TAFSIR AL-AZHAR HAMKA
Oleh:
Labib Syauqi
“Nan indak lapuak dek ujan, indak
lakang dek paneh”
(Yang tak lapuk oleh hujan, dan tak lekang oleh panas)
Kata-kata diatas mencoba menggambarkan situasi dan keadaan semangat
keberagamaan yang terdapat di tanah minang. Dari kata tersebut dikehendaki untuk
mewakili terjadinya ketegangan kulrural keberagamaan di tanah minang di satu
sisi, tapi disisi lain disana telah terjadi perkembangan semangat bergama yang
cukup tinggi, terbukti dengan telah terjadinya diskusi-diskusi panjang tentang
interpretasi teks keagamaan kedalam implementasi praktek budaya keseharian.
Tafsir al-Azhar karya HAMKA[1]
ini adalah salah satu karya tafsir yang ikut merespon terhadap keadaan sosio
kultural pada waktu itu dan juga untuk tujuan perkembangan syi’ar Islam
secara luas. Dengan Hamka sebagai penulisnya, yang merupakan seorang ulama yang
punya kredibilitas tinggi dan wawasan yang luas, ditambah lagi dengan konteks
sosial politik Indonesia waktu itu, dan dengan latar belakang dan sejarah
penulisan yang kopleks, akan sangat menarik untuk kita bahas Tafsir Al-Azhar
karya Haji Abdul Malik Karim Amrullah kali ini.
I.
Mengenal HAMKA
a.
Riwayat Hidup
Haji Abdul Malik bin Haji Abdul Karim Amrullah atau biasa disebut “Hamka”
dilahirkan disebuah desa bernama tanah sirah, dalam negeri sungai batang, di
tepi danau maninjau. Pada tanggal 13 Muharram 1362 H bertepatan dengan 16
Februari 1908.[2]
Pendidikan yang ia terima mulai dari rumah, sekolah, diniyah dan surau. Dalam
hal ini keinginan orang tuanya yaitu Abdul Karim Amrullah berpengaruh dalam
proses pendidikannya. Keinginan ayahnya menjadikan Hamka seorang ulama, bisa
dilihat dari perhatian penuh ayahnya terhadap keinginan belajar ngajinya. Hamka
kecil tidak ada tanda tanda pada dirinya bahwa kelak nanti dia akan menjadi
ulam besar di Indonesia, terbukti hamka kecil sering merasa tertekan oleh cita-cita
ayahnya itu.[3]
Tertunjang oleh dasar dasar ilmu yang ia dapatkan sewaktu kecil yaitu berupa
ilmu alat seperti nahwu dan shorof, fiqih, dan Tafsir al-Qur’an yang ia
dapatkan sewaktu dia belajar di Thawalib School.[4]
Buku tafsir al-Qur’an yang dipelajari di tingkat pemula pada setiap
pesantren, madrasah atupun surau ialah Tafsir al-Jalalain. Demikian juga
dengan apa yang diperoleh Hamka ketika masa awal mempelajari Tafsir al-Qur’an.[5] Kemudian
tambahan untuk Tafsir al-Qur’an diperoleh dari Ki Bagus Hadikusumo, seorang
tokoh yang pernah mondok di salah satu pesantren di Yogyakarta. Pertemuan itu
terjadi pada tahun antara 1924-1925. jadi usia Hamka waktu itu adalah 17 tahun
sedangkan gurunya berusia 34 tahun, karena Ki Bagus Hadikusumo dilahirkan pada
tanggal 24 November 1890.[6] Oleh
karena itu pelajaran tafsir yang diperoleh Hamka dari Ki Bagus Hadikusumo
adalah pelajaran tafsir lanjutan.
Dari segi kualifikasi keilmuan dalam bidang tafsir al-Qur’an yang
dimiliki hamka, tidak banyak data yang dapat menjelaskannya. Apakah dia belajar
ilmu ilmu al-Qur’an , ilmu Ma’any, ilmu Bayan, ilmu Ushul
Fiqih, ilmu mustholah hadis dan sebagainya seperti ilmu-ilmu yang
harus dikuasai oleh seorang penafsir. Namun menurut penuturan Hamka, pada
dasarnya semua ilmu tersebut ala kadarnya telah dipelajarinya sebagimana ia
ungkapkan dalam muqaddimah tafsirnya yaitu tafsir al Azhar.[7]
Kondisinya yang semakin tua dan dengan kepadatan aktifitasnya memaksa
Hamka untuk dirawat di rumah sakit secara serius. Setelah sembuh dari sakitnya,
Hamka lebih memutuskan untuk mengurangi aktifitasnya di luar rumah dan lebih
suka untuk menerima masyarakat untuk berkonsultasi mengenai masalah-masalah
keagamaan di kediamannya.[8] Dan dua
bulan setelah Hamka mengundurkan diri sebagai ketua umum MUI, ia masuk rumah
sakit. Setelah kurang lebih satu minggu dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina,
tepat pada tanggal 24 Juli 1981 ajal menjemputnya untuk kembali menghadap ke
hadirat-Nya dalam usia 73 tahun.[9]
b.
Karir Intelektual
Sejak pertemuannya dengan gurunya di yogyakarta itu, maka tahun-tahun
berikutnya Hamka tampil menjadi seorang penganjur Islam, baik melaui
Muhammadiyah maupun dakwah dan tulisan-tulisannya. Kesempatan dakwah itu
terbuka lebar ketika Hamka tiba di Jakarta pada tahun 1949 dan diterima sebagai
anggota koresponden surat kabar Merdeka dan majalah Pemandangan.
Kemudian bidang politik praktis dimasukinya melalui pemilihan umum pada tahun
1955 dan Hamka terpilih menjadi anggota konstituante dari Partai Masyumi. Dalam
lembaga ini, sesuai dengan kebijakan Masyumi, Hamka maju dengan usul mendirikan
negara yang berdasarkan atas al-Qur’an dan Sunnah.[10]
Pada masa Orde Baru, Hamka sering dipercaya pemerintah untuk menghadiri
pertemuan-pertemuan negara Islam, di antaranya Konferensi Negara-negara Islam
di Rabat (1968), Muktamar Masjid di Mekah (1976) juga seminar tentang Islam dan
peradaban di Kuala Lumpur Malaysia. Dan dua bulan sebelum beliau wafat, Hamka
yang tercatat sebagai ketua Majlis Ulama Indonesia, menyatakan pengunduran
dirinya disebabkan adanya perbedaan persepsi antara MUI dengan pemerintah
tentang perayaan Natal bersama kaum Kristen dan Islam.
MUI memfatwakan haram hukumnya bagi umat Islam menghadiri perayaan Natal
bersama dengan umat Kristen, sementara pemerintah memandang sebaliknya.
Sehingga pada suatu pertemuan antara MUI dengan pemerintah, Menteri Agama yang
waktu itu dijabat oleh Alamsyah ratu Prawiranegara mengancam akan mengundurkan
diri sebagai Menteri Agama jika MUI tidak mencabut fatwanya tersebut. Namun
Hamka memandang bahwa Menteri Agama tidak perlu mengundurkan diri, karena MUI
akan mencabut fatwa tersebut dengan catatan bahwa pencabutan fatwa tersebut
bukan berarti membatalkan sahnya fatwa yang telah dikeluarkan itu.[11]
Dalam usia 73 tahun, Hamka tercatat sebagai seorang tokoh besar yang
telah banyak memberikan kontribusinya bagi negara dan bangsa Indonesia,
khususnya umat Islam Indonesia. Baik dalam bentuk peranan aktif dalam
masyarakat maupun dalam bentuk karya ilmiah yang mempunyai nilai tinggi.
c.
Karya-karya
Hamka sebagai salah seorang tokoh yang lahir dari latar belakang
lingkungan pembaharu dan berpikiran maju dalam pemahaman keagamaan telah banyak
melahirkan karya tulis tentang islam. Karya tulisnya tersebar dan memasuki
berbagi bidang ilmu, yaitu tafsir, tasawuf, teologi, sejarah islam dan tak
terkecuali sastra.
1.
Karangan Hamka di bidang sastra :
a.
Di Bawah Lindungan Ka’bah (1935)
b.
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
c.
Merantau di Deli
d.
Di dalam Lembah Kehidupan (1939)
e.
Dijemput Mamaknya (1939)
f.
Keadilan Ilahi (1939)
g.
Tuan Direktur (1939)
h.
Terusir (1939)
i.
Margaretta Gauthier (1940)
2.
Karangan Hamka di Bidang Keagamaan
:
a.
Pedoman Muballigh Islam (1937)
b.
Agama dan Perempuan (1939)
c.
Tasawuf Modern (1939)
d.
Falsafah Hidup (1939)
e.
Lembaga Hidup (1940)
f.
Lembaga Budi (1946)
Kemudian pada tahun 1945, Hamka Menerbitkan karya karyanya di bidang
politik dan budaya yaitu :
a.
Negara Islam
b.
Islam dan Demokrasi
c.
Revolusi Pikiran
d.
Revolusi Agama
e.
Adat Minagkabau menghadapi
Revolusi
f.
Dari Lembah Cita-cita
Hijrahnya Hamka dari Minangkabau ke Jakarata pada tahun 1949, dan diterima
sebagi Koresponden surat kabar Merdeka, majalah Pemandangan. Dan
pada saat itu juga Hamka menulis autobiografinya Kenang-kenangan hidup,
dan sekembalinya dari Amerika, Hamka menerbitkan buku perjalanan empat bulan di
Amerika, sebanyak dua jilid.[12]
II.
Mengenal Kitab Tafsir
Al-Azhar
a.
Kondisi Lokal Nasional Dan
Internasional
Di penghujung abad ke 19 dan pada awal abad ke 20 masyarakat ranah minang
sempat berada dalam ketegangan sosial dalam bentuk polarilasi kaum tua, kaum
muda, serta diramu dengan adanya konflik
dengan kaum adat dan pemerintah kolonial belanda. Ketegangan tersebut terjadi di satu pihak karena ada
perbedaan visi tentang praktek
keagamaan yang telah mentradisi di masyarakat, seperti masalah usalli,
dalam shalat, kenduri di rumah orang yang mati , berdiri ketika berjanzi,
mentalqin mayat di atas kubur yang menjadi polemik keagamaan di tanah minang
kabau.
Praktek keagamaan tersebut sangat dipelihara oleh kaum tua, sedangkan
kaum muda berpendapat bahwa praktek keagamaan tersebut diatas merupakan praktek
beragama yang tidak berdasar dan bahkan dikatakan melenceng dari ajaran islam
yang sebenarnya. Dan atas adanya kritik-kritik yang dilancarkan kaum muda, kaum
tua merasa terdesak dari posisi sentral mereka di tengah masyarakat sehingga
menjadi ulama “pinggiran”. Dan di tengah masyarakat seperti inilah Haji Abdul
Malik bin Haji Abdul Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan sebutan HAMKA
dilahirkan.[13]
Pada peta pemikiran Islam, sebagaimana yang digambarkan oleh Deliar Noer,
Hamka menempati posisi penting. Pada peta tersebut Hamka berada pada periode
masa jajahan yaitu tahun 1900-1945 dan masa merdeka II tahun 1966-1985. dalam
kaitannya dengan tafsir al-Azhar maka aktifitas Hamka yang berpengaruh pada
tafsirnya, diperkirakan berasal dari penghayatannya terhadap perjalanan
hidupnya. Sejak menerima pelajaran tafsir al-Qur’an dari KI Bagus Hadikusumo di
Yogyakarta pada tahun 1924-1925.[14] Maka
Hamka pada peta perkembangan pemikiran Islam di Indonesia, dia mengambil posisi
dan bergerak pada bidang agama, sosial budaya, dan politik. Hal-hal ini yang
akan muncul dan mewarnai muatan lokal yang terangkat dalam tafsirnya al-Azhar.
Pada peta perkembangan Islam internasional, Hamka berada pada geliat
atmosfir gerakan pemikiran pembaharuan Islam yang digawangi oleh Muhammad Abduh
waktu itu. Karena ayah Hamka yaitu Haji Abdul Karim Amrullah adalah termasuk
tokoh yang ikut mengibarkan panji-panji kebangkitan di daerah Minang, bersama
dengan Syeh Taher Tajuddin dan Syeh Muhammad Djamil Djambek. Yang mana waktu
itu Syeh Taher Tajuddin bersama juga dengan Haji Abdul Karim Amrullah mulai
menyebarkan kegiatan dakwahnya melalui majalah al-Imam, yang memuat
artikel-artikel keislaman, juga melaporkan peristiwa-peristiwa penting yang
terjadi di dunia Islam, dan lewat majalah ini juga pemikiran-pemikiran Muhammad
Abduh disebar luaskan[15].
b.
Proses Penulisan
Tepatnya tahun 1959, Hamka mulai mengarang Tafsir al-Azhar yang berasal
dari pengajian kuliah shubuh yang di berikan Hamka di Masjid Agung al-Azhar,
ketika itu Masjid itu belum bernama Masjid al-Azhar.[16] Tak
lama setelah berfungsinya Masjid Al-Azhar[17] suasana
politik yang digambarkan terdahulu mulai muncul. Agitasi pihak PKI dalam
mendiskreditkan orang-orang yang tidak sejalan dengan kebijaksanaan mereka
semakin meningkat, Masjid Al-Azhar pun tidak luput dari kondisi tersebut. Masjid
ini dituduh menjadi sarang “Neo Masyumi” dan “Hamkaisme”.
Keadaan itu bertambah memburuk ketika pada penerbitan no. 22 tahun 1960,
Panji Masyarakat memuat artikel Muhammad Hatta “Demokrasi Kita”. Hamka sadar
betul akibat apa yang akan diterima oleh Panji Masyarakat bila memuat artikel
tersebut. Namun hal itu dipandang Hamka sebagai perjuangan memegang amanah yang
dipercayakan oleh Mohammad Hatta kepadanya.
Sebagaimana kekhawatiran di atas, ijin terbit Panji Masyarakat dicabut.
Caci maki dan fitnah kaum komunis terhadap kegiatan Hamka di Masjid Al-Azhar
bertambah meningkat. Atas bantuan Jenderal Sudirman dan Kolonel Muchlas Rowi,
diusahakan penerbitan majalah Gema Islam. Walaupun secara formal pimpinan Gema
Islam disebut Jenderal Sudirman dan Kolonel Muchlas Rowi, akan tetapi pimpinan
aktifnya adalah Hamka. Ceramah-ceramah Hamka sehabis shalat shubuh di masjid Al-Azhar
yang mengupas tafsir al-Qur’an terus dilakukan dan dimuat secara teratur dalam
majalah ini dan berjalan hingga januari 1964, walupun secara mental terus
menerus mendapat tekanan dari PKI yang tidak sejalan dengan kebijakan mereka.
Pada hari Senin 12 Ramadhan 1383 H yang bertepatan dengan 27 januari
1964, sesaat setelah Hamka memberikan pengajian di hadapan lebih kurang 100 orang
kaum Ibu di Masjid Al-Azhar, ia ditangkap oleh penguasa Orde Lama lalu
dijebloskan kedalam tahanan. Sebagai tahanan politik Hamka ditempatkan di
beberapa rumah peristirahatan di kawasan Puncak, yakni bungalow Herlina,
Hajuna, bungalow Brimob Megamendung dan kamar tahanan polisi Cimacan. Di rumah
tahanan inilah Hamka mempunyai kesempatan yang cukup untuk menulis tafsir
Al-Azhar. Oleh karena kesehatannya mulai menurun, Hamka kemudian dipindahkan ke
Rumah Sakit Persahabatan Rawamangun Jakarta. Selama perawatan di rumah sakit
ini Hamka meneruskan penulisan tafsirnya.[18]
Akhirnya setelah jatuhnya penguasa Orde lama dan kemudian Orde Baru
bangkit di bawah pimpinan Soeharto dan kekuatan PKI pun telah ditumpas, Hamka
dibebaskan dari tuduhan. Pada tanggal 21 Januari 1966 Hamka kembali menemukan
kebebasannya setelah mendekam dalam tahanan selama kurang lebih dua tahun,
dengan tahanan rumah dua bulan dan tahanan kota dua bulan. Kesempatan inipun
digunakan oleh Hamka untuk memperbaiki serta menyempurnakan tafsir Al-Azhar
yang sudah pernah dia tulis di beberapa rumah tahanan sebelumnya.[19]
c.
Kondisi Kitab
Hal pertama yang kita ketahui dan menarik perhatian kita dari sebuah
karya tafsir adalah namanya. Mengenai asal-usul nama dari tafsir al-Azhar ada
dua alasan yang saling berkaitan mengenai pemakaian nama al-Azhar untuk
tafsirnya. Pertama, nama itu diambil dari tempat dimana tafsir ini
diperkenalkan dan diajarkan pertama kali, yaitu di Masjid al-Azhar. Kedua,
adalah sebagai bentuk “balas budi” atas gelar kehormatan yang diberikan
Universitas AL-Azhar. Gelar ini bisa dikatakan gelar ilmiah tertinggi dari
al-Azhar yaitu Ustadziah Fakhriyah atau sama dengan Doctor Honoris
causa. Lebih istimewanya Hamka merupakan orang pertama di dunia yang
mendapatkan gelar itu dari Universitas Al-Azhar.[20]
Motivasi penulisan al-Azhar menurut Hamka, didorong oleh dua hal. Pertama,
bangkitnya minat angkatan muda Islam di tanah air Indonesia dan daerah-daerah
yang berbahasa Melayu yang hendak mengetahui isi al-Qur’an di zaman sekarang,
padahal mereka tidak mempunyai kemampuan mempelajari bahasa Arab. Kedua,
medan dakwah para muballigh yang memerlukan keterangan agama dengan sumber yang
kuat dari al-Qur’an, sehingga diharapkan tafsir ini bisa menjadi penolong bagi
para muballigh dalam menghadapi bangsa yang mulai cerdas.[21]
Penerbitan pertama tafasir al-Azhar diterbitkan oleh penerbit Pembimbing
Masa, pimpinan H. Mahmud. cetakan pertama oleh Pembimbing Masa, merampungkan
penerbitan dari juz pertama sampai juz keempat. Kemudian diterbitkan pula Juz
30 dan Juz 15 sampai dengan Juz 29 oleh Pustaka Islam Surabaya. Dan akhirnya
Juz 5 sampai dengan Juz 14 diterbitkan oleh Yayasan Nurul Islam Jakarta.[22]
III.
Karakteristik Penafsiran
Al-Azhar
a.
Sumber-sumber Rujukan
Dalam memilih referensi hamka bersifat moderat, tidak fanatik terhadap
sartu karya tafsir dan tidak terpaku pada satu mazhab pemikiran. Hamka mengutip
dari berbagai kitab bukan saja kitab tafsir melainkan kitab hadis dan
sebagainya yang menurutnya penting untuk dikutip. Akan tetapi ada beberapa
kitab tafsir yang diakuinya mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
tafsirnya. Bukan saja dari segi
pemikiran akan tetapi haluan serta coraknya. Pertama Tafsir al-Manar karya
Sayid Rasyid Ridha yang notabene berdasarkan pada ajaran tafsir gurunya
Syaikh Muhammad Abduh. Selain itu ada Tafsir al-Maraghi, Tafsir
al-Qasimi, dan Tafsir Fi Zilal al-Qur’an karya Sayid Qutub. Selain
keempat kitab tafsir ini Hamka juga mengutip pendapat dari berbagai kitab
tafsir lainnya.[23]
b.
Metode Tafsir
Merujuk pada pemetaan Islah Gusmian mengenai metode penafsiran. Maka
terdapat paling tidak tiga metode yang dipakai para penafsir dalam menyajikan
karya tafsirnya. Pertama, klasifikasi metode tafsir berdasarkan sumber
penafsiran. Kedua, klasifikasi metode penafsiran berdasarkan cara
penyajian. Dan Ketiga, klasifikasi metode berdasarkan keumuman dan
kekhususannya tema.[24]
Pertama, berdasarkan pemikiran tersebut, kemudian melihat dari isi
al-azhar maka Tafsir al-Azhar jelas menggabungkan antara riwayah (ma’tsur) dan
pemikiran (ra’yi). Dalam menafsirkan al-Qur’an, Hamka pertama-tama mengutip beberapa
pendapat para ulama mengenai maksud kata (etimologis) atau pendapat ulama
mengenai permasalahan yang akan dibahas kemudian beliau menjelaskan
pemikirannya berdasarkan pemikiran ulama tersebut. Akan tetapi tidak jarang ia
mengutip sebuah pendapat yang ia sendiri tidak setuju dengannya, dengan tujuan
perbandingan.[25]
Kedua, klasifikasi metode berdasarkan cara penyajian. Berdasarkan
pemetaan ini maka dapat dikatakan bahwa Tafsir al-Azhar mengambil bentuk
Tahlili. Bentuk ini menitik beratkan pada uraian-uraian penafsiran secara
detail, mendalam, dan komprehensif. Terma-terma kunci setiap ayat dianalisis
untuk menemukan makna yang tepat dan sesuai dalam suatu konteks ayat. Setelah
itu penafsir menarik kesimpulan dari ayat yang ditafsirkan, yang sebelumnya
ditelisik aspek asbab an-nuzul dengan kerangka analisis yang beragam,
seperti analisis sosiologis, antropologis dan yang lain.[26]
Ketiga, klasifikasi berdasarkan keumuman dan kekhususan tema.
Dilihat dari klasifikasi terakhir ini maka seluruh karya tafsir bisa dibagi
kedalam dua bagian yaitu tafsir umum dan tafsir tematis. Tafsir umum adalah
tafsir yang tidak mengambil satu tema sebagai acuan penafsiran, sebaliknya
dalam tafsir tematis, seorang penafsir berangkat dari sebuah tema untuk memulai
penafsiran. Berdasarkan pemetaan ini dapat kita katakan bahwa Tafsir al-Azhar masuk
dalam kategori tafsir dengan tema umum.
c.
Corak Penafsiran
Menurut Howard M. Federspiel, keunggulan tafsir Hamka adalah dalam
menyingkap tentang sejarah dan peristiwa-peristiwa kontemporer.[27] Atas
dasar ini pula tafsir al-Azhar dapat dikategorikan sebagai tafsir yang bercorak
adab al-ijtima’i. dinamakan adabi dengan hipotesa bahwa Hamka
adalah seorang pujangga yang menggeluti sastra sehingga setiap karyanya
dipengaruhi nilai-nilai sastra, dan juga banyak membahas
permasalahan-permasalahan sosial yang terjadi, sedangkan ijtima’I karena
dalam tafsirnya Hamka tidak hanya menyajikan potret kehidupan bangsa Arab abad
ke-6. Akan tetapi lebih dari itu Hamka juga membawa permasalahan kontemporer
kedalam tafsirnya.
d.
Sistematika Penafsiran
Ada beberapa
langkah-langkah yang ditempuh oleh Hamka dalam proses kegiatannya dalam
menafsirkan dalam Tafsir al-Azhar.
1.
Menuliskan muqaddimah pada
setiap awal Juz
Hamka secara konsisten menyajikan muqaddimah pada setiap Juz baru sebelum
beranjak penafsiran. Yang isinya merupakan resensi Juz yang akan dibahas. Di
samping itu Hamka juga mencari korelasi (munasabah) antara Juz yang
sebelumnya dengan Juz yang akan dibahasnya.
2.
Menyajikan beberapa ayat di
awal pembahasan secara tematik
Walaupun Hamka menggunakan metode tahlili dalam menafsirkan al-Qur’an
akan tetapi Hamka tidak menafsirkan ayat perayat seperti yang kita lihat dalam
bebrapa tafsir klasik. Akan tetapi ia membentuk sebuah kelompok ayat yang
dianggap memiliki kesesuaian tema. Sehingga memudahkan kita mencari ayat-ayat
berdasarkan tema, sekaligus memahami kandungannya.
3.
Mencantumkan terjemah dari
kelompok ayat
Untuk memudahkan penafsiran, terlebih dahulu Hamka menerjemahkan ayat
tersebut kedalam bahasa Indonesia agar lebih mudah dipahami.
4.
Menjauhi pengertian kata
Hamka menjauhkan dari berlarut-larut dalam uraian panjang mengenai
pengertian kata, selain hal tersebut dianggap tidak terlalu cocok untuk masyarakat
Indonesia yang notabene banyak yang tidak memahami bahasa Arab, Hamka menilai
pengertian tersebut telah tercakup dalam terjemah.
5.
Memberikan uraian
terperinci
Setelah
menerjemahkan ayat Hamka memulai penafsirannya terhadap ayat tersebut dengan
luas dan terkadang dikaitkan dengan kejadian pada zaman sekarang, sehingga
pembaca dapat menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman sepanjang masa.
e.
Contoh Penafsiran
Dalam kesempatan kali ini, kami akan mengambil contoh penafsiran Hamka
dalam Surat An-Nisa’ Ayat 34 yang membahas tentang kedudukan laki-laki atas
perempuan, dan bagaimana Hamka menafsirkan Ayat ini yang oleh sebagian kelompok
Ayat ini ditafsirkan dan dianggap bias Gender.
A%y`Ìh9$# cqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ @Òsù ª!$# óOßgÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4
àM»ysÎ=»¢Á9$$sù ìM»tGÏZ»s% ×M»sàÏÿ»ym É=øtóù=Ïj9 $yJÎ/ xáÏÿym ª!$# 4
ÓÉL»©9$#ur tbqèù$srB Æèdyqà±èS ÆèdqÝàÏèsù £`èdrãàf÷d$#ur Îû ÆìÅ_$ÒyJø9$# £`èdqç/ÎôÑ$#ur (
÷bÎ*sù öNà6uZ÷èsÛr& xsù (#qäóö7s? £`Íkön=tã ¸xÎ6y 3
¨bÎ) ©!$# c%x. $wÎ=tã #ZÎ62 ÇÌÍÈ
“Laki-laki adalah pemimpin atas perempuan-perempuan, lantaran Allah
Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas yang sebahagian (wanita),
dan dari sebab apa yang mereka belanjakan dari harta benda mereka. Maka perempuan
yang baik-baik, ialah yang taat, yang memelihara hal-ihwal yang tersembunyi, dengan
cara yang dipeliharakan Allah. Dan perempuan-perempuan yang kamu takut
kedurhakaan mereka, maka ajarilah mereka, dan memisahlah dari mereka pada
tempat-tempat tidur, dan pukullah mereka. Tetapi jika mereka telah taat kepada
kamu, janganlah kamu cari-cari jalan buat menyusahkan mereka. Sesungguhnya
Allah adalah Maha Tinggi, lagi Maha Besar”.
Di dalam ayat ini tidak langsung datang perintah mengatakan wahai
laki-laki, diwajibkan kamu jadi pemimpin. Atau wahai perempuan, kamu mesti
menerima pimpinan. Akan tetapi yang diterangkan adalah terlebih dahulu adalah
kenyataan. Walaupun tidak ada perintah, namun kenyataan memang laki-lakilah
yang memimpin perempuan. Sehingga kalaupun datang perintah misalnya, perempuan
memimpin laki-laki, tidaklah bisa perintah tersebut berjalan, sebab tidak
sesuai dengan kenyataan hidup manusia.
Laki-laki memimpin perempuan tidak hanya pada manusia bahkan pada
binatang sekalipun. Para rombongan itik, itik jantan jugalah yang memimpin
berpuluh-puluh itik yang mengiringkannya, kera dan beruk di hutanpun mengangkat
pemimpin, beruk tua jantan. Diterangkan sebab yang pertana dalam ayat, ialah
lantaran Allah telah melebihkan sebahagian mereka, yaitu laki-laki atas yang
sebahagian, yaitu perempuan. Lebih dalam tenaga, lebih dalam kecerdasan, sebab
itu lebih pula dalan tanggung-jawab.
Betapapun modern rumahtangga, namun keputusan terakhir tetap pada
laki-laki. Di dalam rumah tidak mungkin ada dua kekuasaan yang sama hak dan sama
kewajiban, mesti ada pemimpin. Pemimpin itu, menurut kejadian jasmani dan
rohani manusia, tidak lain adalah laki-laki. Maka atas dasar demikianlah tegak
hukum agama, sehingga perkabaran bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi
perempuan, bukan saja kabar dan berita kenyataan, tetapi telah bersifat menjadi
perintah, sebab demikianlah irama hidup.
Maka ayat selajutnya berkata tentang watak perempuan yang dipimpin oleh
laki-laki itu : “maka perempuan yang baik adalah yang taat.” Yaitu taat kepada
Allah dan taat menuruti peraturan sebagai perempuan dan sebagai istri,
bertanggung-jawab dalam rumah tangga terhadap harta benda, suami dan pendidikan
anak-anak. “yang memelihara hal-ihwal yang tersembunyi dengan cara yang
dipeliharakan Allah.” Artinya bahwasanya tiap-tiap hubungan suami istri, pasti
ada rahasia yang mesti ditutup, dan menutup rahasia rumah tangga yang demikian
termasuk dalam rangka sopan-santun seorang istri.
IV.
Kesimpulan Penutup
Dari pembahasan panjang diatas tentang Hamka dan juga tafsirnya al-Azhar terdapat
dua poin besar yang perlu kita cermati dan kita gali. Pertama, adalah
eksistensi Hamka itu sendiri yang merupakan tokoh besar Islam Indonesia yang
kita miliki dengan wawasan keilmuan dan kredibilitas yang tinggi. Kehadiran
seorang tokoh Hamka sangat berpengaruh bagi perkembangan dan wawasan keislaman
waktu itu, dimana waktu itu sangat membutuhkan pencerahan dalam segala bidang
tak terkecuali dalam bidang sosial keagamaan yang kemudian diisi oleh peranan
dan perjuangan Hamka. Hal tersebut tak lepas karena waktu itu Hamka hidup dalam
sejarah awal Indonesia merdeka, yang mengalami masa transisi dan
ketidakstabilan, yang sangat membutuhkan lebih banyak lagi peranan dari para
putra bangsa untuk bisa mewujudkan kemakmuran negeri ini. Dan setidaknya Hamka
telah memberikan contoh semangat dan perjuangan yang baik.
Kedua, adalah Tafsir al-Azhar itu sendiri yang merupakan suatu
karya intelektual yang bernilai tinggi. Adapun karya Tafsir al-Azhar merupakan
karya ilmiah yang bernilai tinggi dan memberikan kontribusi penting bagi
kemajuan dakwah Islam di awal kemerdekaan Indonesia. Dimana masa tersebut
merupakan masa yang berat bagi penduduk Indonesia yang hampir kehilangan tata
nilai dan norma-norma termasuk norma agama, hal tersebut tidak lain karena
akibat hegemoni dan penjajahan yang dilakukan oleh bangsa penjajah yang merusak
tidak hanya materi, akan tetapi moral juga. Setidaknya Tafsir al-Azhar datang
untuk ikut merespon hal tersebut secara khusus, Walaupun tetap bertujuan untuk
kelangsungan dakwah Islam secara umum.
Daftar Pustaka :
Federspiel, Howadr M., Kajian
al-Qur’an di Indonesia; dari Mahmud Yunus hingga Quraish Shihab, Bandung:
Mizan, 1996.
Gusmian, Islah, Khazanah Tafsir
Indonesia: dari Hermeneutika hingga Ideologi, Jakarta: Teraju, 2003.
Hamka, Kenang-kenangan
Hidup, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Hamka, Tafsir Al-Azhar,
Jakarta: Pustaka Panjimas, 2000.
Hamka, Rusydi, Pribadi dan
Martabat Buya Hamka, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
Ma’arif, Ahmad Syafi’I, Peta Bumi
Intelektualisme Islam Indonesia, Bandung: Mizan, 1993.
Noer, Deliar, Gerakan
Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta : LP3ES, 1990.
Yusuf, Yunan, Corak Pemikiran
Kalam Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Penamadani, 2003.
[1] Haji
Abdul Malik bin Haji Abdul Karim Amrullah (1908-1981).
[2] Yunan
Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar (Jakarta: Penamadani,
2003), Cet. II, h. 39.
[3] Yunan
Yusuf, Corak Pemikiran, h.39.
[4] Hamka, Kenang-kenangan
Hidup (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), Jilid I, h. 9.
[5] Deliar
Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta : LP3ES,
1990), Cet. V, h. 52-53
[6] Yunan
Yusuf, Corak Pemikiran, pada catatan kaki nomor 42.
[7] Hamka, Tafsir
Al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2000), Juz I, h. 3.
[8] Rusydi
Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Hamka (Jakarta: Pustaka Panjimas,
1983), h. 195.
[9] Rusydi
Hamka, Pribadi, h. 230.
[10] Yunan
Yusuf, Corak Pemikiran, h. 51. Lihat juga, Ahmad Syafi’I Ma’arif, Peta
Bumi Intelektualisme Islam Indonesia ( Bandung: Mizan, 1993), Cet. I, h.
197.
[11] Ruydi
Hamka, Pribadi, h. 196.
[12] Yunan
Yusuf, Corak Pemikiran, h. 48-50.
[13] Yunan
Yusuf, Corak Pemikiran, h. 33
[14] Yunan
Yusuf, Corak Pemikiran, h. 42.
[15] Yunan
Yusuf, Corak Pemikiran, h. 24-25.
[16] Nama
Al-Azhar untuk Masjid Agung Kebayoran Baru Jakarta diberikan oleh Syekh Mahmud
Syaltut, Rektor Universitas Al-Azhar, dalam kunjungannya ke Indonesia tahun
1960. Saat itu juga masjid tersebut resmi dengan nama Masjid Agung Al-Azhar.
Lihat, Hamka (Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah), Tafsir Al-Azhar
(Jakarta: Bimbingan Masa, 1967), Juz I, h. 41.
[17]
Abdurrahman Wahid menyebutkan bahwa Masjid Al-Azhar dengan berbagai
kegiatannya, seperti sekolah TK, SD, SMP, dan SMA, serta kegiatan Remaja Islam
dan penerbitan Panji Masyarakat, berasal dari tanah wakaf orang-orang NU tetapi
tidak terkelola dengan baik, lalu mengalami “pengambilan halus” sehingga
menjadi milik Yayasan Al-Azhar. Lihat, Abdurrahman Wahid, Benarkah Buya
Hamka Seorang Besar, h. 55.
[18] Menurut
Hamka sendiri, di setiap Juz tafsirnya itu terdapat keterangan tempat
penulisannya. Tetapi ternyata tidak semua keterangan tempat penulisan tafsir
tersebut tercantum pada tafsir itu. Juz 1,2,3,5,6,7,8,9,10,11,12,26 dan 30
tidak terdapat cacatan tempat penulisannya. Sedangkan juz 4,13,14,15,16,17 dan
19 ditulis di Rumah Sakit Persahabatan Rawamangun. Sedangkan Juz 20 ditulis di
rumah tahanan Sukabumi, Tafsir juz 21,22,23,24 dan sebagian juz 25, 27,28 dan
29 ditulis di asrama Brimop Megamendung.
[19] Yunan
Yusuf, Corak Pemikiran, h. 53-55.
[20] Hamka, Tafsir
Al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2000), Juz I, h. 44.
[21] Hamka, Tafsir
Al-Azhar, Juz I, h. 4.
[22] Yunan
Yusuf, Corak Pemikiran, h. 55.
[23] Hamka, Tafsir
Al-Azhar, Juz I, h. 86.
[24] Islah
Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: dari Hermeneutika hingga Ideologi
(Jakarta: Teraju, 2003), h. 115.
[25] Hamka, Tafsir
Al-Azhar, Juz I, h. 80.
[26] Islah
Gusmian, Khazanah tafsir Indonesia, h. 152.
[27] Howadr
M. Federspiel, Kajian al-Qur’an di Indonesia; dari Mahmud Yunus hingga
Quraish Shihab (Bandung: Mizan, 1996), h. 142.
Komentar
Posting Komentar