Politik Perempuan dalam Dunia Islam



Oleh : Labib Syauqi
Politik oleh sebagian orang diartikan dengan berbagai macam urusan dan tindakan atau kebijakan mengenai pemerintahan negara atau kebijakan yang berkaitan dengan masyarakat. Politik juga berarti kebijakan dan cara bertindak dalam menghadapi dan menangani suatu masalah, baik yang berkaitan dengan masyarakat ataupun lainnya. Al-Qur’an berbicara tentang politik melalui sekian banyak ayatnya.
Dalam sejarah islam klasik, tentulah banyak peristiwa yang secara implisit mengindikasikan atas keterlibatan perempuan dalam berpolitik, baik secara langsung ataupun tidak, karna hal tersebut merupakan kepekaan dan juga refleksi spontan yang keluar dari mereka atas kebijakan-kebijakan politik yang bersinggungan dengan keadaan mereka. Dan hal tersebutlah yang nantinya akan diperjuangkan oleh perempuan masa kini untuk bisa turut andil dalam menentukan setiap kebijakan politis negara yang menyangkut dengan diri dan representasi mereka sebagi perempuan tentunya.
Sejarah awal Islam mencatat bahwa perempuan memiliki posisi sebagai pelaku aktif bahkan sebagi pembentuk sejarah realitas komunitas muslim awal. Kaum perempuan memainkan peran yang signifikan dalam berbagai momentum penting dalam Islam dan jauh dari sikap pasif dan juga tunduk terhadap orde patriarki. Hal ini jelas terjadi seperti dalam kisah Khadijah istri Nabi Saw. Khadijah dikenal sebagai perempuan mapan dan terhormat di masyarakatnya yang jauh dari ketergantungan ekonomi laki-laki. Riwayat kehidupan Nabi Muhammad Saw. di awal kenabiannya menunjukkan peran aktif Khadijah dalam memberi nasehat, saran dan perlindungan politik pada Nabi dari tentangan bangsa-bangsa jahiliyyah suku Quraisy yang ingin menghancurkan Islam.
Riwayat Khadijah adalah riwayat perempuan mandiri secara ekonomi dan pengambil inisiatif dalam fase penentuan kenabian Muhammad Saw., baik dalam keluarga maupun sosial. Melalui pengaruh kedudukan politisnya Khadijah membuat lawal-lawan Muhammad Saw. segan untuk menyerang dan menghalangi ajaran Islam yang tengah tumbuh dan berkembang.
Begitu pula sejarah kehidupan Aisyah istri Nabi Muhammad berikutnya setelah Khadijah meninggal. Aisyah adalah perempuan kepercayaan Nabi Muhammad dalam perang. Beliau memiliki posisi intelektual penting sebagai penafsir dan juga periwayat hadis yang mempunyai kredibilitas dan kapabilitas yang mumpuni. Aisyah dikenal berperan penting dalam momen-momen politik sejarah Islam. Aisyah memberi jaminan dalam menentukan terpilihnya ayahnya sebagai khalifah, bukan Ali keponakan Nabi Muhammad sebagai pemimpin umat Islam. Bahkan pada saat kepemimpinan Ali, Aisyah mengambil peran posisi politik dan mengangkat senjata atas landasan pemikiran yang rasional untuk menuntut pembunuh-pembunuh khalifah Utsman secara hukum. Aisyah menggugat orang-orang yang dianggap terlibat persekongkolan dalam tubuh pemerintahan dan panglima-panglima perang kekholifahan masa Ali.
Pelajaran yang dapat kita ambil dari kehidupan Khodijah dan juga Aisyah pada era awal kelahiran Islam mempresentasikan bahwa perempuan berkompeten dalam membentuk sejarah awal komunitas Islam yang egaliter.
Di negara kita Indonesia ini, setidaknya mulai tahun 2003 lalu, telinga kita mulai akrab mendengar tentang wacana-wacana perempuan dan politik, bagitu juga tentang keterlibatan perempuan dalam ranah politik praktis. Berbagai kelompok perempuan menginginkan percepatan bagi perempuan terjun ke dunia politik melalui tindakan khusus sementara (affirmative action), yaitu keterwakilan 30 persen perempuan dalam kepengurusan partai politik dan juga di lembaga dewan perwakilan rakyat. Namun baru melalui paket undang-undang yang mengatur pemilu dan parpol. Saat itu berhasil diperjuangkan kuota 30 persen perempuan sebagai calon legislatif meskipun belum menjadi kewajiban. Dan menjelang Pemilu 2009, keinginan agar tindakan khusus ini mendapat kepastian hukum.
Sementara di sisi lain, masih ada kelompok orang yang mempertanyakan tentang kebolehan perempuan tampil bersuara di muka publik jika dilihat dari perspektif syari’at Islam sendiri, apakah hal tersebut senada dengan nafas Syari’at ataukah malah bertentangan? Diantara mereka, ada yang berpegang pada hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Umar yang menyatakan bahwa akal wanita kurang cerdas dibandingkan dengan akal lelaki, dan juga keberagamaan mereka juga demikian, disamping hadis itu ada juga hadis yang diriwayatkan dari Abu Bakar yang berbunyi :
عَنْ أَبِى بَكْرَةَ قَالَ لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ « لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً »
Ketika Rasulullah Saw. mengetahui bahwa masyarakat persia mengangkat putri kisra sebagai penguasa mereka, beliau bersabda, “Tidak akan beruntung satu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan.”
Maka pada kesempatan kali ini akan kami coba untuk menguraikan hadis diatas, tentang Asbab al-Wurudnya, kemudian kandungan makna, maksud hadis tersebut, dan tentunya kontekstualisasi hadis tersebut di masa kini.

Perempuan dalam Hukum Islam
Banyak dalih yang dikemukakan oleh para penentang hak perempuan, baik dengan penafsiran ayat al-Qur’an dan juga hadis Nabi Saw. maupun dengan merujuk beberapa hal yang berkaitan dengan perempuan yang mereka nilai sebagai kelemahan yang menghalangi mereka untuk menyandang hak tersebut. Tetapi paling tidak ada tiga alasan yang paling sering dikemukakan sebagai larangan atas keterlibatan mereka dalam panggung politik.
  1. Ayat Ar-Rijalu qawwamuna ‘alan-nisa’ (lelaki adalah pemimpin bagi kaum wanita) QS Al-Nisa’ ayat 34.
  2. Hadis diriwayatkan dari Ibnu Umar yang menyatakan bahwa akal wanita kurang cerdas dibandingkan dengan akal lelaki, keberagamaannya pun demikian.
  3. Hadis yang diriwayatkan dari Abu Bakar yang menyatakan bahwa tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan.
Ayat dan hadis-hadis tersebut di atas menurut mereka mengisyaratkan bahwa kepemimpinan hanya untuk kaum lelaki, dan menegaskan bahwa wanita harus menerima dan mengakui kepemimpinan laki-laki, sementara dilain pihak berpendapat bahwa pemahaman tersebut bias gender dan juga menghilangkan hak-hak perempuan yang hanya kebagian peran dalam urusan domestik saja disamping juga melanggengkan budaya patriarki yang menurut mereka harus didekonstruksi pemahamannya.
Dalil pertama yang menjadi pedoman mereka adalah surat an-Nisa’ ayat 34, al-Qurtubi dalam tafsirnya beliau menulis tentang makna ayat diatas : bahwa para lelaki (suami) didahulukan (diberi hak kepemimpinan) karena lelaki berkewajiban memberikan nafkah kepada wanita dan membela mereka, juga (karena) hanya lelaki yang menjadi penguasa, hakim, dan juga ikut bertempur. Sedangkan semua itu tidak terdapat pada perempuan. Ayat ini juga menunjukkan bahwa lelaki berkewajiban mengatur dan mendidik wanita, serta menugaskannya berada di rumah dan melarangnya keluar. Wanita berkewajiban mentaati dan melaksanakan perintahnya selama itu bukan perintah maksiat.
Selanjutnya pendapat tersebut banyak diikuti oleh para mufassir lainnya, namun sekian banyak juga mufassir kontemporer yang melihat bahwa ayat diatas tidak harus dipahami demikian, apalagi ayat tersebut berbicara dalam konteks kehidupan berumah tangga. Kata ar-rijal dalam ayat diatas bukan berarti lelaki secara umum, tetapi adalah “suami” karena konsiderans perintah tersebut seperti ditegaskan pada lanjutan ayat adalah karena mereka (para suami) menafkahkan sebagian harta untuk istri-istri mereka. Seandainya yang dimaksud dengan kata “lelaki” adalah kaum pria secara umum, tentu konsiderannya pastilah tidak demikian. Terlebih lagi lanjutan ayat tersebut secara jelas berbicara tentang para istri dan kehidupan berumah tangga.
Ada juga yang merujuk bahwa beberapa kondisi atau sifat perempuan yang mereka nilai sebagai suatu kelemahan, misalnya perempuan mengalami menstruasi, nifas, mengandung, melahirkan, dan menyusukan yang mereka anggap sebagai penghalang dalam beraktifitas, apalagi untuk beraktifitas yang berkaitan dengan negara dan masyarakat yang tidaklah ringan. Hal tersebut betul kiranya, akan tetapi hal-hal tersebut tidak akan terjadi sepanjang tahun, dan kalaupun ternyata hal tersebut benar menghalangi sebagian mereka untuk melakukan aktifitas secara maksimal, bukan berarti hal ini dijadikan justifikasi untuk mencabut hak itu bagi yang tidak mengalaminya, sama halnya ada juga lelaki yang sakit, tetapi mereka tidak dihalangi haknya untuk memilih atau dipilih ataupun melakukan aktifitas apapun selama kondisinya tidak berdampak buruk pada pilihan ataupun keputusannya. Dan di sisi lain, ada juga perempuan yang tidak lagi mengalami haid dan juga nifas, tidak juga memiliki anak-anak yang masih memerlukan perhatian seorang ibu, apakah mereka masih dihalangi juga hak-hak politiknya? Pastilah tidak, jika dalihnya adalah yang dikemukakan diatas. Maka dari itu hendaklah kita memahami ayat tersebut diatas secara holistik dan tidak parsial, sehingga dapat menghasilkan pemahaman yang senafas dengan semangat dan cita-cita islam yang sangat luhur.
Dalil yang kedua adalah hadis Nabi yang diriwayatkan dari Ibnu Umar, yang menjelaskan bahwa akal wanita kurang cerdas dibandingkan dengan akal lelaki, dan juga keberagamaannya pun demikian. Hadis ini dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam kitab Sunan-nya yang bunyinya :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَلاَ دِينٍ أَغْلَبَ لِذِى لُبٍّ مِنْكُنَّ ». قَالَتْ وَمَا نُقْصَانُ الْعَقْلِ وَالدِّينِ قَالَ « أَمَّا نُقْصَانُ الْعَقْلِ فَشَهَادَةُ امْرَأَتَيْنِ شَهَادَةُ رَجُلٍ وَأَمَّا نُقْصَانُ الدِّينِ فَإِنَّ إِحْدَاكُنَّ تُفْطِرُ رَمَضَانَ وَتُقِيمُ أَيَّامًا لاَ تُصَلِّى ».
Dari Abdullah bin Umar, bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda: “Aku tidak melihat orang-orang yang kurang akalnya dan juga agamanya daripada kalian (perempuan) menurut kebanyakan orang yang berakal”. Mereka berkata: Apa itu kurang akal dan juga kurang agamanya?”, Nabi menjawab: “Adapun kurang akalnya, karena persaksian dua orang perempuan itu sama halnya persaksian seorang laki-laki, sedangkan kurang agamanya adalah, karena salah satu dari kalian tidak menjalankan puasa Ramadhan dan juga beberapa hari tidak melaksanakan sholat”.
Dari hadis diatas, tidak sedikit yang berpendapat bahwa hadis tersebut benar menjadi justifikasi bahwa perempuan itu lebih lemah dari laki-laki dan juga perempuan mempunyai tingkat kecerdasan yang levelnya dibawah laki-laki, begitu juga frekuensi ritual ibadah mereka lebih sedikit dibanding laki-laki tentunya. Apakah benar klaim seperti itu yang menjeneralisir pada satu kategori saja, dan apakah pemahaman tersebut tidak diskriminatif, dan apakah hal tersebut juga tidak bertentangan dengan spirit agama Islam yang sangat menjunjung tinggi persamaan hak dan kewajiban antar sesama hamba Tuhan tanpa membedakannya dari jenis kelaminnya?
Setidaknya ada dua pendapat yang menyikapi tentang permasalahan itu. Pendapat pertama, bahwa kurang agama itu dimaksudkan adalah sedikit atau kurangnya taklif karena berbagai sebab, dan ada juga pendapat yang kedua yang berpendapat bahwa hal tersebut adalah kecerobohan dan kelemahan yang ada pada seseorang mukallaf yang berada pada tanggung jawab dan kehendak dia.
Maka seorang anak kecil atau remaja yang belum mencapai umur baligh, disifati dengan “kurang agamanya”, bukan berarti dia menanggung kecerobohannya, akan tetapi banyaknya dia melaksanakan ibadah wajib dan fardlu ataupun sunnah dengan giat dalam melaksanakannya, dan juga lebih banyak dari kebanyakan orang laki-laki baligh, akan tetapi dia tetap saja disifati dengan “Kurang Agamanya” menurut pendapat yang pertama.
Dan manusia yang mempermudah dan ceroboh terhadap perintah-perintah Allah Saw. dan juga hukum-hukumNya, yang sembrono terhadap batasan-batasanNya, juga disifati dengan “kurang agamanya”. Akan tetapi disini maksudnya adalah sembrono dalam melaksanakan perintah-perintah agama yang keluar dari kehendaknya, maka dia bertanggung jawab dalam kecerobohannya yang berakibat pada kurang pada agamanya, maka dia disifati dengan “kurang agamanya” menurut pendapat yang kedua.
Jika hal ini jelas, maka sifat yang diberikan Rasulullah Saw. pada perempuan sebagai seseorang yang kurang dalam agamanya, adalah menurut kami membenarkan pendapat yang pertama…maka Nabi Saw. menghendaki bahwa perempuan itu diringankan Allah dari sebagian tugas-tugas keagamaannya. Dan bahkan menggugurkannya, seperti halnya mereka tidak diperintahkan sholat ketika sedang haid, seperti halnya tidak diperintahkan sholat ketika sedang nifas, dan tidak diperintahkan untuk meng-kodho’ (mengulangi) sholat setelah selesai haid dan nifas. Sebagaimana tidak diperbolehkannya membaca al-Qur’an pada masa-masa (haid dan nifas) tertentu, akan tetapi tidak dikurangi sedikitpun pahalanya karena sebab hal itu (haid dan nifas). Karena permasalahannya tidak kembali pada kecerobohan perempuan itu tapi kembali pada keringanan yang diberikan Allah pada perempuan.
Maka perempuan pada keadaan ini disifati dengan kurang agamanya, dengan makna kurang taklif keagamaannya, dan sungguh mohon perlindungan dari Allah jika maknanya adalah perempuan itu ceroboh dalam beragamanya, karena perempuan tidak mempunyai kemampuan atau kehendak untuk melaksanakan kewajibannya dengan ceroboh. Maka menurut kami pendapat yang kedua terdapat kontradiksi di dalamnya dan juga tidak relevan karena mengisyaratkan akan adanya reduksi terhadap sifat kesucian Allah Swt. walaupun itu tidak mungkin.
Bukti lain yang dapat memperjelas atas apa yang kami katakan adalah : bahwa penjelasan tuhan adalah ketetapan yang ada pada kitab Allah Swt. bahwasanya pahala bagi laki-laki dan perempuan yang berkaitan dengan pelaksaan agama Allah adalah sama, laki-laki tidak mengungguli perempuan begiti pula sebaliknya. Dan dari hal itu Allah berfirman : “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain….” (Q.S. Ali imran, ayat 195)
Dan Allah juga berfirman : “Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, Maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun” (Q.S. an-Nisa’ ayat 124).
Jika terdapat kejanggalan bahwa firman Allah disini disyaratkan dengan adanya amal shaleh, sedangkan perempuan tidak bisa melakukan berbagai amal shaleh pada saat nifas dan haid seperti sholat, maka syarat yang digantungkan itu tidak akan terwujud.
Maka jawabnya adalah bahwasanya mengabulkan dan pemberian pahala terhadap perintah-perintah Allah Swt. itu murni tergantung pada Ridlo Allah Swt. dan hal itu adalah sumber dari ganjaran dan pahala. Pemberian pahala itu tergantung pada pelaksanaan perintah secara positif, dan bergantung juga pada akibatnya secara negatif. Maka jika perempuan yang dibebani (ditaklif) Allah Swt. dengan tidak diperintahkan melaksanakan sholat ketika haid, maka pastilah dia (perempuan) diberi pahala ketika dia melaksanakan taklif ini, selama tujuannya adalah untuk melaksanakan perintah Allah Swt. Maka menahan diri dari melaksanakan sholat pada waktu haid bagi perempuan, adalah seperti halnya orang lain yang melaksanakan sholat pada waktu ini. Dan keduanya adalah sumber dari ganjaran dan pahala. Selama keduanya bersungguh-sungguh dalam melaksanakan perintah ini, dalam rangka menta’ati perintah Allah Swt. dan mencari Ridlo Allah.
Jadi sungguh Rasulullah Saw. telah mensifati perempuan dengan semestinya, tidak ada pengurangan bagi mereka dan juga tidak ada pemberatan tanggungjawab yang dibebankan padanya.
Banyak kenyataan yang kita ketahui bahwa tidak sedikit perempuan yang mempunyai kecerdasan lebih dari pada laki-laki dan juga banyak mereka yang mempunyai ketaqwaan tinggi yang bukan tidak mungkin mengungguli laki-laki sekalipun, jadi penyebabnya sama sekali bukan karena bertali-temali dengan perkelaminan, akan tetapi terletak pada individual masing-masing.
Dalil ketiga yang paling sering menjadi dasar pelarangan mereka terhadap kaum perempuan untuk terjun ke ranah politik dan bahkan sampai memegang tampuk kepemimpinan tertinggi adalah hadis yang diriwayatkan dari Abu Bakar yang menyatakan bahwa tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan.
Hadis ini setidaknya diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Tirmidzi, Nasa’I, Baihaqi dan juga Imam Ahmad dari Abu Bakar, yang bunyi hadisnya adalah :
عَنْ أَبِى بَكْرَةَ قَالَ لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ « لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً »
Dari Abu Bakar berkata: Ketika Rasulullah Saw. mengetahui bahwa masyarakat persia mengangkat putri kisra sebagai penguasa mereka, beliau bersabda, “Tidak akan beruntung satu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan.”
Dan cerita selengkapnya seperti yang diterangkan Imam Ibnu Hajar dalam kitabnya adalah bahwa, nama raja perempuan tersebut adalah Buran binti Syirwaih bin Kisra bin Birwiz, peristiwa itu terjadi ketika Syirwaih hendak membunuh ayahnya (Kisra), sedangkan ayahnya mengetahui atas niat jahat anaknya yang hendak membunuhnya, maka dia mencari cara untuk bisa membunuh anaknya setelah dia mati. Maka dia (Kisra) membuat racun yang setelah dia mati dapat mengenai anaknya (Syirwaih), dan akhirnya matilah anaknya tersebut, enam bulan setelah kematian ayahnya. Dan ketika Syirwaih mati, maka dia tidak meninggalkan seorangpun saudara laki-laki, semua telah dibunuh karena takut akan merampas kekuasaannya, sedangkan ahli warisnya tidak suka jika tampuk kepemimpinan negara jatuh pada selain keluarganya sendiri, maka mereka mengangkat seorang perempuan yaitu Buran (anak dari Syirwaih).
Jadi hadis tersebut tidak dapat dipahami berlaku umum, tetapi harus dikaitkan dengan konteks pengucapannya, yakni berkenaan dengan pengangkatan putri penguasa tertinggi Persia sebagai pewaris kekuasaan ayahnya yang sudah mangkat. Bagaimana mungkin dinyatakan bahwa semua penguasa tertinggi yang berjenis kelamin perempuan pasti akan gagal? Bukankah al-Qur’an menguraikan betapa bijaksananya Ratu Saba’ yang memimpin wilayah yaman?.
Kemudian, bukankah dalam kenyataan dahulu dan dewasa ini, sekian banyak perempuan yang memimpin berbagai negara yang berhasil dalam kepemimpinannya, melebihi keberhasilan dan sekian banyak kepala negara laki-laki? Cleopatra (51-30 SM) di Mesir adalah seorang perempuan yang demikian kuat, “ganas”, dan juga cerdik. Demikian juga dengan Semaramis (sekitar abad ke-8 SM). Dalam istana para penguasa dinasti-dinasti Arab dan Turki, dikisahkan bahwa sering kali yang mempengaruhi jalannya pemerintahan adalah ibu para penguasa, atau bahkan “harim” mereka. Syajarat ad-Dur (1257 M) misalnya, permaisuri al-Malik as-Sholih al-Ayyubi (1206-1249 M) menjadi ratu Mesir setelah suaminya wafat dan anaknya terbunuh. Dia kemudian menikah dengan perdana menterinya dan pendiri Dinasti Mamalik, lalu “menyerahkan” kekuasaan pada suaminya itu. Namun, dibalik layar dialah yang sebenarnya memimpin dan berkuasa. Pada masa modern ini, sebutlah sebagai contoh Margaret Tathcher di Inggris, Indira Gandhi di India, Benazir Bhutto di Pakistan, dan masih banyak lagi.
Perkara yang sama juga dialami oleh pemimpin laki-laki. Di samping terdapat pemimpin laki-laki yang sukses, tentu banyak juga pemimpin laki-laki yang gagal. Dengan demikian, kesuksesan dan kegagalan seorang pemimpin tidaklah berkaitan dengan soal perkelaminan, melainkan pada kapasitas dan akseptabilitas yang dimilikinya.
Sedangkan di sisi lain, menurut al-Qur’an, musyawarah hendaknya merupakan salah satu prinsip pengelolaan bidang-bidang kehidupan bersama, termasuk kehidupan politik, dalam arti setiap warga negara dalam kehidupan kebersamaannya dituntut untuk senantiasa mengadakan musyawarah. Karena itu al-Qur’an memerintahkan Nabi Saw. bermusyawarah, di samping memuji kaum muslimin dengan berfirman: “Urusan mereka (selalu) diputuskan dengan musyawarah”. Ayat ini tidak membatasi kegiatan musyawarah hanya pada lelaki saja. Karena itu, hal ini dapat menjadi dasar untuk membuktikan adanya hak berpolitik bagi siapapun lelaki ataupun perempuan.
Bisa dipahami kalau ulama dan pemikir terdahulu tidak membenarkan perempuan menduduki jabatan kepala negara, tetapi hal ini lebih disebabkan oleh sosio kultural waktu itu, yang membuat mereka perempuan belum siap untuk menduduki jabatan, jangankan kepala negara, menteri, bahkan kepala daerah pun tidak. Perubahan fatwa dan pandangan pastilah terjadi akibat perubahan kondisi dan juga situasi, dan karena itu tentulah tidak relevan lagi melarang perempuan terlibat dalam politik praktis atau bahkan memimpin negara.
Hendaknya permasalahan tersebut harus dilihat dari sudut yang proporsional dan lebih bijak, tidak saling melihat dari dua sisi biner, yang akan selalu mengakibatkan timbulnya oposisi biner dan akhirnya pendapat yang keluar bukan pendapat yang logis dan dapat dipertanggung jawabkan secara intelektual, akan tetapi statemen-statemen yang tidak jelas yang berdasar atas kebencian masing-masing kelompok.

Diskusi Tawaran
Dari diskusi ini, setidaknya penulis berpendapat bahwa tidak ada dalil yang mengatakan pelarangan keterlibatan perempuan dalam bidang politik, ataupun tidak ada ketentuan agama yang membatasi bidang tersebut hanya untuk kaum lelaki. Akan tetapi, justru banyak ditemukan ayat dan juga hadis yang dapat dijadikan dasar pemahaman untuk menetapkan adanya hak-hak tersebut.
Salah satu ayat yang berkaitan dengan hak-hak politik kaum perempuan adalah surat at-Taubah ayat 71 :
و المؤمنون والمؤمنات بعضهم أولياء بعض، يأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر ويقيمون الصلوة ويؤتون الزكوة ويطيعون الله ورسوله، أولئك سيرحمهم الله، إن الله عزيز حكيم.
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Secara umum ayat di atas dipahami sebagai gambaran tentang kewajiban melakukan kerja sama antara lelaki dan perempuan untuk berbagai bidang kehidupan. Pengertian kata awliya’ mencakup kerja sama, bantuan, dan penguasaan. Sedangkan pengertian yang terkandung dalam frase “menyuruh mengerjakan yang makruf” mencakup segala segi kebaikan dan perbaikan kehidupan, termasuk memberikan nasihat atau kritik kepada penguasa, sehingga setiap lelaki dan perempuan Muslim hendaknya mengikuti perkembangan sosial kemasyarakatan disekitarnya, agar mampu memiliki kepekaan sisoal sehingga mampu memberikan saran dan nasihat untuk berbagai bidang kehidupan yang lebih baik.
Kemudian ada juga hadis sabda Nabi Saw. yang berbunyi :
من لم يهتم بأمر المسلمين فليس منهم
“Barang siapa yang tidak memperhatikan kepentingan (urusan) kaum muslim, maka ia tidak termasuk golongan mereka (muslim)”.
Hadis ini mencakup kepentingan atau urusan kaum Muslim yang dapat menyempit ataupun meluas sesuai dengan latar belakang dan tingkat pendidikan seseorang, termasuk bidang politik.
Dalam ayat lain al-Qur’an juga mengajak umat manusia baik laki-laki ataupun perempuan agar bermusyawarah, melalui “pujian Tuhan kepada mereka yang selalu melakukannya”.
وأمرهم شورى بينهم
“Urusan mereka (selalu) diputuskan dengan musyawarah”. (QS. Al-Syura, ayat 38)
Ayat ini dijadikan oleh banyak ulama sebagai dasar bahwa perempuan ataupun laki-laki mempunyai hak dalam berpolitik yang sama. Syura (bermusyawarah) menurut al-Qur’an hendaknya menjadi salah satu prinsip pengelolaan bagi bidang-bidang kehidupan bersama, termasuk dalam kehidupan berpolitik. Sejarah Islam menunjukkan betapa kaum perempuan tanpa terkecuali terlibat dalam berbagai bidang kemasyarakatan. Al-Qur’an menguraikan permintaan para perempuan di zaman Nabi Saw. untuk melakukan bai’at (janji setia kepada Nabi dan ajarannya).
Dari peristiwa tersebut, sebagian ulama justru menjadikan peristiwa bai’at tersebut sebagai bukti atas kebebasan bagi perempuan untuk menentukan pandangan dan juga pendapat mereka yang berkaitan dengan aspek-aspek kehidupan dan juga hak untuk mempunyai pandangan yang berbeda dengan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, dan bahkan berbeda dengan pandangan suami dan ayah mereka sendiri.
Dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh setiap orang, termasuk kaum wanita, mereka mempunyai hak untuk bekerja dan menduduki jabatan-jabatan penting sesuai dengan kapasitas yang mereka miliki dan mampu mereka capai. Jadi perempuan adalah Syaqo’iq Ar-Rijal (saudara sekandung kaum laki-laki), sehingga kedudukan serta hak-haknya dapat disejajarkan. Kalaupun ada perbedaan hanyalah akibat fungsi dan juga tugas utama yang dibebankan Tuhan kepada masing-masing jenis kelamin, sehingga perbedaan yang ada tidaklah mengakibatkan kelebihan satu dengan yang lainnya :
ولا تتمنوا ما فضل الله به بعضكم على بعض، للرجال نصيب مما اكتسبوا وللنساء نصيب مما اكتسبن واسئلوا الله من فضله إن الله كان بكل شيئ عليما.
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.
Dekonstruksi pemahaman konsep kepemimpinan oleh para ulama terdahulu, dengan pemahaman baru yang lebih relevan dan sesuai dengan tuntutan zaman merupakan suatu tuntutan yang harus dipenuhi. Karena perbedaan sisio kultural yang terus menuntut kita untuk bisa menyesuaikan diri dan menyikapinya dengan lebih arif.

Refleksi Penutup
Kami menaruh harapan besar atas adanya dekonstruksi pemahaman yang lebih proporsional dan juga sejalur dengan nafas perjuangan Islam dalam memahami teks-teks agama yang misoginis. Sehingga memunculkan pemahaman baru yang tidak literer, akan tetapi bisa lebih menyikapi teks-teks agama secara holistik dalam kerangka Islam tentunya.
Bukan berarti antipati terhadap pemikiran-pemikiran ulama terdahulu yang terkesan membatasi ruang gerak perempuan dan juga terkesan melanggengkan budaya patriarkis, akan tetapi suatu hukum itu berputar seiring dengan perkembangan zaman yang bergantung kepada alasan hukum tersebut disematkan (al-hukmu yaduru ma’a al-‘illati, wujudan wa adaman), Bisa jadi pendapat ulama-ulama terdahulu itu sangat berkaitan erat dengan kondisi sosio kultural waktu itu, yang memang melihat perempuan belum waktunya dan belum mampu untuk tampil diruang publik sehingga muncullah hukum tersebut, dan bukan tidak mungkin, seumpama kita berada pada masa dan kedudukan mereka (para ulama), maka kita akan memberikan hukum dan juga keputusan yang sama seperti halnya keputusan dan hukum yang mereka hasilkan dengan alasan dan juga pertimbangan yang sama juga.
Jadi, mempertahankan hukum secara stagnan dengan menutup mata terhadap perkembangan kenyataan dan tuntutan-tuntutan baru yang bertujuan demi kebaikan hidup beragama adalah tidak bijak, karena akan semakin terpental dari arus besar tuntutan zaman. Akan tetapi menyikapi perkembangan itu dengan lebih arif dengan melihat perkembangan sosio kultural yang ada, agaknya merupakan tindakan yang lebih bijak.
Namun ada hal penting yang harus dicatat, bahwa semangat ini jangan sampai dilandasi dengan semangat kebencian masing-masing kelompok terhadap kelompok lain dan juga klaim pemilik kebenaran hakiki dan memastikan kesalahan pendapat lain. Artinya hanya melihat permasalahan tersebut dari sudut pandang oposisi biner, yang selalu akan menelorkan buah-buah kebencian dan antipati terhadap golongan lain.
Semangat persamaan ini tentulah harus diiringi dengan action dalam dunia nyata, tidak hanya menggembar-gemborkan persamaan dan emansipasi terhadap kelompok lain, tetapi kenyataannya tidak sebanding dengan kerasnya suara yang diteriakkan. Jadi siaplah menerima kenyataan bila ternyata perempuan belum sepenuhnya siap untuk tampil di ruang publik.
Setelah persamaan persepsi sudah kita capai, kesempatan berpolitik bagi perempuan juga telah terbuka lebar, maka hasil akhirnya dikembalikan kepada individual masing-masing untuk mencapai hasilnya, tanpa ada sangkut-pautnya dengan perkelaminan dan tidak lagi mengkambing hitamkan pada teks secara keliru.

Wallahu A’lam bi al-Shawab.

Komentar

Postingan Populer