Mukjizat Saintifik Dalam Al-Qur’an ; Sebuah kajian kontemporer terhadap al-Qur’an


Oleh: Labib Syauqi
Abstraksi
            Membahas Mukjizat al-Qur’an dari berbagai aspek, merupakan suatu pembahasan yang sangat luas dan besar cakupannya. Karena kebesaran dan keagungan kekuasaan Allah sebagai sang pencipta alam semesta ini. Membahas mukjizat al-Qur’an dari sisi tinjauan ilmiah merupakan setetes kecil dari satu tetes air laut dari samudra ilmu yang dimiliki Allah. Seperti yang tertera dalam aurat al-Kahfi ayat 109 : “Katakanlah: sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)". Bahkan tidak pantas untuk diperhitungkan dibanding dengan keluasan ilmu Allah dan terlalu naif jika kita bandingkan. Semakin banyak kita kaji tanda-tanda kekuasaan allah, maka semakin besar dan kerdil pula pengetahuan kita dihadapannya, karena keterbatasan akal manusia yang dimilikinya.
Al-Qur’an ditinjau dari sisi kemukjizatan ilmiahnya adalah pembahasan yang besar, yang bisa dijabarkan kedalam berbagai pembahasan dan lusinan karya dan ribuan buku, yang telah dicoba digali oleh para ulama maupun ilmuan yang konsen dalam pembahasan ini. Maka apa yang kami lakukan disini adalah sungguh tiada artinya jika dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh para ulama dan peneliti pendahulu. Namun apa yang kami lakukan disini hanya ingin sedikit menyampaikan informasi yang telah didapat oleh para ulama.

B. Penafsiran Saintifik
Corak penafsiran saintifik (tafsir ilmi) dipahami berdasarkan asumsi bahwa seluruh macam penemuan ilmu-ilmu alam modern telah diantisipasi dalam al-Qur’an dan bahwa banyak referensi-referensi yang jelas terhadap temuan-temuan tersebut dapat ditemukan dalam ayat-ayat al-Qur’an. Temuan-temuan tersebut yang telah ditetapkan sebelumnya dalam al-Qur’an terjadi mulai dari kosmologi Copernicus hingga kandungan-kandungan listrik, mulai dari keteraturan reaksi-reaksi kimia hingga bakteri-bakteri yang dapat menimbulkan penyakit. Keseluruhan metode digunakan untuk membaca dan mengungkap kedalam apa yang ada dan terkandung dalam teks al-Qur’an.
Pola-pola dasar penafsiran saintifik tidaklah sepenuhnya baru. Beberapa penulis tafsir klasik seperti Fakhruddin al-Razi, telah lebih dulu mengemukakan ide bahwa semua ilmu telah terkandung dalam al-Qur’an. Karena itu, mereka berusaha mencari dalam teks al-Qur’an ilmu astronomi pada masa mereka. Corak penafsiran saintifik seperti itu kemudian diteruskan oleh Mahmud Syihabuddin al-Alusi (w.1856) dalam kitabnya Ruh al-Ma’aniy, sebuah kitab tafsir yang belum menunjukkan adanya familiaritas dengan ilmu-ilmu modern Barat. Selanjutnya penafsiran Muhammad Abduh sendiri tidak terhindar dari upaya-upaya membaca teks al-Qur’an dengan temuan-temuan saintifik modern. Seperti apa yang dikatakannya bahwa jin yang disebutkan dalam al-Qur’an bisa saja diartikan dengan “mikroba”. Begitu juga dengan burung ababil dalam surat al-Fil dapat diartikan dengan “lalat-lalat yang dapat menularkan penyakit kepada mereka melalui kaki-kakinya kepada yang telah mengandung kotoran”.
Pengarang pertama yang diakui publik dengan melakukan penafsiran saintifik modern, yaitu dengan menemukan dalam teks al-Qur’an referensi-referensi untuk penemuan-penemuan saintifik modern, adalah seorang ahli fisika Muhammad Ahmad Iskandarani dengan karyanya yang diterbitkan pada tahun 1880. sedangkan representasi tafsir ilmi yang paling terkenal pada awal abad ke-20 adalah Thanthawi Jawhari, pengarang tafsir al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Karim (1341/1922-1923). Imam Jawhari tidak menggunakan corak penafsiran saintifik ini untuk tujuan-tujuan apologetik atau untuk membuktikan kemukjizatan al-Qur’an, akan tetapi tujuan utamanya adalah untuk meyakinkan umat Islam bahwa pada masa modern, mereka seharusnya jauh lebih concern dengan ilmu-ilmu pengetahuan modern daripada menyibukkan diri dengan pembahasan-pembahasan hukum Islam yang bersifat cabang (furu’iyah).[1] Belum lagi para penafsir kontemporer yang menfsirkan al-Qur’an dari segi tinjauan disiplin-disiplin ilmu pengetahuan kontemporer yang tidak terhitung. Hingga saat ini yang masih terus berlanjut.

Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan
Menurut Quraisy Syihab, pandangan al-Qur’an tentang ilmu dan teknologi dapat diketahui prinsip-prinsipnya dari analisis wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad Saw. “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam[1589], Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. (QS Al-‘Alaq : 1-5).
Wahyu pertama itu tidak menjelaskan apa yang harus dibaca, karena al-Qur’an menghendaki umatnya membaca apa saja selama bacaan tersebut bismi rabbik, dalam arti bermanfaat bagi kemanusiaan. Iqra’ berarti bacalah, telitilah, dalamilah. Ketahuilah ciri-ciri sesuatu ; bacalah alam, tanda-tanda zaman, sejarah, maupun diri sendiri, yang tertulis maupun yang tidak. Alhasil, objek perintah iqra’ mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkaunya.
Menelusuri pandangan al-Qur’an mengenai ilmu pengetahuan dan teknologi, mengajak kita untuk menengok pada sekian banyak ayat al-Qur’an yang berbicara tentang alam raya. Menurut para ulama terdapat sekitar 750 ayat al-Qur’an yang berbicara tentang alam materi dan fenomenanya. Dan yang memerintahkan manusia untuk mengetahui dan memanfaatkan alam ini. Secara tegas dan berulang-ulang al-Qur’an menyatakan bahwa alam raya diciptakan dan ditundukkan Allah untuk manusia, “Dan dia Telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir”. (QS. Al-Jatsiyah: 13). Penundukan tersebut secara potensial terlaksana melalui hukum-hukum alam yang ditetapkan Allah dan kemampuan yang dianugrahkan-Nya kepada manusia.
Adanya potensi tersebut serta tersedianya lahan yang diciptakan Allah, serta ketidakmampuan alam raya untuk membangkang terhadap perintah dan hukum-hukum Tuhan, menjadikan ilmuwan dapat memperoleh kepastian mengenai kepastian hukum-hukum alam. Karenanya, semua itu mengantarkan manusia berpotensi untuk memanfaatkan alam yang telah dtundukkan Tuhan. Keberhasilan memanfaatkan alam itu merupakan buah teknologi.
Al-Qur’an memuji sekelompok manusia yang dinamainya ulil albab. Ciri mereka antara lain disebutkan dalam surat Ali Imran, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,  (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka”. (QS. Ali Imran; 190-191). Muhammad Quthb dalam bukunya Manhaj at-Tarbiyah al-Islamiyah mengomentari ayat Ali Imran ini bahwa ayat-ayat tersebut merupakan metode yang sempurna bagi penalaran danpengamatan Islam terhadap alam. Ayat-ayat itu mengarahkan akal manusia pada fungsi pertama di antara sekian banyak fungsinya. Yakni mempelajari ayat-ayat Tuhan yang disajikan di alam raya ini. Ayat-ayat tersebut bermula dengan tafakur dan berakhir dengan amal.
Lebih jauh dapat ditambahkan bahwa “Khalaqa as-Samawat wal ‘Ardh” disamping berarti membuka tabir sejarah penciptaan langit dan bumi, juga bermakna “memikirkan tentang sitem tat kerja alam semesta”. Karena kata khalq selain berarti penciptaan, juga berarti pengaturan dan pengukuran yang cermat. Pengetahuan tentang hal terakhir ini mengantarkan ilmuwan kepada rahasia-rahasia alam, dan pada gilirannya mengantarkan kepada penciptaan teknologi yang menghasilkan kemudahan dan manfaat bagi umat manusia.[2]

C. Diskusi Saintifik al-Qur’an
a. Diskusi Penciptaan Bumi
Dari ayat-ayat al-Qur’an yang menerangkan tentang kekuasaan Allah melalui tanda-tanda alam semesta yang oleh Para sarjana kontemporer kemudian diejawantahkan kedalam berbagai kajian tentang sisi keilmuan yang terdapat pada pesan-pesan ilahi ini, akan menelurkan pembahasan yang sangat banyak sekali, dengan berbagai bab dan sub bab yang mingkin tak terhitung. Akan tetapi dalam kesempatan kali ini kami akan coba membahas sedikit tentang proses penciptaan bumi.
Diskusi kita awali dengan apa yang dipaparkan oleh Prof. Achmad Baiquni, MSc. PhD  yang menjelaskan bahwa Pada tahun 1929 terjadi peristiwa penting yang menjadi awal pergeseran pandangan di lingkungan para ahli tentang penciptaan alam, yang mengubah secara radikal konsepsi para fisikawan mengenai munculnya jagad raya. Sebab, dalam tahun itu Hubble, yang mempergunakan teropong bintang terbesar di dunia, melihat galaksi-galaksi di sekeliling kita, yang menurut analisis pada spektrum cahaya yang dipancarkannya menjauhi kita dengan kelajuan yang sebanding dengan jaraknya dari bumi; yang terjauh bergerak paling cepat meninggalkan kita. Kejadian ini merupakan pukulan berat bagi Einstein, karena observasi Hubble itu menunjukkkan bahwa alam kita ini tidak statis, melainkan merupakan alam yang dinamis seperti model Friedman.
Dengan kecewa ia menerima kekeliruan itu dan kembali pada modelnya yang terdahulu, karena observasi mendorong para ilmuwan untuk berkesimpulan bahwa alam yang kita huni ini mengembang, volume ruang jagad raya ini bertambah besar setiap saat. Dari perhitungan mengenai perbandinga jarak dan kelajuan gerak masing-masing galaksi yang teramati, para fisikawan-astronom menarik kesimpulan bahwa semua galaksi di jagad raya ini semula bersatu padu dengan galaksi kita Bimasakti, kira-kira 12 milyar tahun yang lalu.
Gamow Alpher dan Herman mengatakan bahwa pada saat itu terjadi ledakan yang maha dahsyat yang melemparkan materi seluruh jagad raya ke semua arah, yang kemudian membentuk bintang-bintang dan galaksi. Karena tidak mungkin materi seluruh alam itu berkumpul di suatu tempat dalam ruang alam tanpa meremas diri dengan gaya gravitasi yang sangat kuat, hingga volumenya mengecil menjadi titik, maka disimpulkan kemudian bahwa “dentuman besar” itu terjadi ketika seluruh materi kosmos keluar dengan kerapatan yang sangat besar dan suhu yang sangat tinggi dari volume yang sangat kecil. Alam semesta lahir dari singularitas fisis dengan keadaan ekstrem. Nyata disini bahwa akhirnya fisika mengakui bahwa semula alam tiada tetapi kemudian, sekitar 12 milyar tahun yang lalu tercipta dari ketiadaan; sebab fakta hasil observasi yang menelorkan kesimpulan itu tidak dapat disangkal.
Jika kita bandingkan konsepsi fisika tentang penciptaan alam itu dengan ajaran al-Qur’an, kita dapat memeriksa apa yang dinyatakan dalam ayat 30 surah al-Anbiya’, “Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, Kemudian kami pisahkan antara keduanya. dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?”.
Keterpaduan ruang dan materi seperti yang dinyatakan dalam ayat tersebut hanya dapat kita pahami jika keduanya berada di satu titik, yaitu titik singularitas yang merupakan volum yang berisi seluruh materi. Sedangkan pemisahan mereka terjadi dalam suatu ledakan dahsyat yang melontarkan materi keseluruh penjuru ruang alam yang berkembang dengan sangat cepat sehingga tercipta universum yang berekspansi.
Selanjutnya, mengenai ekspansi alam semesta ini yang menaburkan materi paling tidak sebanyak 100 milyar galaksi yang masing-masing berisi rata-rata 100 milyar bintang itu, al-Qur’an dalam surat ad-Dzariyat ayat 47 mengatakan, “Dan langit itu kami bangun dengan kekuasaan (kami) dan Sesungguhnya kami benar-benar berkuasa”. Kekuatan yang terlibat dalam pembanguna alam ini, dan yang mampu melemparkan kira-kira 10.000 ,ilyar-milyar bintang yang masing-masing massanya sekitar massa matahari ke seluruh pelosok alam ini, tentu saja tidak dapat kita bayangkan.
Teori ini dikuatkan oleh Wilson dan Penzias yang pada tahun 1964 melakukan observasinya ke segenap penjuru alam menemukan sisa-sisa kilatan dentuman besar yang terjadi sekitar 12 milyar tahun yang lalu itu, yang riak gelombangnya sudah tentu telah berubah panjangnya karena jagad raya mengembang dan mendingin. Seperti yang dijelaskan dalam surat Fushshilat ayat 53, “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”. Dari ayat ini Allah telah memenuhi janjinya dengan memperlihatkan ekspansi kosmos, dan memperlihatkan sisa-sisa kilatan dentuman besar.[3]
Senada dengan apa yang disampaikan oleh Achmad Baiquni diatas, Quraisy Syihab tanpa melihat memperpanjang diskusi dan membahas perbedaan pendapat yang ada, akan tetapi dia menitik beratkan pada ketika al-Qur’an berbicara tentang hal itu, dikaitkan dengan kekuasaan dan kebesaran Allah, serta keharusan beriman kepadaNya.
Pada saat pengisyaratan pergeseran gunung-gunung dari posisisnya, sebagaimana kemudian dibuktikan para ilmuwan, informasi itu dikaitkan dengan kemahabesaran Allah Swt. “Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu; Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. Ini berarti bahwa sains dan hasil-hasilnya harus selalu mengingatkan manusia terhadap kehadiran dan kemahakuasaan Allah Swt., selain juga harus memberi manfaat bagi kemanusiaan.[4]
b. Ternyata Akhirat Tidak Kekal
Diskusi kita yang kedua ini, dengan sub judul diatas memang terdengar sedikit provokatif dan kontroversial dengan pemahaman mainstream kaum muslimin yang ada sekarang. Memang judul ini juga yang dijadikan judul sebuah buku yang dirulis oleh Ir. Agus Mustofa, seorang Insinyur yang berasal dari Malang yang tertarik pada kajian Tasawuf dan juga terhadap penafsiran al-Qur’an yang bercorak saintifik.
Dalam menjelaskan pendapatnya diatas, Agus Mustofa menguraikannya dengan dua pendekatan Logika Agama dan Logika Sains.
Logika Agama, mengawali pembicaraan dengan melihat dari sisi penciptaan, yang hanya dikategorikan kedalam dua pihak. Pihak pertama adalah Pencipta atau Kholiq, dan yang kedua adalah Makhluk atau yang diciptakan. Jika Allah adalah sang pencipta sedangkan akhirat adalah yang diciptakan, jadi menurut logika tauhid kita, hanya Allah saja yang layak menjadi Sang Pencipta. Selebihnya adalah makhluk. Siapa dan apa sajakah makhluk yang diciptakan Allah selain Allah adalah makhluk. Karena semua ciptaan Allah adalah makhluk. Maka suatu ketika pada zaman dulu, mereka pernah tidak ada kemudian diciptakan oleh Allah. Dan karena pernah tidak ada, maka logika agama mengatakan bahwa suatu ketika kelak, mereka juga akan kembali tidak ada.
Permasalahannya adalah ketika kita berbicara tentang akhirat, begitu banyaknya ayat al-Qur’an yang menyatakan bahwa kehidupan akhirat adalah kekal abadi. Seperti dalam QS. Al-Baqarah : 25, QS. Al-Baqarah : 39, QS. Ali Imran : 107, QS. At-Taubah : 100. dan masih banyak lagi seperti dalam Surat Huud : 23, yang artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh dan merendahkan diri kepada Tuhan mereka, mereka itu adalah penghuni-penghuni syurga; mereka kekal di dalamnya”. Padahal kita meyakini jika akhirat tersebut adalah makhluk. Dan sebagai makhluk pastilah ia fana atau tidak kekal, karena yang kekal hanyalah Allah semata.
Namun dalam beberapa ayat yang lain yang membahas tentang akhirat, terdapat ayat yang memberikan tanda-tanda berbeda. Diantaranya adalah yang terdapat dalam surat Huud ayat 106-108, “Adapun orang-orang yang celaka, Maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka mengeluarkan dan menarik nafas (dengan merintih).
Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain). Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang dia kehendaki.
Adapun orang-orang yang berbahagia, Maka tempatnya di dalam syurga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya”.
Ayat di atas bercerita tentang keadaan pendudukneraka dan penduduk surga. Dikatakan oleh Allah, bahwa mereka itu akan kekal di dalam surga atau neraka, selama ada langit dan bumi. Dengan kata lain kekekalan akhirat tergantung kepada kekekalan alam semesta ini. Sehingga, ketika alam semesta ini mengalami kehancuran, maka alam akhirat juga akan mengalami hal yang sama, yaitu kehancuran. Ada dua poin yang dapat kita simpulkan dari sini :
Pertama, bahwa akhirat tersebut sesungguhnya memang tidak kekal. akan tetapi, ketidakkekalan itu bukan berarti mengabaikan arti dari informasi-informasi sebelumnya yang mengatakan bahwa kita akan kekal di akhirat. Karena kekal yang dimaksudkan tersebut memang bukan kekal yang tidak terbatas. Akhirat adalah makhluk, oleh karena itu ia pasti memiliki awal dan memiliki akhir.
Kedua, bahwa alam akhirat memang berada di dalam alam semesta, bukan di luar alam semesta. Karena itu ia bergantung sepenuhnya kepada keberadaan alam semesta itu sendiri. Langit yang ketujuh dimana alam akhirat berada, adalah suatu alam yang satu paket dengan alam semesta. Langit dunianya ada di langit yang pertama, sedangkan alam akhirat berada di langit ke tujuh.
Logika Sains, sebagaimana logika agama, logika ilmiah juga berkesimpulan bahwa alam semesta ini bakal lenyap. Ada dua hal yang menyebabkan lenyapnya alam semesra ini. Yang pertama adalah bertemunya langit positif dan langit negatif. Sedangkan yang kedua, adalah menciutnya alam semesta ini setelah mengalami kondisi berkembang selama 15 milyar tahun. Sehingga lenyap di pusat alam semesta.
Maka Allah mengatakan, pada waktu itu Dia menggulung langit atau alam semesta ini seperti menggulung lembaran-lembaran kertas menuju kejadian semula. Artinya, bertitik tolak dari tempat yang semula, ketika dulu Allah menggelar lembaran-lembaran itu, dan kini menggulungnya kembali menuju titik yang sama pula. “yaitu pada hari kami gulung langit sebagai menggulung lembaran - lembaran kertas. sebagaimana kami Telah memulai panciptaan pertama begitulah kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti kami tepati; Sesungguhnya kamilah yang akan melaksanakannya”.
Lama proses penggulungan langit diperkirakan berlangsung selama 15 milyar tahun, yaitu selama periode akhirat. Logikanya adalah, jika alam semesta berkembang dari kondisi awal (Big Bang) sampai berhenti membutuhkan waktu 15 milyar tahun, maka yang dibutuhkan untuk menciut dari kondisi berhenti menuju titik awal juga dibutuhkan waktu selama 15 milyar tahun.
Sungguh sebuah periode yang bukan main lamanya. Karena itu, sangat masuk akal kalau Allah sangat sering menggunakan kata ‘kekal’ dan ‘abadi’ untuk menggambarkan lamanya periode akhirat itu. Kalau dibandingkan dengan kehidupan manusia yang cuma puluhan tahun di dunia, memanglah kehidupan akhirat yang milyaran tahun lamanya ini bagaikan sebuah kehidupan yang kekal dan abadi.
Meskipun demikian, Allah terus menggulung alam semesta, bergerak menuju pusatnya. Ruang dan waktu terus mengecil, mengeci, dan mengecil, sehingga pada suatu saat nanti, sekitar 15 milyar tahun dari sekarang, alam semesta ini akan lenyap kembali seperti awal mulanya. Yang ada hanya Allah, sang Maha Perkasa – sumber segala kedamaian di alam semesta raya ini.[5]
D. Penutup
Metode dan corak penafsiran saintifik dalam perkembangannya kurang mendapatkan apresiasi positif secara umum dari para ulama Mufassirin. Sebagian diantaranya menolak sama sekali metode ini, seperti Muhammad Rasyid Ridha, Amin al-Khuli, Mahmud Syaltut dan Sayyid Qutb. Bantahan-bantahan mereka yang terpenting terhadap penafsiran saintifik dapat disimpulkan :
  1. Secara leksikografik, penafsiran saintifik tidak dapat diterima, karenaia secara salah mengaitkan “makna-makna modern” pada kosa kata al-Qur’an.
  2. Ia mengenyampingkan konteks kata-kata dan frase-frase dalam teks al-Qur’an, dan juga asbab al-Nuzul yang diriwayatkan.
  3. Ia mengabaikan fakta bahwa agar al-Qur’an dapat dipahami oleh audiens pertama, kata-kata al-Qur’an harus sesuai dengan bahasa dan horison intelektual orang-orang Arab masa lalu pada masa Nabi.
  4. Ia tidak memperhatikan fakta bahwa pengetahuan dan teori-teori saintifik sesuai dengan karakter dasarnya yang selalu tidak sempurna dan berkembang.
  5. yang terpenting adalah bahwa ia gagal memahami bahwa al-Qur’an bukanlah buku ilmu pengetahuan, tetapi adalah sebuah kitab yang didesain untuk membimbing manusia dengan memberikan pada mereka prinsip-prinsip eksklusif sitem Islam.
Meskipun bantahan-bantahan ini cukup mendasar, tapi sebagian pengarang tafsir tetap percaya bahwa tafsir ‘ilmi (penafsiran saintifik) dapat dan seharusnya diteruskan. Paling tidak sebagai metode tambahan yang khususnya bermanfaat untuk menunjukkan kemukjizatan al-Qur’an bagi orang-orang yang tidak tahu bahasa Arab, sehingga tidak mampu mengapresiasi kemukjizatan kitab suci tersebut dalam bentuk gaya bahasa.[6] Dan setidaknya dapat menambah keimanan kita setelah mengetahui kebesaran Allah melalui tanda-tanda kebesarann-Nya lewat alam semesta seisinya ini.
Demikian sedikit apa yang dapat kami paparkan tentang kemukjizatan ilmiah yang terdapat dalam al-Qur’an, tentunya apa yang kami paparkan adalah jauh dari kata sempurna, karena kesempurnaan hanyalah milik Allah semata. Dan sungguh seberapa banyak karya yang dihasilkan oleh manusia untuk menggali kebesaran Allah, pastilah manusia tidak akan mampu menangkapnya secara keseluruhan, karena kelemahan dan ketidak mampuan manusia yang dimilikinya.

“Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, Tuhan apapun yang lain. tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. bagi-Nyalah segala penentuan, dan Hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan”.
(QS. Al-Qashash : 88)

E. Daftar Pustaka

Baiquni, Achmad, Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan Kealaman, Yogyakarta ; Dana Bhakti Prima Yasa, 1997.

Mustofa, Agus, Ternyata Akhirat Tidak Kekal, Surabaya : Padma Press.

Syihab, Quraisy, Wawasan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2000.

Wieland, Rotroud, Tafsir al-Qur’an: Masa Awal Modern dan Kontemporer, Dalam Jurnal Tashwirul Afkar, Edisi 18 2004.





[1] Rotroud Wieland, Tafsir al-Qur’an: Masa Awal Modern dan Kontemporer, Dalam Tashwirul Afkar, Edisi 18 (2004), hal. 68-70
[2] Quraisy Syihab, Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2000), Cet. X, Hal. 433-444
[3] Achmad Baiquni, Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan Kealaman, (Yogyakarta; Dana Bhakti Prima Yasa, 1997), hal. 209-214
[4] Quraisy Syihab, Wawasan al-Qur’an, Hal. 445
[5] Baca, Agus Mustofa, Ternyata Akhirat Tidak Kekal, (Surabaya: Padma Press), hal. 314-334
[6] Rotroud Wieland, Tafsir al-Qur’an: Masa Awal Modern dan Kontemporer, hal. 71-72

Komentar

Postingan Populer