Pemetaan Metodologi serta Corak Tafsir dalam al-Qur’an
Oleh :
Labib Syauqi
Dalam sejarah
perkembangan penafsiran al-Qur’an, banyak sekali metode yang berkembang seiring
dengan perkembangan peradaban dan juga perkembangan ilmu pengetahuan waktu demi
waktu.
Begitu juga dengan
berbagai corak penafsiran yang ada saat ini adalah buah perjalanan panjang
sejarah peradaban Islam. Karena tersebar luasnya dan bertemunya beraneka budaya
yang ada, di tengah-tengah pesatnya perkembangan ilmu dan budaya waktu itu,
dimana gerakan penerjemahan tumbuh dan giat dilaksanakan setidaknya di masa
dinasti Abbasiyah. Berbagai sumber perbendaharaan ilmu digali dan aneka
macam pustaka diterjemahkan. Maka dari sinilah muncul berbagai corak penafsiran
yang ada sekarang.
Metodologi tafsir dalam
al-Qur’an dan pengelompokan pada berbagai bentuknya sebenarnya tidak ada
batasan secara resmi dan paten. Karena metode penafsiran dan corak-corak yang
ada lebih dulu muncul dari pada klasifikasi serta pengelompokan yang ada. Jadi
para mufassir terdahulu menafsirkan al-Qur’an menurut kapasitas keilmuan,
motifasi dan keinginan mereka sendiri bukan menurut metode dan pengelompokan yang
ada kemudian. Akan tetapi, setelah itu para ulama khalaf yang direpresentasikan
oleh al-Farmawi mulai mengkategorikan metode tafsir menjadi empat yaitu
Tahlili, Ijmali, Muqarin, dan Maudlu’i.
Namun jika dilihat dari
sudut pandang yang sedikit berbeda, maka pengelompokkan metodologi penafsiran
dapat dibedakan jika dilihat menurut intensitas penafsiran, menurut sumber yang
digunakan, menurut langkah-langkah yang ditempuh, dan juga warna atau corak penafsiran tersebut.
I. Adapun metodologi tafsir dalam al-Qur’an jika dilihat
dari segi intensitas mufassir dalam menafsirkan dapat kita kategorikan menjadi
dua, yaitu Tahlili dan Ijmali.
- Tahlili
(Analitik)
Metode Tahlili adalah
metode tafsir yang berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari
seluruh aspeknya. Metode ini disebut juga dengan Tajzi’i. Metode ini dianggap
metode yang paling tua dan paling sering digunakan. Tafsir ini dilakukan secara
berurutan ayat demi ayat kemudian surat demi surat dari awal hingga akhir
sesuai dengan susunan dalam mushaf Al-Qur'an. Kemudian menjelaskan kosa kata
dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan
kandungan ayat, yaitu unsur-unsur I’jaz, balaghah, dan keindahan susunan
kalimat, menjelaskan munasabah (korelasi) ayat-ayat serta menjelaskan hubungan
maksud ayat-ayat tersebut satu sama lain. Menjelaskan apa yang dapat diambil
dari ayat yaitu hukum fikih, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma
akhlak dan lain sebagainya.
Ada juga yang mengatakan bahwa metode Tahlili bisa dilihat dari
kedalaman analisa oleh mufassir itu. Kalau analisa yang digunakan oleh mufassir
cukup mendalam, maka dikatakan Tahlili. Dan jika analisa yang digunakan oleh
mufassir itu sedikit dan kurang mendalam maka disebut Ijmali.
Kelebihan metode ini adalah :
1.
Dapat meletakkan
dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukjizatan Al-Qur'an.
2. Dapat mengeksplorasi kandungan ayat secara maksimal.
3. Dapat menghasilkan gagasan yang beraneka ragam.
4. Dapat mengetahui dengan mudah tafsir suatu ayat atau
surat.
5. Mudah mengetahui relevansi atau munasabah antara satu
ayat dengan ayat yang lain, atau satu surat dengan surat yang lain.
Kelemahan metode ini adalah :
- Bahasan-bahasannya amat teoritis, tidak
sepenuhnya mengacu kepada persoalan-persoalan khusus yang dialami oleh masyarakat
mereka.
- Menghasilkan gagasan yang parsial sehingga sulit
menangkap pesan pokok pada ayat yang ditafsirkan.
- Metode ini terkadang terlalu panjang lebar,
sehingga sulit ditangkap maksud yang ingin disampaikan dan bahkan kadang
tidak menyentuh kandungan yang diinginkan.
- Terkesan adanya peanfsiran yang berulang-ulang,
terutama pada ayat yang mempunyai tema yang sama.
- Faktor subyektifitas yang sulit dihindari,
misalnya ada ayat yang ditafsirkan dalam rangka membenarkan pendapatnya.
- Bahsan-bahasannya dirasakan mengikat pada
generasi berikutnya.
- Masuknya berita-berita Isro’iliyyat.
Contoh kitab tafsir yang menggunakan metode Tahlili adalah banyak
sekali, dan sekedar menyebutkan diantaranya : Tafsir karya al-Alusi, Tafsir
karya Fahruddin al-Razi, Tafsir karya al-Thabari, Tafsir karya al-Naisaburi dan
juga Tafsir Jalalain karya Jalaluddin al-Mahalli dan as-Suyuthi,
- Ijmali
(Global)
Metode Ijmali adalah suatu metode tafsir yang berusaha menafsirkan
Al-Qur'an secara singkat dan global, dengan menjelaskan makna yang dimaksud
tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami. Urutan
penafsiran sama dengan metode tahlili namun memiliki perbedaan dalam hal
penjelasan yang singkat dan tidak panjang lebar. Dalam menyajikan makna-makna
ini mufassir menggunakan ungkapan-ungkapan yang diambil dari al-Qur’an sendiri
dengan menambahkan kata-kata penghubung sehingga memberi kemudahan pada para
pembaca untuk memahaminya.
Keistimewaan metode ini adalah :
1.
Kemudahannya
untuk difahami, sehingga dapat dikonsumsi oleh lapisan dan tingkatan kaum
muslimin secara merata.
2.
Bebas dari
berita-berita Isro’iliyyat
3.
Metode ini
dianggap akrab dengan bahasa al-Qur’an, karna kelugasan dan kesederhanaan bahsanya.
Kelemahan metode ini :
1.
penjelasannya
yang terlalu ringkas dan global sehingga terkadang tidak dapat menguak makna
ayat yang luas dan tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas.
2.
Menjadikan
petunjuk al-Qur’an bersifat parsial.
3.
Tidak ada
ruang untuk memberikan uraian atau pembahasan yang memadai sesuai dengan
keahlian para mufassir.
Adapun contoh kitab tafsir yang menggunakan metode ini : Tafsir
al-Qur’an Karim karya Muhammad Farid Wajdi, Tafsir al-Wasith terbitan Majma’
al-Buhus al-Islamiyyat, Taj al-Tafsir karya Muhammad Utsman al-Mirghani.
II.
Metodologi tafsir dalam al-Qur’an jika dilihat dari segi langkah-langkah
mufassir dalam menafsirkan dapat kita kategorikan menjadi dua, yaitu Muqarin
dan Maudlu’I (Tematik).
A. Muqarin
Tafsir ini menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau
ayat dengan hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan
menonjolkan perbedaan tertentu dari obyek yang diperbandingkan itu.
B. Maudlu’I
(Tematik)
Metode Maudlu’i adalah metode tafsir yang berusaha menafsirkan al-Qur’an
secara integral dan komprehensif mengenai tema tertentu, dengan mengambil
berbagai ayat yang terkait dengan tema tersebut dari seluruh rangkaian ayat
atau dari sebuah surat dari surat-surat yang ada dalam al-Qur’an. Dan ada juga
yang mendeskripsikan dengan suatu metode panafsiran yang menghimpun seluruh
ayat al-Qur’an yang berbicara tentang suatu tema, serta mengarah pada satu
pengertian dan tujuan. Kemudian baru dikaji keseluruhan seginya, sehingga satu
tema dapat dibahas tuntas.
Kelebihan metode ini :
- Merupakan cara yang efektif untuk menggali
hidayah al-Qur’an.
- Memberikan solusi terhadap
permasalahan-permasalahan kehidupan sosial.
- Merupakan jalan termudah dalam merasakan fasahat
dan balaghah al-Qur’an.
- Metode ini lebih tuntas dalam membahas suatu
permasalahan.
Kelemahan metode ini :
- Pembahasannya
cenderung parsial dan tidak menyeluruh.
- Dalam
penafsirannya, seringkali subyektifitas mufassir terlalu jauh.
Adapun contoh kitab
tafsir yang menggunakan metode ini adalah : Min Huda al-Qur’an karya Mahmud
Syaltut, al-Ma’rifah fi al-Qur’an karya Abbas mahmud al-Aqqad, al-Aqidah fi
al-Qur’an karya Muhammad abu Zahrah.
III. Tafsir dalam al-Qur’an jika dilihat
dari segi sumber yang digunakan mufassir dalam menafsirkan dapat kita
kategorikan menjadi dua, yaitu Bi al-Ra’yi dan Bi al-Riwayah.
A. Bi
al-Riwayah
Tafsir bi al-Riwayah
adalah penafsiran ayat Qur’an dengan menggunakan ayat Qur’an, penafsiran ayat
dengan hadis Nabi, penafsiran ayat dengan hasil ijtihat para sahabat, atau
penafsiran ayat dengan ijtihat para tabi’in, yang menjelaskan makna sebagian
ayat yang dirasa sulit untuk dipahami. Atau dalam pengertian lain adalah tafsir
yang mengutip pendapat orang lain.
Kelebihan metode ini :
- Tafsir
al-Qur’an dengan al-Qur’an adalah sumber tafsir terunggul dibanding dengan
metode lainnya.
- Tafsir
al-Qur’an dengan Sunnah Rasul adalah istimewa karena Rasulullah adalah
yang menerima wahyu tersebut, maka beliaulah yang lebih mengerti tentang
makna dan maksud ayat al-Qur’an tersebut.
- Tafsir
al-Qur’an dengan ucapan sahabat dianggap bisa dipertanggung jawabkan,
karna mereka menyaksikan al-Qur’an diturunkan dan mengetahui kondisi
sosiokultural saat al-Qur’an diturunkan
- Tafsir al-Qur’an dengan pendapat tabi’in dianggap
bisa diterima, karena mereka belajar dari para sahabat Nabi.
Kelemahan Metode ini :
- Masuknya
cerita-cerita Isro’iliyyat
- Dihilangkannya
mata rantai (sanad) hadis.
- Banyaknya
riwayat-riwayat palsu yang terkadang dipakai.
- Banyaknya
riwayat hadis-hadis sahih yang bercampur dengan riwayat-riwayat hadis yang
tidak sahih.
Contoh kitab tafsir yang
menggunakan metode ini adalah : Jami’ul Bayan fi Tafsiril al-Qur’an karya Ibnu
Jarir al-Thabari, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim karya Ibnu Katsir, Al-Durr
al-Mantsur karya al-Suyuthi.
B. Bi al-Ra’yi
Tafsir bi al-Ra’yi
adalah penafsiran al-Qur’an yang dilakukan dengan menetapkan rasio sebagai
titik tolak dalam suatu penafsiran, atau dengan ijtihad, setelah seorang
mufassir menguasai seluk-beluk bahasa arab, asbab an-nuzul, nasikh mansukh dan
hal-hal lain yang diperlukan oleh lazimnya seorang penafsir. Dalam pengertian
lain tafsir bi al-Ra’yi adalah tafsir yang tidak mengutip pendapat dari orang
lain.
Karena penafsiran yang menggunakan metode ini
menitikberaktkan pada hasil pemikiran seorang mufassir, maka para ulama membagi
tafsir ini pada yang Mahmudah (terpuji) dan juga Madzmumah (tercela). Oleh
karena itu tafsir yang menggunakan metode ini bisa diterima jika mufassirnya
memenuhi persyaratan untuk menjadi seorang mufassir profesional, disamping itu
juga menjauhi hal berikut ini :
- Menghindari
sifat pasti, di mana seorang penafsir tanpa alasan mengklaim bahwa itulah
yang dimaksudkan Allah.
- Tidak
memaksa diri untuk memahami sesuatu yang hanya wewenang Allah untuk
mengetahuinya.
- Menghindari
dorongan dan kepentingan hawa nafsu.
- Menghindari
penafsiran yang bertujuan untuk menguatkan kepentingan madzhab atau
golongan tertentu.
Kelebihan Metode ini :
1. Penafsirannya
sering kali memuat berbagai ide dan memiliki ruang lingkup yang cukup luas.
2. Pembahasan
terhadap suatu bidang keilmuan lebih fokus.
3. Penafsirannya
lebih mampu untuk menjawab tantangan zaman.
Kelemahan metode ini :
1. Terjerumusnya
sang mufassir dalam penafsiran yang bersifat subyektif.
2. Seringkali
mengabaikan konteks turunnya ayat yang berisi uraian asbab an-nuzul, sisi
kronologis, nasikh mansukh dan lain sebagainya.
Contoh kitab tafsir yang
menggunakan metode ini adalah : Mafatih al-Ghaib karya al-Fakh al-Razi, Anwar
al-Tanzil karya al-Baidhawi, Madaru al-Tanzil karya al-Nasafy.
Namun mengomentari hal
ini, yaitu adanya pembagian tafsir bi al-Ra’yi dengan ada yang terpuji dan
tercela serta menganggap tafsir bi al-Riwayah terpuji semua karna tidak adanya
kalsifikasi itu, tentulah patut kita pertanyakan ulang.
Karena dasar
pengelompokan tafsir menjadi tercela ataupun terpuji adalah subyektif juga,
sehingga tidak menutup kemungkinan jika dalam tafsir bi al-Riwayah terdapat dua
pembagian terpuji dan juga tercela, karna dalam tafsir bi al-Riwayah juga
terdapat unsur subyektifitasnya, seperti pemilihan ayat atau riwayat yang
dipilih untuk ditafsirkan, pemaknaan dan pemahaman terhadap teks, pembuatan
kesimpulan, dan juga kontekstualisasi ayat tersebut dan banyak lagi hal-hal
yang melibatkan subyektifitas penafsir. Karena tidak ada seorangpun yang mampu
menangkap pesan obyektif dan makna kebenaran mutlak dari suatu teks kecuali
Allah sendiri.
IV. Sedangkan tafsir dalam al-Qur’an
jika dilihat dari segi corak penafsiran yang digunakan mufassir dalam
menafsirkan dapat kita sebutkan setidaknya ada enam corak tafsir, yaitu corak Falsafi,
Fiqhi, Ilmi, Lughawi, Adabi Ijtima’I, dan Isyari.
Latar belakang munculnya
berbagai macam corak penafsiran adalah tatkala ilmu keislaman berkembang pesat,
disaat para ulama telah menguasai berbagai disiplin ilmu, dan berbagai karya
dari bermacam disiplin mulai bermunculan, maka karya tafsir juga ikut
bermunculan sesuai dengan corak keilmuan yang dimiliki pengarangnya.
Masing-masing penafsir mempunyai kecenderungan dan arah pembahasan tersendiri,
maka timbullah berbagai corak penafsiran tersebut.
- Falsafi
Corak penafsiran falsafi
muncul, karena masuknya ilmu filsafat yunani pada masa dinasti Bani Abbas
seiring dengan semangat gerakan penterjemahan.
Tafsir Falsafi adalah
tafsir yang banyak mengungkap sisi filsafat dalam al-Qur’an.
Kelemahan tafsir bercorak
falsafi adalah karena tidak ada tafsir yang bercorak ini yang secara penuh
menafsirkan al-Qur’an.
Contoh tafsir yang
bercorak falsfi adalah Mafatih al-Ghaib karya al-Fakhr al-Razi.
- Fiqhi
Tafsir yang bercorak
fighi muncul berbarengan dengan lahirnya tafsi bi al-Riwayah, yang sama-sama
dinukil dari Nabi.
Corak tafsir ini terus
tumbuh dan berkembang bersama dengan perkembangan semangat ijtihad. Hasilnya
terus berkembang dan bertambah serta disebarluaskan dengan baik hingga munculnya
berbagai madzhab fiqih
Contoh tafsir yang
bercorak fiqhi adalah : Ahkam al-Qur’an karya al-Jasshos, Al-Jami’ Li al-Ahkam
al-Qur’an karya al-Qurthubi.
- Ilmi
Corak Penafsiran Ilmi
ini timbul akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi maka muncul
usaha-usaha penafsiran Al-Qur'an sejalan dengan perkembangan ilmu yang terjadi.
Penafsiran dengan
menggunakan corak ini masih kontroversial dikalangan para ulama, ada yang
menganggap penafsiran corak ilmi sebagi upaya untuk menyingkap makna ayat-ayat
kauniyah yang terdapat dalam al-Qur’an, namun ada juga yang menentang bahwa
al-Qur’an tidak diturunkan untuk berbicara tentang teori ilmiah dan juga
tentang fenomena alam.
Contoh tafsir yang
bercorak ilmi adalah : Syekh Thanthawi Jauhari dengan kitab tafsirnya yang
tebal, Sunnatullah al-Kauniyyah karya Ahmad al-Gharnawi, Riyadh al-Mukhtar
karya Mukhtar al-Ghazi.
- Lughawi
Munculnya tafsir dengan corak
ini diakibatkan banyaknya orang non-Arab yang memeluk Islam serta akibat
kelemahan orang-orang Arab sendiri di bidang sastra, sehingga dirasakan perlu
untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti
kandungan Al-Qur'an di bidang ini.
Tafsir Lughawi adalah
corak tafsir yang memberikan pengertian dan analisa kebahasaan dari sisi
kosakata, gramatika, dan balaghahnya.
Contoh tafsir dengan
corak ini adalah tafsir Jalalain karya Jalaluddin al-Suyuthi dan Jalaluddin
al-Mahalli.
- Adabi
Ijtima’i
Munculnya corak ini
dimulai pada masa Syaikh Muhammad Abduh yang menjelaskan petunjuk-petunjuk
ayat-ayat Al-Qur'an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat,corak
ini muncul sebagai usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit atau
masalah-masalah masyarakat berdasarkan petunjuk ayat-ayat.
Corak ini menjelaskan
ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan dengan ketelitian ungkapan-ungkapan yang
disusun dengan gaya bahasa yang lugas dan jelas, dengan menekankan tujuan pokok
diturunkannya al-Qur’an lalu mengaplikasikannya dalam tatanan sosial.
Contoh tafsir dengan
corak ini adalah : Al-Manar karya Muhammad Abduh yang ditulis oleh Rasyid
Ridla, Tafsir alQur’an al-Karim karya al-Maraghi, Tafsir al-Qur’an al-Karim
karya Mahmud Syaltut.
- Isyari
Munculnya corak
penafsiran Isyari adalah akibat dari munculnya gerakan-gerakan sufi, maka
muncul pula tafsir-tafsir yang dilakukan oleh para sufi yang bercorak tasawuf
yang berdasar pada intuisi isyarat ketuhanan.
Corak penafsiran ini
dalam aktifitas tafsirnya berusaha menyingkap isyarat-isyarat suci dibalik
ungkapan-ungkapan al-Qur’an serta mencurahkan padanya pengetahuan rabbani untuk
mengetahui kandungan ayat al-Qur’an dengan cara riyadloh hati.
Al-Farmawi mensyaratkan
beberapa hal dalam rangka diterimanya tafsir corak ini :
- Tidak
bertentangan dengan dzahir ayat
- Terdapat
syahid (dalil) syara’ yang menguatkannya
- Tidak
bertentangan dengan syara’ dan juga akal sehat
- Mufassirnya
tidak menganggap bahwa penafsirannya itu adalah satu-satunya tafsiran yang
benar.
Contoh tafsir yang
bercorak isyari adalah : Haqa’iq al-Tafsir karya al-Sulami, al-Bayan fi Haqa’iq
al-Qur’an karya al-Syirazi.
Demikianlah ulasan
singkat mengenai metodologi dalam penafsiran, ciri-ciri, kelebihan serta
kekurangannya, semoga menjadi catatan dan pengertian kita, bahwasanya tafsir
adalah tetap merupakan karya manusia biasa yang bisa saja keliru, mufassir dan
pendapatnya lahir dalam suatu masyarakat serta lingkungan yang tidak dapat
dipisahkan dengan mufassir tersebut, maka sebuah penafsiran serta pendapat dari
seorang mufassir tidaklah kedap akan kritik.
Semoga dapat menjadi penyejuk
dahaga bagi para musafir yang haus akan lautan ilmu al-Qur’an. Amin.
Komentar
Posting Komentar