TAFSIR AL-AZHAR HAMKA

Oleh: Labib Syauqi

Nan indak lapuak dek ujan, indak lakang dek paneh
(Yang tak lapuk oleh hujan, dan tak lekang oleh panas)
Kata-kata diatas mencoba menggambarkan situasi dan keadaan semangat keberagamaan yang terdapat di tanah minang. Dari kata tersebut dikehendaki untuk mewakili terjadinya ketegangan kulrural keberagamaan di tanah minang di satu sisi, tapi disisi lain disana telah terjadi perkembangan semangat bergama yang cukup tinggi, terbukti dengan telah terjadinya diskusi-diskusi panjang tentang interpretasi teks keagamaan kedalam implementasi praktek budaya keseharian.
Tafsir al-Azhar karya HAMKA[1] ini adalah salah satu karya tafsir yang ikut merespon terhadap keadaan sosio kultural pada waktu itu dan juga untuk tujuan perkembangan syi’ar Islam secara luas. Dengan Hamka sebagai penulisnya, yang merupakan seorang ulama yang punya kredibilitas tinggi dan wawasan yang luas, ditambah lagi dengan konteks sosial politik Indonesia waktu itu, dan dengan latar belakang dan sejarah penulisan yang kopleks, akan sangat menarik untuk kita bahas Tafsir Al-Azhar karya Haji Abdul Malik Karim Amrullah kali ini.

I.             Mengenal HAMKA
a.      Riwayat Hidup
Haji Abdul Malik bin Haji Abdul Karim Amrullah atau biasa disebut “Hamka” dilahirkan disebuah desa bernama tanah sirah, dalam negeri sungai batang, di tepi danau maninjau. Pada tanggal 13 Muharram 1362 H bertepatan dengan 16 Februari 1908.[2] Pendidikan yang ia terima mulai dari rumah, sekolah, diniyah dan surau. Dalam hal ini keinginan orang tuanya yaitu Abdul Karim Amrullah berpengaruh dalam proses pendidikannya. Keinginan ayahnya menjadikan Hamka seorang ulama, bisa dilihat dari perhatian penuh ayahnya terhadap keinginan belajar ngajinya. Hamka kecil tidak ada tanda tanda pada dirinya bahwa kelak nanti dia akan menjadi ulam besar di Indonesia, terbukti hamka kecil sering merasa tertekan oleh cita-cita ayahnya itu.[3] Tertunjang oleh dasar dasar ilmu yang ia dapatkan sewaktu kecil yaitu berupa ilmu alat seperti nahwu dan shorof, fiqih, dan Tafsir al-Qur’an yang ia dapatkan sewaktu dia belajar di Thawalib School.[4]
Buku tafsir al-Qur’an yang dipelajari di tingkat pemula pada setiap pesantren, madrasah atupun surau ialah Tafsir al-Jalalain. Demikian juga dengan apa yang diperoleh Hamka ketika masa awal mempelajari Tafsir al-Qur’an.[5] Kemudian tambahan untuk Tafsir al-Qur’an diperoleh dari Ki Bagus Hadikusumo, seorang tokoh yang pernah mondok di salah satu pesantren di Yogyakarta. Pertemuan itu terjadi pada tahun antara 1924-1925. jadi usia Hamka waktu itu adalah 17 tahun sedangkan gurunya berusia 34 tahun, karena Ki Bagus Hadikusumo dilahirkan pada tanggal 24 November 1890.[6] Oleh karena itu pelajaran tafsir yang diperoleh Hamka dari Ki Bagus Hadikusumo adalah pelajaran tafsir lanjutan.
Dari segi kualifikasi keilmuan dalam bidang tafsir al-Qur’an yang dimiliki hamka, tidak banyak data yang dapat menjelaskannya. Apakah dia belajar ilmu ilmu al-Qur’an , ilmu Ma’any, ilmu Bayan, ilmu Ushul Fiqih, ilmu mustholah hadis dan sebagainya seperti ilmu-ilmu yang harus dikuasai oleh seorang penafsir. Namun menurut penuturan Hamka, pada dasarnya semua ilmu tersebut ala kadarnya telah dipelajarinya sebagimana ia ungkapkan dalam muqaddimah tafsirnya yaitu tafsir al Azhar.[7]
Kondisinya yang semakin tua dan dengan kepadatan aktifitasnya memaksa Hamka untuk dirawat di rumah sakit secara serius. Setelah sembuh dari sakitnya, Hamka lebih memutuskan untuk mengurangi aktifitasnya di luar rumah dan lebih suka untuk menerima masyarakat untuk berkonsultasi mengenai masalah-masalah keagamaan di kediamannya.[8] Dan dua bulan setelah Hamka mengundurkan diri sebagai ketua umum MUI, ia masuk rumah sakit. Setelah kurang lebih satu minggu dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina, tepat pada tanggal 24 Juli 1981 ajal menjemputnya untuk kembali menghadap ke hadirat-Nya dalam usia 73 tahun.[9]

b.      Karir Intelektual
Sejak pertemuannya dengan gurunya di yogyakarta itu, maka tahun-tahun berikutnya Hamka tampil menjadi seorang penganjur Islam, baik melaui Muhammadiyah maupun dakwah dan tulisan-tulisannya. Kesempatan dakwah itu terbuka lebar ketika Hamka tiba di Jakarta pada tahun 1949 dan diterima sebagai anggota koresponden surat kabar Merdeka dan majalah Pemandangan. Kemudian bidang politik praktis dimasukinya melalui pemilihan umum pada tahun 1955 dan Hamka terpilih menjadi anggota konstituante dari Partai Masyumi. Dalam lembaga ini, sesuai dengan kebijakan Masyumi, Hamka maju dengan usul mendirikan negara yang berdasarkan atas al-Qur’an dan Sunnah.[10]
Pada masa Orde Baru, Hamka sering dipercaya pemerintah untuk menghadiri pertemuan-pertemuan negara Islam, di antaranya Konferensi Negara-negara Islam di Rabat (1968), Muktamar Masjid di Mekah (1976) juga seminar tentang Islam dan peradaban di Kuala Lumpur Malaysia. Dan dua bulan sebelum beliau wafat, Hamka yang tercatat sebagai ketua Majlis Ulama Indonesia, menyatakan pengunduran dirinya disebabkan adanya perbedaan persepsi antara MUI dengan pemerintah tentang perayaan Natal bersama kaum Kristen dan Islam.
MUI memfatwakan haram hukumnya bagi umat Islam menghadiri perayaan Natal bersama dengan umat Kristen, sementara pemerintah memandang sebaliknya. Sehingga pada suatu pertemuan antara MUI dengan pemerintah, Menteri Agama yang waktu itu dijabat oleh Alamsyah ratu Prawiranegara mengancam akan mengundurkan diri sebagai Menteri Agama jika MUI tidak mencabut fatwanya tersebut. Namun Hamka memandang bahwa Menteri Agama tidak perlu mengundurkan diri, karena MUI akan mencabut fatwa tersebut dengan catatan bahwa pencabutan fatwa tersebut bukan berarti membatalkan sahnya fatwa yang telah dikeluarkan itu.[11]
Dalam usia 73 tahun, Hamka tercatat sebagai seorang tokoh besar yang telah banyak memberikan kontribusinya bagi negara dan bangsa Indonesia, khususnya umat Islam Indonesia. Baik dalam bentuk peranan aktif dalam masyarakat maupun dalam bentuk karya ilmiah yang mempunyai nilai tinggi.

c.       Karya-karya
Hamka sebagai salah seorang tokoh yang lahir dari latar belakang lingkungan pembaharu dan berpikiran maju dalam pemahaman keagamaan telah banyak melahirkan karya tulis tentang islam. Karya tulisnya tersebar dan memasuki berbagi bidang ilmu, yaitu tafsir, tasawuf, teologi, sejarah islam dan tak terkecuali sastra.
1.      Karangan Hamka di bidang sastra :
a.       Di Bawah Lindungan Ka’bah (1935)
b.      Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
c.       Merantau di Deli
d.      Di dalam Lembah Kehidupan (1939)
e.       Dijemput Mamaknya (1939)
f.       Keadilan Ilahi (1939)
g.      Tuan Direktur (1939)
h.      Terusir (1939)
i.        Margaretta Gauthier (1940)
2.      Karangan Hamka di Bidang Keagamaan :
a.       Pedoman Muballigh Islam (1937)
b.      Agama dan Perempuan (1939)
c.       Tasawuf Modern (1939)
d.      Falsafah Hidup (1939)
e.       Lembaga Hidup (1940)
f.       Lembaga Budi (1946)
Kemudian pada tahun 1945, Hamka Menerbitkan karya karyanya di bidang politik dan budaya yaitu :
a.       Negara Islam
b.      Islam dan Demokrasi
c.       Revolusi Pikiran
d.      Revolusi Agama
e.       Adat Minagkabau menghadapi Revolusi
f.       Dari Lembah Cita-cita
Hijrahnya Hamka dari Minangkabau ke Jakarata pada tahun 1949, dan diterima sebagi Koresponden surat kabar Merdeka, majalah Pemandangan. Dan pada saat itu juga Hamka menulis autobiografinya Kenang-kenangan hidup, dan sekembalinya dari Amerika, Hamka menerbitkan buku perjalanan empat bulan di Amerika, sebanyak dua jilid.[12]

II.          Mengenal Kitab Tafsir Al-Azhar
a.      Kondisi Lokal Nasional Dan Internasional
Di penghujung abad ke 19 dan pada awal abad ke 20 masyarakat ranah minang sempat berada dalam ketegangan sosial dalam bentuk polarilasi kaum tua, kaum muda, serta diramu dengan adanya konflik  dengan kaum adat dan pemerintah kolonial belanda. Ketegangan  tersebut terjadi di satu pihak karena ada perbedaan  visi tentang praktek keagamaan  yang telah mentradisi di  masyarakat, seperti masalah usalli, dalam shalat, kenduri di rumah orang yang mati , berdiri ketika berjanzi, mentalqin mayat di atas kubur yang menjadi polemik keagamaan di tanah minang kabau.
Praktek keagamaan tersebut sangat dipelihara oleh kaum tua, sedangkan kaum muda berpendapat bahwa praktek keagamaan tersebut diatas merupakan praktek beragama yang tidak berdasar dan bahkan dikatakan melenceng dari ajaran islam yang sebenarnya. Dan atas adanya kritik-kritik yang dilancarkan kaum muda, kaum tua merasa terdesak dari posisi sentral mereka di tengah masyarakat sehingga menjadi ulama “pinggiran”. Dan di tengah masyarakat seperti inilah Haji Abdul Malik bin Haji Abdul Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan sebutan HAMKA dilahirkan.[13]
Pada peta pemikiran Islam, sebagaimana yang digambarkan oleh Deliar Noer, Hamka menempati posisi penting. Pada peta tersebut Hamka berada pada periode masa jajahan yaitu tahun 1900-1945 dan masa merdeka II tahun 1966-1985. dalam kaitannya dengan tafsir al-Azhar maka aktifitas Hamka yang berpengaruh pada tafsirnya, diperkirakan berasal dari penghayatannya terhadap perjalanan hidupnya. Sejak menerima pelajaran tafsir al-Qur’an dari KI Bagus Hadikusumo di Yogyakarta pada tahun 1924-1925.[14] Maka Hamka pada peta perkembangan pemikiran Islam di Indonesia, dia mengambil posisi dan bergerak pada bidang agama, sosial budaya, dan politik. Hal-hal ini yang akan muncul dan mewarnai muatan lokal yang terangkat dalam tafsirnya al-Azhar.
Pada peta perkembangan Islam internasional, Hamka berada pada geliat atmosfir gerakan pemikiran pembaharuan Islam yang digawangi oleh Muhammad Abduh waktu itu. Karena ayah Hamka yaitu Haji Abdul Karim Amrullah adalah termasuk tokoh yang ikut mengibarkan panji-panji kebangkitan di daerah Minang, bersama dengan Syeh Taher Tajuddin dan Syeh Muhammad Djamil Djambek. Yang mana waktu itu Syeh Taher Tajuddin bersama juga dengan Haji Abdul Karim Amrullah mulai menyebarkan kegiatan dakwahnya melalui majalah al-Imam, yang memuat artikel-artikel keislaman, juga melaporkan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di dunia Islam, dan lewat majalah ini juga pemikiran-pemikiran Muhammad Abduh  disebar luaskan[15].

b.      Proses Penulisan
Tepatnya tahun 1959, Hamka mulai mengarang Tafsir al-Azhar yang berasal dari pengajian kuliah shubuh yang di berikan Hamka di Masjid Agung al-Azhar, ketika itu Masjid itu belum bernama Masjid al-Azhar.[16] Tak lama setelah berfungsinya Masjid Al-Azhar[17] suasana politik yang digambarkan terdahulu mulai muncul. Agitasi pihak PKI dalam mendiskreditkan orang-orang yang tidak sejalan dengan kebijaksanaan mereka semakin meningkat, Masjid Al-Azhar pun tidak luput dari kondisi tersebut. Masjid ini dituduh menjadi sarang “Neo Masyumi” dan “Hamkaisme”.
Keadaan itu bertambah memburuk ketika pada penerbitan no. 22 tahun 1960, Panji Masyarakat memuat artikel Muhammad Hatta “Demokrasi Kita”. Hamka sadar betul akibat apa yang akan diterima oleh Panji Masyarakat bila memuat artikel tersebut. Namun hal itu dipandang Hamka sebagai perjuangan memegang amanah yang dipercayakan oleh Mohammad Hatta kepadanya.
Sebagaimana kekhawatiran di atas, ijin terbit Panji Masyarakat dicabut. Caci maki dan fitnah kaum komunis terhadap kegiatan Hamka di Masjid Al-Azhar bertambah meningkat. Atas bantuan Jenderal Sudirman dan Kolonel Muchlas Rowi, diusahakan penerbitan majalah Gema Islam. Walaupun secara formal pimpinan Gema Islam disebut Jenderal Sudirman dan Kolonel Muchlas Rowi, akan tetapi pimpinan aktifnya adalah Hamka. Ceramah-ceramah Hamka sehabis shalat shubuh di masjid Al-Azhar yang mengupas tafsir al-Qur’an terus dilakukan dan dimuat secara teratur dalam majalah ini dan berjalan hingga januari 1964, walupun secara mental terus menerus mendapat tekanan dari PKI yang tidak sejalan dengan kebijakan mereka.
Pada hari Senin 12 Ramadhan 1383 H yang bertepatan dengan 27 januari 1964, sesaat setelah Hamka memberikan pengajian di hadapan lebih kurang 100 orang kaum Ibu di Masjid Al-Azhar, ia ditangkap oleh penguasa Orde Lama lalu dijebloskan kedalam tahanan. Sebagai tahanan politik Hamka ditempatkan di beberapa rumah peristirahatan di kawasan Puncak, yakni bungalow Herlina, Hajuna, bungalow Brimob Megamendung dan kamar tahanan polisi Cimacan. Di rumah tahanan inilah Hamka mempunyai kesempatan yang cukup untuk menulis tafsir Al-Azhar. Oleh karena kesehatannya mulai menurun, Hamka kemudian dipindahkan ke Rumah Sakit Persahabatan Rawamangun Jakarta. Selama perawatan di rumah sakit ini Hamka meneruskan penulisan tafsirnya.[18]
Akhirnya setelah jatuhnya penguasa Orde lama dan kemudian Orde Baru bangkit di bawah pimpinan Soeharto dan kekuatan PKI pun telah ditumpas, Hamka dibebaskan dari tuduhan. Pada tanggal 21 Januari 1966 Hamka kembali menemukan kebebasannya setelah mendekam dalam tahanan selama kurang lebih dua tahun, dengan tahanan rumah dua bulan dan tahanan kota dua bulan. Kesempatan inipun digunakan oleh Hamka untuk memperbaiki serta menyempurnakan tafsir Al-Azhar yang sudah pernah dia tulis di beberapa rumah tahanan sebelumnya.[19]

c.       Kondisi Kitab
Hal pertama yang kita ketahui dan menarik perhatian kita dari sebuah karya tafsir adalah namanya. Mengenai asal-usul nama dari tafsir al-Azhar ada dua alasan yang saling berkaitan mengenai pemakaian nama al-Azhar untuk tafsirnya. Pertama, nama itu diambil dari tempat dimana tafsir ini diperkenalkan dan diajarkan pertama kali, yaitu di Masjid al-Azhar. Kedua, adalah sebagai bentuk “balas budi” atas gelar kehormatan yang diberikan Universitas AL-Azhar. Gelar ini bisa dikatakan gelar ilmiah tertinggi dari al-Azhar yaitu Ustadziah Fakhriyah atau sama dengan Doctor Honoris causa. Lebih istimewanya Hamka merupakan orang pertama di dunia yang mendapatkan gelar itu dari Universitas Al-Azhar.[20]
Motivasi penulisan al-Azhar menurut Hamka, didorong oleh dua hal. Pertama, bangkitnya minat angkatan muda Islam di tanah air Indonesia dan daerah-daerah yang berbahasa Melayu yang hendak mengetahui isi al-Qur’an di zaman sekarang, padahal mereka tidak mempunyai kemampuan mempelajari bahasa Arab. Kedua, medan dakwah para muballigh yang memerlukan keterangan agama dengan sumber yang kuat dari al-Qur’an, sehingga diharapkan tafsir ini bisa menjadi penolong bagi para muballigh dalam menghadapi bangsa yang mulai cerdas.[21]
Penerbitan pertama tafasir al-Azhar diterbitkan oleh penerbit Pembimbing Masa, pimpinan H. Mahmud. cetakan pertama oleh Pembimbing Masa, merampungkan penerbitan dari juz pertama sampai juz keempat. Kemudian diterbitkan pula Juz 30 dan Juz 15 sampai dengan Juz 29 oleh Pustaka Islam Surabaya. Dan akhirnya Juz 5 sampai dengan Juz 14 diterbitkan oleh Yayasan Nurul Islam Jakarta.[22]

III.       Karakteristik Penafsiran Al-Azhar
a.      Sumber-sumber Rujukan
Dalam memilih referensi hamka bersifat moderat, tidak fanatik terhadap sartu karya tafsir dan tidak terpaku pada satu mazhab pemikiran. Hamka mengutip dari berbagai kitab bukan saja kitab tafsir melainkan kitab hadis dan sebagainya yang menurutnya penting untuk dikutip. Akan tetapi ada beberapa kitab tafsir yang diakuinya mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tafsirnya.  Bukan saja dari segi pemikiran akan tetapi haluan serta coraknya. Pertama Tafsir al-Manar karya Sayid Rasyid Ridha yang notabene berdasarkan pada ajaran tafsir gurunya Syaikh Muhammad Abduh. Selain itu ada Tafsir al-Maraghi, Tafsir al-Qasimi, dan Tafsir Fi Zilal al-Qur’an karya Sayid Qutub. Selain keempat kitab tafsir ini Hamka juga mengutip pendapat dari berbagai kitab tafsir lainnya.[23]

b.      Metode Tafsir
Merujuk pada pemetaan Islah Gusmian mengenai metode penafsiran. Maka terdapat paling tidak tiga metode yang dipakai para penafsir dalam menyajikan karya tafsirnya. Pertama, klasifikasi metode tafsir berdasarkan sumber penafsiran. Kedua, klasifikasi metode penafsiran berdasarkan cara penyajian. Dan Ketiga, klasifikasi metode berdasarkan keumuman dan kekhususannya tema.[24]
Pertama, berdasarkan pemikiran tersebut, kemudian melihat dari isi al-azhar maka Tafsir al-Azhar jelas menggabungkan antara riwayah (ma’tsur) dan pemikiran (ra’yi). Dalam menafsirkan al-Qur’an, Hamka pertama-tama mengutip beberapa pendapat para ulama mengenai maksud kata (etimologis) atau pendapat ulama mengenai permasalahan yang akan dibahas kemudian beliau menjelaskan pemikirannya berdasarkan pemikiran ulama tersebut. Akan tetapi tidak jarang ia mengutip sebuah pendapat yang ia sendiri tidak setuju dengannya, dengan tujuan perbandingan.[25]
Kedua, klasifikasi metode berdasarkan cara penyajian. Berdasarkan pemetaan ini maka dapat dikatakan bahwa Tafsir al-Azhar mengambil bentuk Tahlili. Bentuk ini menitik beratkan pada uraian-uraian penafsiran secara detail, mendalam, dan komprehensif. Terma-terma kunci setiap ayat dianalisis untuk menemukan makna yang tepat dan sesuai dalam suatu konteks ayat. Setelah itu penafsir menarik kesimpulan dari ayat yang ditafsirkan, yang sebelumnya ditelisik aspek asbab an-nuzul dengan kerangka analisis yang beragam, seperti analisis sosiologis, antropologis dan yang lain.[26]
Ketiga, klasifikasi berdasarkan keumuman dan kekhususan tema. Dilihat dari klasifikasi terakhir ini maka seluruh karya tafsir bisa dibagi kedalam dua bagian yaitu tafsir umum dan tafsir tematis. Tafsir umum adalah tafsir yang tidak mengambil satu tema sebagai acuan penafsiran, sebaliknya dalam tafsir tematis, seorang penafsir berangkat dari sebuah tema untuk memulai penafsiran. Berdasarkan pemetaan ini dapat kita katakan bahwa Tafsir al-Azhar masuk dalam kategori tafsir dengan tema umum.

c.       Corak Penafsiran
Menurut Howard M. Federspiel, keunggulan tafsir Hamka adalah dalam menyingkap tentang sejarah dan peristiwa-peristiwa kontemporer.[27] Atas dasar ini pula tafsir al-Azhar dapat dikategorikan sebagai tafsir yang bercorak adab al-ijtima’i. dinamakan adabi dengan hipotesa bahwa Hamka adalah seorang pujangga yang menggeluti sastra sehingga setiap karyanya dipengaruhi nilai-nilai sastra, dan juga banyak membahas permasalahan-permasalahan sosial yang terjadi, sedangkan ijtima’I karena dalam tafsirnya Hamka tidak hanya menyajikan potret kehidupan bangsa Arab abad ke-6. Akan tetapi lebih dari itu Hamka juga membawa permasalahan kontemporer kedalam tafsirnya.

d.      Sistematika Penafsiran
Ada beberapa langkah-langkah yang ditempuh oleh Hamka dalam proses kegiatannya dalam menafsirkan dalam Tafsir al-Azhar.
1.      Menuliskan muqaddimah pada setiap awal Juz
Hamka secara konsisten menyajikan muqaddimah pada setiap Juz baru sebelum beranjak penafsiran. Yang isinya merupakan resensi Juz yang akan dibahas. Di samping itu Hamka juga mencari korelasi (munasabah) antara Juz yang sebelumnya dengan Juz yang akan dibahasnya.
2.      Menyajikan beberapa ayat di awal pembahasan secara tematik
Walaupun Hamka menggunakan metode tahlili dalam menafsirkan al-Qur’an akan tetapi Hamka tidak menafsirkan ayat perayat seperti yang kita lihat dalam bebrapa tafsir klasik. Akan tetapi ia membentuk sebuah kelompok ayat yang dianggap memiliki kesesuaian tema. Sehingga memudahkan kita mencari ayat-ayat berdasarkan tema, sekaligus memahami kandungannya.
3.      Mencantumkan terjemah dari kelompok ayat
Untuk memudahkan penafsiran, terlebih dahulu Hamka menerjemahkan ayat tersebut kedalam bahasa Indonesia agar lebih mudah dipahami.
4.      Menjauhi pengertian kata
Hamka menjauhkan dari berlarut-larut dalam uraian panjang mengenai pengertian kata, selain hal tersebut dianggap tidak terlalu cocok untuk masyarakat Indonesia yang notabene banyak yang tidak memahami bahasa Arab, Hamka menilai pengertian tersebut telah tercakup dalam terjemah.
5.      Memberikan uraian terperinci
Setelah menerjemahkan ayat Hamka memulai penafsirannya terhadap ayat tersebut dengan luas dan terkadang dikaitkan dengan kejadian pada zaman sekarang, sehingga pembaca dapat menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman sepanjang masa.

e.       Contoh Penafsiran
Dalam kesempatan kali ini, kami akan mengambil contoh penafsiran Hamka dalam Surat An-Nisa’ Ayat 34 yang membahas tentang kedudukan laki-laki atas perempuan, dan bagaimana Hamka menafsirkan Ayat ini yang oleh sebagian kelompok Ayat ini ditafsirkan dan dianggap bias Gender.
A%y`Ìh9$# šcqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ Ÿ@žÒsù ª!$# óOßgŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4 àM»ysÎ=»¢Á9$$sù ìM»tGÏZ»s% ×M»sàÏÿ»ym É=øtóù=Ïj9 $yJÎ/ xáÏÿym ª!$# 4 ÓÉL»©9$#ur tbqèù$sƒrB  Æèdyqà±èS  ÆèdqÝàÏèsù £`èdrãàf÷d$#ur Îû ÆìÅ_$ŸÒyJø9$# £`èdqç/ÎŽôÑ$#ur ( ÷bÎ*sù öNà6uZ÷èsÛr& Ÿxsù (#qäóö7s? £`ÍköŽn=tã ¸xÎ6y 3 ¨bÎ) ©!$# šc%x. $wŠÎ=tã #ZŽÎ6Ÿ2 ÇÌÍÈ
“Laki-laki adalah pemimpin atas perempuan-perempuan, lantaran Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas yang sebahagian (wanita), dan dari sebab apa yang mereka belanjakan dari harta benda mereka. Maka perempuan yang baik-baik, ialah yang taat, yang memelihara hal-ihwal yang tersembunyi, dengan cara yang dipeliharakan Allah. Dan perempuan-perempuan yang kamu takut kedurhakaan mereka, maka ajarilah mereka, dan memisahlah dari mereka pada tempat-tempat tidur, dan pukullah mereka. Tetapi jika mereka telah taat kepada kamu, janganlah kamu cari-cari jalan buat menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah adalah Maha Tinggi, lagi Maha Besar”.
Di dalam ayat ini tidak langsung datang perintah mengatakan wahai laki-laki, diwajibkan kamu jadi pemimpin. Atau wahai perempuan, kamu mesti menerima pimpinan. Akan tetapi yang diterangkan adalah terlebih dahulu adalah kenyataan. Walaupun tidak ada perintah, namun kenyataan memang laki-lakilah yang memimpin perempuan. Sehingga kalaupun datang perintah misalnya, perempuan memimpin laki-laki, tidaklah bisa perintah tersebut berjalan, sebab tidak sesuai dengan kenyataan hidup manusia.
Laki-laki memimpin perempuan tidak hanya pada manusia bahkan pada binatang sekalipun. Para rombongan itik, itik jantan jugalah yang memimpin berpuluh-puluh itik yang mengiringkannya, kera dan beruk di hutanpun mengangkat pemimpin, beruk tua jantan. Diterangkan sebab yang pertana dalam ayat, ialah lantaran Allah telah melebihkan sebahagian mereka, yaitu laki-laki atas yang sebahagian, yaitu perempuan. Lebih dalam tenaga, lebih dalam kecerdasan, sebab itu lebih pula dalan tanggung-jawab.
Betapapun modern rumahtangga, namun keputusan terakhir tetap pada laki-laki. Di dalam rumah tidak mungkin ada dua kekuasaan yang sama hak dan sama kewajiban, mesti ada pemimpin. Pemimpin itu, menurut kejadian jasmani dan rohani manusia, tidak lain adalah laki-laki. Maka atas dasar demikianlah tegak hukum agama, sehingga perkabaran bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan, bukan saja kabar dan berita kenyataan, tetapi telah bersifat menjadi perintah, sebab demikianlah irama hidup.
Maka ayat selajutnya berkata tentang watak perempuan yang dipimpin oleh laki-laki itu : “maka perempuan yang baik adalah yang taat.” Yaitu taat kepada Allah dan taat menuruti peraturan sebagai perempuan dan sebagai istri, bertanggung-jawab dalam rumah tangga terhadap harta benda, suami dan pendidikan anak-anak. “yang memelihara hal-ihwal yang tersembunyi dengan cara yang dipeliharakan Allah.” Artinya bahwasanya tiap-tiap hubungan suami istri, pasti ada rahasia yang mesti ditutup, dan menutup rahasia rumah tangga yang demikian termasuk dalam rangka sopan-santun seorang istri.

IV.       Kesimpulan Penutup
Dari pembahasan panjang diatas tentang Hamka dan juga tafsirnya al-Azhar terdapat dua poin besar yang perlu kita cermati dan kita gali. Pertama, adalah eksistensi Hamka itu sendiri yang merupakan tokoh besar Islam Indonesia yang kita miliki dengan wawasan keilmuan dan kredibilitas yang tinggi. Kehadiran seorang tokoh Hamka sangat berpengaruh bagi perkembangan dan wawasan keislaman waktu itu, dimana waktu itu sangat membutuhkan pencerahan dalam segala bidang tak terkecuali dalam bidang sosial keagamaan yang kemudian diisi oleh peranan dan perjuangan Hamka. Hal tersebut tak lepas karena waktu itu Hamka hidup dalam sejarah awal Indonesia merdeka, yang mengalami masa transisi dan ketidakstabilan, yang sangat membutuhkan lebih banyak lagi peranan dari para putra bangsa untuk bisa mewujudkan kemakmuran negeri ini. Dan setidaknya Hamka telah memberikan contoh semangat dan perjuangan yang baik.
Kedua, adalah Tafsir al-Azhar itu sendiri yang merupakan suatu karya intelektual yang bernilai tinggi. Adapun karya Tafsir al-Azhar merupakan karya ilmiah yang bernilai tinggi dan memberikan kontribusi penting bagi kemajuan dakwah Islam di awal kemerdekaan Indonesia. Dimana masa tersebut merupakan masa yang berat bagi penduduk Indonesia yang hampir kehilangan tata nilai dan norma-norma termasuk norma agama, hal tersebut tidak lain karena akibat hegemoni dan penjajahan yang dilakukan oleh bangsa penjajah yang merusak tidak hanya materi, akan tetapi moral juga. Setidaknya Tafsir al-Azhar datang untuk ikut merespon hal tersebut secara khusus, Walaupun tetap bertujuan untuk kelangsungan dakwah Islam secara umum.




Daftar Pustaka :

Federspiel, Howadr M., Kajian al-Qur’an di Indonesia; dari Mahmud Yunus hingga Quraish Shihab, Bandung: Mizan, 1996.

Gusmian, Islah, Khazanah Tafsir Indonesia: dari Hermeneutika hingga Ideologi, Jakarta: Teraju, 2003.

Hamka, Kenang-kenangan Hidup, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.

Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2000.

Hamka, Rusydi, Pribadi dan Martabat Buya Hamka, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.

Ma’arif, Ahmad Syafi’I, Peta Bumi Intelektualisme Islam Indonesia, Bandung: Mizan, 1993.

Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta : LP3ES, 1990.

Yusuf, Yunan, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Penamadani, 2003.











[1] Haji Abdul Malik bin Haji Abdul Karim Amrullah (1908-1981).
[2] Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar (Jakarta: Penamadani, 2003), Cet. II, h. 39.
[3] Yunan Yusuf, Corak Pemikiran, h.39.
[4] Hamka, Kenang-kenangan Hidup (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), Jilid I, h. 9.
[5] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta : LP3ES, 1990), Cet. V, h. 52-53
[6] Yunan Yusuf, Corak Pemikiran, pada catatan kaki nomor 42.
[7] Hamka, Tafsir Al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2000), Juz I, h. 3.
[8] Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Hamka (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), h. 195.
[9] Rusydi Hamka, Pribadi, h. 230.
[10] Yunan Yusuf, Corak Pemikiran, h. 51. Lihat juga, Ahmad Syafi’I Ma’arif, Peta Bumi Intelektualisme Islam Indonesia ( Bandung: Mizan, 1993), Cet. I, h. 197.
[11] Ruydi Hamka, Pribadi, h. 196.
[12] Yunan Yusuf, Corak Pemikiran, h. 48-50.
[13] Yunan Yusuf, Corak Pemikiran, h. 33
[14] Yunan Yusuf, Corak Pemikiran, h. 42.
[15] Yunan Yusuf, Corak Pemikiran, h. 24-25.
[16] Nama Al-Azhar untuk Masjid Agung Kebayoran Baru Jakarta diberikan oleh Syekh Mahmud Syaltut, Rektor Universitas Al-Azhar, dalam kunjungannya ke Indonesia tahun 1960. Saat itu juga masjid tersebut resmi dengan nama Masjid Agung Al-Azhar. Lihat, Hamka (Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah), Tafsir Al-Azhar (Jakarta: Bimbingan Masa, 1967), Juz I, h. 41.
[17] Abdurrahman Wahid menyebutkan bahwa Masjid Al-Azhar dengan berbagai kegiatannya, seperti sekolah TK, SD, SMP, dan SMA, serta kegiatan Remaja Islam dan penerbitan Panji Masyarakat, berasal dari tanah wakaf orang-orang NU tetapi tidak terkelola dengan baik, lalu mengalami “pengambilan halus” sehingga menjadi milik Yayasan Al-Azhar. Lihat, Abdurrahman Wahid, Benarkah Buya Hamka Seorang Besar, h. 55.
[18] Menurut Hamka sendiri, di setiap Juz tafsirnya itu terdapat keterangan tempat penulisannya. Tetapi ternyata tidak semua keterangan tempat penulisan tafsir tersebut tercantum pada tafsir itu. Juz 1,2,3,5,6,7,8,9,10,11,12,26 dan 30 tidak terdapat cacatan tempat penulisannya. Sedangkan juz 4,13,14,15,16,17 dan 19 ditulis di Rumah Sakit Persahabatan Rawamangun. Sedangkan Juz 20 ditulis di rumah tahanan Sukabumi, Tafsir juz 21,22,23,24 dan sebagian juz 25, 27,28 dan 29 ditulis di asrama Brimop Megamendung.
[19] Yunan Yusuf, Corak Pemikiran, h. 53-55.
[20] Hamka, Tafsir Al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2000), Juz I, h. 44.
[21] Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz I, h. 4.
[22] Yunan Yusuf, Corak Pemikiran, h. 55.
[23] Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz I, h. 86.
[24] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: dari Hermeneutika hingga Ideologi (Jakarta: Teraju, 2003), h. 115.
[25] Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz I, h. 80.
[26] Islah Gusmian, Khazanah tafsir Indonesia, h. 152.                            
[27] Howadr M. Federspiel, Kajian al-Qur’an di Indonesia; dari Mahmud Yunus hingga Quraish Shihab (Bandung: Mizan, 1996), h. 142.

Komentar

Postingan Populer