TOSHIHIKO IZUTSU ; Pendekatan Semantik Terhadap Al-Qur’an

Oleh : Labib Syauqi
A. Latar Belakang Pendidikan
Izutsu lahir pada tahun 1914  di Tokyo, ia adalah professor pada institute study kebudayaan dan bahasa Universitas Keio di  Tokyo yang didirikan oleh prof. fukuzawa pada tahun 1858, pendirian Universitas Keio dilatarbelakangi geliat pengimbangan zaman modern dengan pengembagan di jepang.
Sejak kecil ia menghabiskan pendidikan masa dasar sampai dengan perguruan tinggi di Tokyo. Meskipun jepang pada awal abad dua puluh dilanda perang dingin, namun dunia pendidikan keluarga izutsu tidak mati.[1] karena keberhasilannya di dunia pendidikan ia pernah menjadi tamu tahun 1964 di institute of Islamic studies, McGill University, Montreal, Canada, dan mengajar di mata kuliah Teologi dan filsafat islam di Universitas tersebut.[2]
Kemudian pada tahun 1959 Sampai 1961 ia dipercaya oleh Rockefeller foundation untuk mengisi formulir study tour selama dua tahun di dunia muslim. Karena andilnya beliau juga mendapatkan beasiswa dari Dr.Shohei Takamura rector Universitas Keio pada saat itu, ia juga mendapat penghargaan dari Fukozawa untuk studi lanjutan.[3] selain itu ia juga diangkata sebagai dosen dimana ia menempuh pendidikan strata satu. Ia juga merupakan sosok intelektual yang dikenal orang dengan teori semantiknya. Selain itu ia juga piawai dalam menguraikan teori estetika dan sufisme. Dan ia juga menguasai lebih dari dua puluh bahasa baik dibelahan timur maupun barat.
Kecendrungannya pada oriental philosophy, membuat ia tertarik dengan  apa yang disebut sebagai meta-philosophy, yakni filsafat ditinjau dari system philosofis, sehingga konsep meta philosofis ditangannya menjadi lebih luas medan studinya dan bergeser dari filsafat sebagai karya parochial (sempit) ke filsafat sebagai penyelidikan universal bagi kebenaran,[4] akan tetapi gagasan ini sangat bertentangan dengan ide filsafat modern yang mengambil filsafat sebagai handmaid ilmu –ilmu eksakta sedangkan pada waktu yang sama ia dapat menguranginya ke logika formal, penyelidikan filosofis dari perspektif philosophia perennis, yang dilihat sebagai alur yang dijamin kebenarannya yang mendorong ke arah perwujudan dan pengetahuan akan kebenaran.  
Adapun kontribusinya dalam konteks study islam adalah ketika Dr. Nasr merujuk pada kata pengantarnya, bahwa ia sebagai sarjana islam adalah figure utama akademisi modern dengan penyajiannya terhadap study islamia dan islam secara serius dan dijamin kebenarannya. Sajiannya yang menarik tentang semantik Al-qur’an dan struktur konseptual yang muncul tanpa bandingan. Dan  prestasi lain yaitu mengenai filsafat islam dan Sufism masuk dalam urutan atas pemikirannya. Dan filsafat islamnya dilihat secara rinci tergambar pada pemikiran Ibn Araby, Mulla Sadra dan Sabziwari, suatu ekspresi filosofi tradisional dan pemikiran metafisis.[5]

B. Karya-karyanya
Intelektual  jepang ini memiliki beberapa karya yang menjadi bukti kecerdasannya di bidang semantik yang kemudian digunakannya dalam memahami al-qur’an. Buku pertamanya berjudul “The struktur of the ethical terms in the Koran” struktur istilah-istilah etik dalam al-qur’an yang diterbitkan di universitas keio di tokyo 1959. Dan mengalami perubahan sehingga diterbitkan dalam bentuk revisi dengan judul “ethico Religious concepts in the Koran”.
Kemudian karya lain yang telah dibukukan adalah “ god and man in the Koran; Semantics Of the Koranic Weltanschauung” dan  “The concept of belief in Islamic theology A Semantikal Analysis of iman and islam”. Begitu juga dengan The Concept of Belief in Islamic Theology; A semantical Analysis of Iman and Islam. Buku ini berawal dari materi yang aslinya disiapkan untuk seminar khusus tentang teologi islamik yang telah disampaikan pada 1964 di Kanada.[6] Belum lagi banyak sekali karya-karyanya baik yang dalam bahasa Jepang, maupun bahasa Inggris.

C. Makna Semantik dan Semantik Al-Qur’an
Secara etimologi “semantik”  mengandung makna “berarti” (dari kata benda) dan semainen (bentuk verb) bermakna to signify “menandakan atau menunjukan” yang berasal dari akar kata sema “tanda”. Sedangkan secara terminologi yaitu ilmu tentang hubungan simbol – simbol linguistik dengan hal- hal lain dari simbol itu sendiri dengan mengacu pada a). apa yang yang mereka artikan dan  b). apa yang mereka acu[7]. Atau bisa disebut juga dengan analisis makna .
Dan menurut Izutsu sendiri semantik adalah disiplin atau ilmu yang berhubungan dengan fenomena makna dalam pengertian yang lebih luas dari kata, karena begitu luas hingga hampir apa saja yang mungkin dianggap memiliki makna yang merupakan objek semantik. Dan lebih lanjut izutsu menerangkan bahwa semantik adalah kajian analitik terhadap istilah –istilah kunci suatu bahasa dengan satu pandangan yang akhirnya sampai pada pengertian konseptual weltanschauung atau pandangan dunia masyarakata yang menggunakan bahasa itu tidak hanya sebagai alat bicara dan berfikir, tetapi yang lebih penting lagi pengkonsepan dan penafsiran dunia yang melingkupinya. Semantik dalam pengertian ini adalah semacam weltanschauung-lehre, kajian tentang sifat dan struktur pandangan dunia sebuah bangsa saat sekarang atau pada periode sejarahnya yang signifikan, dengan menggunakan alat analisis metodologis terhadap konsep - konsep pokok yang telah dihasilkan untuk dirinya sendiri dan telah mengkristal ke dalam kata-kata kunci bahasa itu.
Bahwa kata al-Qur’an dalam frasa “semantik al-Qur’an” harus dipahami hanya dalam pengertian weltanschauung al-Qur’an atau pandangan dunia Qur’ani, yaitu visi Qur’ani tentang alam semesta. Semantik al-Qur’an terutama akan mempermasalahkan persoalan-persoalan bagaimana dunia wujud distrukturkan, apa unsur pokok dunia, dan bagaiman semua itu terkait satu sama lain menurut pandangan kitab suci tersebut. Dalam pengertian ini, ia semacam ontologi- suatu ontologi yang kongkret, hidup dan dinamik, bukan semacam ontologi sistematik statis yang dihasilkan seorang filsuf pada tingkata pemikiran metafisika yang abstrak. Analisa semantik ini akan membentuk ontologi wujud dan eksistensi pada tingkata kongkret sebagaimana tercermin pada ayat-ayat al-Qur’an. Tujuannya adalah memunculkan tipe ontologi hidup yang dinamik dari al-Qur’an dengan penelaahan analitis dan metodologis terhadap konsep-konsep pokok, yaitu konsep-konsep yang memainkan peran menentukan dalam pembentukan visi Qur’ani terhadap alam semesta.[8]

D. Problematika Semantik
Sebelum menguraikan pendekatan semantik agaknya pendekatan ini lebih dahulu ditempatkan didalam tradisi linguistic Saussurean yang selama ini dikenal dengan konsep-konsep dikotomisnya  yang di identifikasikan sebagai problem semantik, diantara konsep-konsep itu antara lain :
1. langue-parole, bahasa merupakan objek sosial murni, yang keberadaannya diluar individuan sebagai perangkata-perangkata konvensi-konvensi sisitematik yang berperan penting di dalam komunikasi oleh Saussure disebut dengan langue. Ia merupakan institusi sosial yang otonom yang tidak bergantung pada materi tanda-tanda pembentuknya. Sedangkan parole merupakan bagian bahasa yang sepenuhnya individual parole dapat dipandang sebagai kombinasi yang memugkinkan subjek (penutur) mampu menggunakan kode bahasa untuk mengungkapkan pikiran pribadinya.
2. Singkronik-Diakronik singkronik adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan sisi statik dari suatu ilmu , dan analisis secara singkronik adalah analisis bahasa sebagai system yang eksis pada suatu titik waktu tertentu yang sering beranrti pada sat ini. Sedangkan diakronik adalah segala sesuatu yang bersangkutan dengan evolusi. Dan dapat dibedakan dari dua sudut yaitu prospektif dan retrospektif. Ia mengkaji relasi-relasi yang secara suksesif mengikata terma-terma secara bersamaan yang masing-masing saling bersubtitusi tanpa mebentuk suatu system, namun tidak disadari oleh fikiran kolektif.
3. Sintakmatik-paradigmatik, Segala sesuatu yang ada di dalam bahasa didasarkan atas relasi-relasi, relasi-relasi ini dapat dibedakaan menjadi dua macam yaitu sintakmatik-paradigmatik. Sebuah sintagma meruujk pada hubungan antar satu kata dengan kata-kataa lain atau antara satuan gramatikal dengan satuan gramatikal yang lain di dalam ujaran atau tindak tutur tertentu. Sedangkan relasi paradigmatik  berada disisi lawan dalam relasi ini setiap tanda berada pada kodenya sebagai bagian dari paradigma, suatu system relasi  absentia yang mengaitkan tanda tersebut dengan tanda-tanda yang lain (entah berdasarkan persamaan atau perbedaaan ) sebelum ia muncul dalam tuturan.
4. Penanda-petanda, tanda (sign) merupakan satuan dasar bahasa yang niscaya tersusun dari dua relata yang tak terpisahkan yakni citra bunyi sebagai unsure penanda (signifier) dan diamerupakan aspek materi tanda yang bersifat sensoris  yang dapat diinderai yang didalam bahasa lisan mengambil citra–bunyi atau citra–akustik yang berkaitan degan konsep (petanda) sementara itu petanda (konsep) merupakan aspek mental dari tanda-tanda , yakni konsep ideasional yang bercokol dalam benak penutur. Ia bukanalah yang diacu oleh tanda ,melainkan semata-mata representasi mentalnya.[9]

E. Ketentuan-ketentuan Dalam Semantik
1. Keterpautan Konsep-konsep Individual
Kita mungkin menganggap semua yang kita lakukan akan membuka seluruh kosa-kata al-Qur’an, semua lata-kata penting yang mewakili konsep-konsep penting seperti Allah, Islam, Nabi, Iman, Kafir dan lain sebagainya. Dan juga menelaah apa makna semua kata-kata itu dalam konteks al-Qur’an. Bagaimanapun, kenyataannya tidaklah begitu mudah. Kata-kata atau konsep-konsep dalam al-Qur’an tidaklah sederhana. Kedudukannya masing-masing saling terpisah, tetapi sangat saling bergantung dan menghasilkan makna kongkret justru dari seluruh sistem hubungan itu. Dengan kata lain kata-kata itu membentuk kelompok-kelompok yang bervariasi, besar dan kecil, dan berhubungan satu sama lain dengan berbagai cara, yang demikian pada akhirnya akan menghasilkan keteraturan secara menyeluruh, sangat kopleks dan rumit sebagai kerangka kerja gabungan konseptual.
Dan apa yang yang sungguh-sungguh penting bagi tujuan khusus kita adalah jenis sistem konseptual yang berfungsi dalam al-Qur’an, bukan konsep-konsep yang terpisah secara individual dan dipertimbangkan terlepas dari struktur umum atau Gestalt, ke dalam mana konsep-konsep itu diintegrasikan. Dalam menganalisis konsep-konsep kunci undividual yang ditemukan dalam al-Qur’an kita tidak boleh kehilangan wawasan hubungan ganda yang saling memberi muatan dalam keseluruhan sistem.
Dampak kerangka konseptual baru itu terhadap struktur makna konsep-konsep individual akan menjadi lebih jelas jika kita meninjau kata-kata yang berkaitan dengan moral, etika atau nilai-nilai agama. Menyangkut hal tersebut, al-Qur’an mempunyai contoh yang berlimpah. Salah satu yang khusus adalah kata taqwa. Inti semantik dasar kata taqwa pada zaman jahiliyah adalah “sikap membela diri sendiri baik binatang maupun manusia, untuk tetap hidup melawan sejumlah kekuatan destruktif dari luar. Kata ini masuk kedalam sistem konsep Islam dengan membawa serta makna dasar ini. Tetapi disana, di bawah pengaruh keseluruhan sistem yang besar sekali, dan terutama sekali kenyataan bahwa kata itu sekarang telah ditempatkan dalam medan semantik khusus yang tersusun dari sekelompok konsep yang berkaitan dengan “kepercayaan” yang khas monoteisme Islam, kata-kata itu mendapatkan makna religius yang sangat penting. Taqwa kemudian pada tingkata pertengahan “takut kepada hukuman Ilahi pada Hari Kiamat”, akhirnya dengan makna personal “soleh” sempurna dan sederhana.
2. Terdapat Makna Dasar dan Makna Relasional
Jika kita mengambil al-Qur’an dan menelaah istilah-istilah kunci di dalamnya dari sudut pandang kita, maka kita akan menemukan dua hal, yang satu begitu nyata dan sering begitu dangkal dan biasa untuk dijelaskan, dan yang lainnya mungkin sepintas kilas tidak begitu jelas. Sisi nyata persoalan tersebut adalah bahwa masing-masing kata individual, diambil secara terpisah, memiliki makna dasar atau kandungan kontekstualnya sendiri yang akan tetap melekata pada kata itu meskipun kata itu kita ambil di luar konteks al-Qur’annya.
Kata kitab misalnya, makna dasarnya baik yang ditemukan dalam al-Qur’an maupun di luar al-Qur’an sama. Kata ini sepanjang dirasakan secara aktual oleh masyarakata penuturnya menjadi satu kata, mempertahankan makna fundamentalnya – dalam hal ini, makna yang sangat umum dan tidak spesifik, yaitu “kitab”, dimanapun ditemukan, baik digunakan sebagai istilah kunci dalam sistem konsep yang ada atau lebih umum lagi di luar sistem khusus tersebut. Kandungan unsur semantik ini tatap ada pada kata itu dimanapun ia diletakkan dan bagaimanapun ia digunakan, inilah yang kita sebut dengan makna “dasar” kata itu.
Bagaimanapun, hal ini tidaklah melemahkan makna kata itu. Dan di sini bermula aspek kedua makna kata yang dijadikan rujukan. Dalam konteks al-Qur’an, kata kitab menerima makna yang luar biasa pentingnya sebagai isyarat konsep religius yang sangat khusus yang dilingkupi oleh cahaya kesucian. Ini dilihat bahwa dalam konteksa ini kata itu berdiri dalam hubungan yang sangat dekat dengan wahyu ilahi, atau konsep-konsep yang cukup beragam yang merujuk langsung pada wahyu. Ini berarti bahwa kata sederhana kitab dengan makna dasar sederhana “kitab”, ketika diperkenalkan kedalam sistem khusus dan diberikan posisi yang jelas, memerlukan banyak unsur semantik baru yang muncul dari situasi khusus ini, dan juga muncul dari hubungan yang beragam yang dibuat untuk menunjang konsep-konsep pokok lain dari sistem tersebut. Dan sebagaimana sering terjadi, unsur-unsur baru itu cenderung mempengaruhi dan sering secara esensial memodifikasi struktur makna asli dari kata itu. Dengan demikian dalam kasus ini, kata kitab begitu diperkenalkan dalam sisitem konseptual Islam, ditempatkan dalam hubungan erat dengan kata-kata penting al-Qur’an seperti Allah, wahyu , tanzil (firman Tuhan), nabiy, ahl (dalam kombinasi khusus ahl kitab “masyarakata berkitab” yang berarti masyarakata yang memiliki kitab wahyu seperti Kristen, Yahudi, dsb.).
Oleh karenanya, kata itu dalam konteks karakteristik al-Qur’an harus dipahami dari segi semua istilah yang terkait, yang keterkaitan ini memberikan warna yang sangat khusus terhadap kata kitab, sangat kompleks dan struktur makna khusus yang tidak akan pernah diperoleh jika kata itu tatap berada diluar sistem ini. Harus diketahui bahwa hal ini juga bagian dari makna kata kitab sepanjang digunakan dalam konteks al-Qur’an, bagian maknanya yang sangat penting dan esensial yang sebenarnya jauh lebih penting dibandingkan makna dasarnya sendiri. Inilah yang kemudian akan disebut dengan makna “relasional” kata untuk membedakan dengan makna “dasar”.
Jadi, makna “dasar” kata adalah sesuatu yang melekat pada kata itu sendiri, yang selalu terbawa dimanapun kata itu diletakkan. Sedangkan makna “relasional” adalah sesuatu yang konotatif yang diberikan dan ditambahkan pada makna yang sudah ada dengan meletakkan kata itu pada posisi khusus dalam bidang khusus, berada pada relasi yang berbeda dengan semua kata-kata penting lainnya dalam sistem tersebut.
3. Kosakata dan Weltanschauung
Analisis semantik bukanlah analisis sederhana mengenai struktur bentuk kata maupun studi makna asli yang melekat pada bentuk kata itu atau analisis etimologi. Etimologi hanya dapat memberikan petunjuk bagi kita untuk mencapai makna dasar kata. Dan harus diingat, etimologi dalam banyak kasus tetap merupakan terkaan belaka, dan sangat sering merupakan misteri yang tak terpecahkan. Analisis semantik dalam konsepsi kita bermaksud mencapai lebih dari itu. Jika diklasifikasi, ia diakui sebagai ilmu budaya. Analisis unsur-unsur dasar dan relasional terhadap istilah kunci harus dikakukan dengan cara yang sedemikian rupa sehingga jika kita bebar-benar berhasil melakukannya, kombinasi dua aspek makna kata akan memperjelas aspek khusus, satu segi yang signifikan dengan budayanya, atau pengalaman yang dilalui oleh budaya tersebut. Dan pada akhirnya, jika kita mencapai tahap akhir, semua analisis akan membantu kita merekonstruksi pada tingkatan analitik struktur keseluruhan budaya itu sebagai konsepsi masyarakat yang sungguh-sungguh ada atau mungkin ada. Inilah apa yang disebut dengan “welstanschauung semantik” budaya.
Kata-kata yang memainkan peranan yang sangat menentukan dalam penyusunan struktur konsetual dasar pandangan dunia al-Qur’an, yang disebut dengan istilah-istilah kunci “key word” al-Qur’an. Allah, Islam, Iman (keyakinan), Kafir (ingkar), Nabi, Rasul (utusan Tuhan), adalah sejumlah contoh lainnya. Memisahkan sebelum mengerjakan yang lainnya, istilah-istilah kunci dari bagian besar kosakata al-Qur’an akan menjadi pekerjaan yang sangat penting, tetapi juga sangat rumit bagi ahli semantik yang mengkaji al-Qur’an dari sudut pandang ini. Karena hal ini akan menentukan semua kerja analisis berikutnya. Tak diragukan lagi ini akan membentuk dasar bangunan besar secara menyeluruh. Kesemena-menaan dalam pemilihannya terhadap istilah-istilah kunci hampir tak terelakkan dan ini mungkin sangat mempengaruhi paling tidak beberapa aspek dari keseluruhan gambaran.
Istilah-istilah kunci tersebut di tengah-tengah istilah-istilah kunci itu sendiri merupakan pola umum kosa kata[10] yang mewakili kata-kata yang menjadi anggotanya. Dan kata-kata itu dalam kedudukannya memiliki hubungan rangkap dan beragam antara satu sama lainnya. Kata-kata itu tidak benar-benar bebas antara satu dengan yang lainnya, mereka saling berhubungan dengan cara yang sangat rumit dan dengan arah yang beragam. Misalkan A, B, C, D, E, F dan G merupakan istilah-istilah kunci sebuah kosakata. Kata A dengan makna dasarnya sendiri berhubungan erat dengan B, D dan E, misalnya. Kata B, pada gilirannya memiliki makna dasar yang tepat berhubungan erat dengan E, F, G di samping A, dan kata G dengan C dan B, dan sebagainya. Sehingga secara keseluruhan tampak sebagai suatu sistem unsur yang saling tergantung yang sangat teratur, suatu jaringan asosiasi semantik.[11] Dan akhirnya, semua kata-kata dari kosakata itu didistribusikan sejalan dengan garis utama ini.
Secara teoritik, tidak disangkal akan kemungkinan adanya konep-konsep pra-linguistik, tetapi jika benar-benar ada, maka konsep-konsep itu berada di luar batas kepentinga ilmiah ini. Ketika digunakan istilah “konsep” dalam pembahasan ini, maka diakui dibelakangnya terdapat pembatas. Hal ini sama benarnya dengan seluruh organisasi konsep-konsep yang kita bicarakan. Satu kerangka asosiasi kopleks yang sama. Dalam aspek linguistiknya merupakan “kosakata”, dan dalam aspek kontekstualnya adalah “weltanschauung”. Dan dalam hal ini dan dalam pengertian ini kita tertarik pada maslah Weltanschauung semantik al-Qur’an.
Cita-cita akhir yang ingin dicapai dalam kajian ini harus kita ketahui, karena setiap sistem nama yang bermanfaat harus memiliki prinsip berpola yang mendasari prinsip tersebut, maka wajar untuk menduga, juga dalam kasus kita yang khusus, tidak hanya masing-masing medan semantik tunggal, tetapi juga keseluruhan sitem konsep al-Qur’an terdiri atas medan medan-medan semantik individual itu sendiri, yang semuanya terbentang dalam hubungan asosiatif yang didasarkan pada pola yang khas pemikiran al-Qur’an, yang membuat sistem konsep al-Qur’an secara esensial berbeda dengan semua sistem konsep non al-Qur’an, baik Islam maupun non-Islam.
Menurut Edward Sapir, untuk mengisolasi rencana fundamental ini, yang mengatur sifat dan mekanisme kerja keseluruhan sistem al-Qur’an harus merupakan tujuan akhir seorang semantisis yang mengkaji Kitab ini, sejauh ia memahami disiplin semantik sebagai ilmu budaya. Karena hanya bila kita berhasil mengerjakan ini, baru kita bisa berharap berhasil pula dalam mengungkapkan Weltanschauung al-Qur’an, yang secara filosofis tidak lain daripada “ontologi al-Qur’an” yang kita rujuk.[12]
Tentu saja semua ini hanyalah gagasan ideal yang harus kita akui secara praktis sangat sulit dicapai. Sebagai suatu keseluruhan, studi ini hanyalah langkah awal yang sangat sederhana untuk menuju tujuan akhir ini.

F. Cara Kerja dan Contoh Analisis Semantik
Adapun teknis analisis semantik langkah pertama adalah bagaimana membuat kataegori semantik pada sebuah kata yakni dengan menyelidiki bagaimana keadaan kata itu , bagaimana sifatnya , bagaimana bentuk perbuatannya berdasarkan bahasa kuno juga dalam konteks al-Qur’an ( atau konteks bahasa yang diselidiki ).[13]
Langkah- langkah tersebut diatas hendaknya diperhatikan mengingat terdapat beberapa kepentingan strategi bagi metode analisis semantik yang tidak dapat ditinggalkan. Adapun kepentingan yang dimaksud ialah pertama sebuah ayat merupakan kejadian yang secara konkret dalam konteksnya dengan cara deskripsi verbal, yakni definisi kontekstual. Kedua memperhatikan secaara khusus nilai sinonim. ketiga, menjelaskan struktur semantik dari suatu istilah tertentu dengan lawan kata. Keempat, struktur semantik dari suatu kata X yang samar-samar diperjelas dipandang dari bentuk negative bukan X. Kelima, bidang semantik sebagai seperangkap pola hubungan semantik antara kata tertentu dengan suatu bahasa. Keenam, sering kali terjadi bahwa peralatan paralelisme retorika mengungkapkan eksistensi sebuah hubungan semantik antara dua kata atau lebih . ketujuh, istilah- istilah etik tertentu dalam al-Qur’an biasanya digunakan menurut konteks kepentingan agama[14].
Contoh yang terkenal adalah transformasi semantik kata kerja kafara yang terjadi dalam al-Qur’an. Kafara secara yepat dan mendasar berarti “tidak bersyukur” untuk menunjukkan rasa tidak bersyukur terhadap perbuatan baik atau atau pertolongan yang ditunjukkan orang lain, ini benar-benar berlawanan syakara yang berarti “bersyukur”. Ini adalah makna lazim kata kerja kafara dalam konteks kosakata bahasa Arab yang lebih luas. Makna kata kerja ini sendiri tidak berubah baik digunakan oleh orang Arab Muslim maupun non-Muslim, kata ini dikenal oleh seluruh masyarakata penutur bahasa Arab. Selain itu, kata ini tetap begitu sejak masa pra-Islam hingga sekarang. Akan tetapi makna dasar awal yang dimilki oleh kata kafara itu akan semakin bergeser pada konsepsi makna yang ada pada Islam.
Kata kerja kafara atau bentuk nominalnya kufr, menyimpang sedikit demi sedikit dari makna aslinya “tidak bersyukur” dan menjadi semakin lebih dekata pada makna “tidak percaya” sebagai pengingkaran yang tepat terhadap konsep Iman. Dalam ayat-ayat al-Qur’an, kafara bukan lagi sebagai lawan kata Syakara “bersyukur” tetapi lebih merupakan lawan kata amana “mempercayai”. Bentuk ini sepintas dipersiapkan untuk memainkan bagian terpenting bagian terpenting dalam sejarah pemikiran Islam beriktnya, baik secara teologis maupun politis, yang makna tepatnya adalah “ingkar”. Kata syakara pada bagian ini sangat dekata dengan konsep iman itu sendiri. Tidak sedikit tempat di al-Qur’an yang menggunakan syakara “bersyukur” pada Tuhan hampir sinonim dengan amana “mempercayai” Tuhan.
Di sini kita tahu bagaimana makna kata dipengaruhi oleh kata yang ada didekatanya, oleh keseluruhan sistem dimana kata itu berada. Kata yang menunjukkan “rasa syukur” tidak akan pernah mungkin memperoleh makna yang dekata dengan “percaya” atau ‘yakin” kecuali setelah dimasukkan kedalam medan semantik khusus, di mana semua unsur-unsur memiliki andil langsung yang memungkinkan kata-kata tersebut berkembang kearah itu.[15]

G. Penutup
Menurut Izutsu, teknik (metode) semantik akan banyak berguna dan dibutuhkan dalam penafsiran al-Qur’an pada ranah-ranah seperti definisi kontekstual, sinonim-subtitutif, struktur semantik yang kemudian dijelaskan dengan lawan kata, medan semantik sebagai seperangkat hubungan semantik antara kata tertentu dengan suatu bahasa, pararelisme retorik, dan juga konteks kepentingan agama yang dalam.
Setidaknya dapat kita apresiasi terhadap apa yang telah dialakukan Izutsu, sehingga kita dapat mengambil manfaat kepada orang yang mempelajari sejarah pemikiran dalam Islam. Apa yang diuraikan dapat menggambarkan perkembangan konsep-konsep kunci yang berkembang dalam dunia Islam. Paparan itu penting karena suatu istilah tertentu dalam tradisi pemikiran tertentu sering kali memuat pengertian yang berbeda dari yang dimuat istilah yang sama dalam tradisi yang lain. Karena itu, diperlukan kajian yang cermat pula mengenai istilah-istilah kunci dalam masing-masing tradisi pemikiran.

Wallahu A’lam bi as-Showab



Pustaka :

Bagus, Loren, Kamus Filsafat, Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama : 2000.



Izutsu, Toshihiko, Konsep Kepercayaan Dalam Teologi Islam, Yogyakarta; Tiara Wacana Yogya, 1994.

Izutsu, Toshihiko, Relasi Tuhan dan manusia, Yogyakarta; Tiara Wacana Yogya, 2003.




[1] Perang dingin jepang – jerman (1914-1918).
[2] Toshihiko Izutsu, Konsep Kepercayaan Dalam Teologi Islam, (Yogyakarta; Tiara Wacana Yogya, 1994), cet. 1, hal. viii
[3] Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan manusia, (Yogyakarta; Tiara Wacana Yogya, 2003), cet. 2, hal. xvii-xviii
[6] Tishihiko Izutsu, Konsep., h. viii
[7] Loren Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama : 2000) cet 2 hal 981
[8] Izutsu, Relasi., h. 3
[9] Lihat, Ferdinand de Saussure, Caurse in General Linguistics, (New York: mcGraw-Hill, 1996), Kris Budiman, Kosa Semiotika, (Yogyakarta: Elkis, 1999), cet. 1, Roland Barthes, Element of Semiology, (New york: Hill and Wang, 1981)
[10] Kosakata selalu terdiri dari sejumlah medan baru, yang kita katakan sebagai medan konseptual yang lebih besar yang terbagi menjadi sejumlah medan khusus. Tetapi masing-masing medan khusus itu, sebagai kawasan kosa-kata yang teratur, kita sebut sepenuhnya kosakata jika ia cukup besar untuk dibicarakan sebagai suatu unit independen. Hanya jika kita mempertimbangkannya sebagai bagian khusus dari suatu keseluruhan yang lebih besar. Kita membedakannya dari yang kita sebut belakangan sebagai “medan semantik”. Pendek kata kosakata adalah struktur multi-sastra. Dan satra-sastra ini dibentuk secara linguistik oleh kelompok-kelompok kata-kata yang diberi nama “medan semantik”.
[11] Pada tahap ini terdapat istilah teknis lain yang disebut dengan “kata fokus” yang berhubungan dengan konsep metodologis baru yang akan terbukti sangat berguna ketika kita sibuk memisah-misahkan dan menganalisis medan-medan semantik. Kata fokus adalah kata kunci penting yang secara khusus menunjukkan dan membatasi bidang konseptual yang relatif independen dan berbeda, yang dalam terminologi kita disebut dengan medan semantik, dalam keseluruhan kosa kata yang lebih besar.
[12] Izutsu, Relasi…., h. 4-29
[13] Izutsu, Konsep-konsep Etika., h. 30
[14] Izutsu, Konsep-konsep Etika., h. 44-50
[15] Izutsu, Relasi., h. 14-15

Komentar

Postingan Populer