia ketiga menanggung beban penindasan lebih berat karena selain mengalami
pendindasan berbasis gender, mereka juga mengalami penindasan antar bangsa,
suku, ras, dan agama. Dimensi kolonialisme menjadi fokus utama feminisme
poskolonial yang pada intinya menggugat penjajahan, baik fisik, pengetahuan,
nilai-nilai, cara pandang, maupun mentalitas masyarakat.
Feminisme Multikultural
Gerakan feminisme ini, lebih melihat dari sisi keberagaman budaya dan
kultur yang ada. Multikultural didefinisikan sebagai gerakan sosial intelektual
yang mempromosikan nilai-nilai keberagaman sebagai suatu prinsip dasar,
multikulturalisme menuntut bahwa semua kelompok kebudayaan harus diperlakukan
dengan penuh penghargaan dan sebagai orang yang setara. (Rosemarie Putnam
Tong, Feminist Thought, Jalasutra, jogjakarta, h. 312).
Apa yang dirasakan seorang wanita jawa zaman dahulu yang menjadi seorang
selir, dimana dengan statusnya itu dia merasa terhormat, maka disitu tidak bisa
dikatakan penindasan terhadap perempuan. Begitu juga dengan contoh seorang
penari ronggeng misalnya, dimana dia berusaha mengeksploitasi uang laki-laki
dengan mengajaknya menari dan juga sesekali menggoda supaya disawer, tapi
disisi lain laki-lakinya merasa mampu mengekspoitasi penari tersebut dengan
mengajak dia menari dan juga sesekali mencubit atau mencolek pantatnya.
Maka dari contoh ini, sudah tidak jelas lagi siapa yang diekspoitasi dan
siapa yang dirugikan. Maka gerakan ini lebih menekankan adanya peninjauan ulang
terhadap kemajemukan kultur dan budaya yang ada untuk menentukan ada atau
tidaknya penindasan yang akhirnya perlu dibela.
Ekofeminisme
Gerakan feminisme ini berusaha untuk menunjukkan hubungan antara semua
bentuk opresi atau penindasan manusia, tetapi juga memfokuskan pada usaha
manusia untuk mendominasi dunia bukan manusia, atau alam. Karena perempuan
secara kultural dikaitkan dengana alam, ekofeminis berpendapat ada hubungan
konseptual konseptual, simbolik, dan linguistik antara feminis dan isu ekologi
(hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungannya).
Menurut Karen J.
Warren, modus berpikir yang patriarki dan hirarkis, dualistik, dan opresif
telah merusak perempuan dan alam. Jelas karena perempuan telah “dinaturalisasi”
(natural = alami[ah]) dan alam telah “difeminisasi”, maka sangatlah sulit untuk
mengetahui kapan opresi yang satu berakhir dan kapan yang lain mulai. Warren
menekankan bahwa perempuan “dinaturalisasi” ketika mereka digambarkan melalui
acuan terhadap binatang, misalnya, “sapi, serigala, ayam, ular, anjing betina,
berang-berang, kelelawar, kucing, otak burung, otak kuda.” Demikian pula ketika
alam “difeminisasi” ketika ia “ diperkosa, dikuasai, ditaklukkan, dikendalikan,
dikalahkan, dan ditambang oleh laki-laki”, atau ketika ia dihormati atau bahkan
disembah sebagai seorang Ibu yang paling mulia dari segala Ibu. Jika laki-laki
adalah tuan dari alam, jika laki-laki telah diberi kekuasaan atas alam, maka
dia mempunyai kendali tidak hanya pada alam, tetapi juga atas perempuan. Apapun
yang dilakukan laki-laki terhadap alam dapat dialakukan pada perempuan. (Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought, Jalasutra, jogjakarta, h. 360). Jadi akar timbulnya
ekofeminisme ini adalah keprihatinan atas rusaknya lingkungan hidup kita yang
dikatakan disebabkan oleh laki-laki dan karena paradigma pemikiran yang
berkerangka kelaki-lakian yang cenderung destruktif, maka dari itu muncullah
gerakan ekofeminisme ini untuk melawan mainstream pemikiran dan perilaku yang
merugikan alam itu.
Feminisme Islam
Gerakan Feminisme ini diidentifikasi baru digagas sekitar tahun 1990-an
oleh Qassim Amin dari Mesir dan juga Mumtaz Ali dari India. Beberapa tokoh
ternama lainnya seperti Laila Ahmad (Profesor kajian wanita asal Mesir), Fatima
Mernissi (seorang penulis asal Maroko), Amina Wadud (Profesor kajian keislaman
di Virginia), Shirin Ebadi (Pemenang Nobel Perdamaian 2003 asal Iran) dan masih
banyak lagi.
Namun jika kita tengok jauh kebelakang pada masa perjuangan awal islam,
Khodijah (istri Nabi Saw) adalah seorang tokoh perempuan yang sangat getol
berjuang untuk ikut mewujudkan kehidupan sosial yang lebih baik, selalu
mendampingi perjuangan Nabi dalam berbagai situasi. Jika feminisme dimaknai
sebagai sebuah gerakan politik tentang kesadaran diri dimana perempuan dengan
mengatasnamakan seksualitasnya betul-betul mengetahui kebutuhannya, terutama
kebutuhan yang berbeda dengan apa yang dipikirkan laki-laki, maka sangatlah
mungkin bahwa Khadijah juga adalah seorang feminis.
Apa yang menjadi perhatian mereka adalah bagaimana perspektif kesetaraan
gender dalam penelitian kajian al-Qur’an maupu Hadis ditujukan untuk
menganalisis ulang teks-teks yang beredaksi misoginis, dalam sebuah upaya
kontekstualisasi penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang tidak saja
mempertimbangkan konteks sosio-historis dalam memahaminya, tapi juga bagaimana
kita menarik signifikansinya bagi konteks sosiologis yang terjadi pada masa
kini, sehingga tetap didapatkan makna pesan-pesan al-Qur’an yang teguh
berpegang pada dimensi keadilan dan kesetaraan derajat antara sesama manusia.
- Interpretasi
Perspektif Gender
Interpretasi yang
berperspektif gender adalah, interpretasi terhadap teks-teks agama yang tidak
lagi mengandung ketimpangan gender atau bahkan merugikan perempuan, akan tetapi
interpretasi yang lebih menyejajarkan kedudukan keduanya tanpa ada pihak yang merasa
dirugikan karena pembedaan konstruksi dan image yang sengaja atau tidak, telah
dikonstruksi oleh kultur dan pandangan masyarakat yang sangat merugikan
terhadap perempuan. Maka interpretasi yang berperspektif gender adalah
interpretasi yang tidak lagi mengandung diskriminasi seksual yang merugikan
salah satunya akan tetapi lebih memperhatikan pada persamaan gender antara
laki-laki dan perempuan.
- Penutup
Semoga tulisan kecil
ini, dapat memberi rangsangan positif bagai kita untuk lebih mempunyai perspektif
yang berbasis pada pengarusutamaan persamaan gender dalam menafsirkan teks-teks
Qur’an. Dan tidak lagi ada pihak-pihak yang merasa dirugikan karena penafsiran
yang tidak berperspektif gender.
Komentar
Posting Komentar